Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Samson dan delilah versi sladek

Milan Sladek yang lebih populer dengan panggilan kefka tampil di hotel hilton & tim jakarta. Maestro yang sudah pergi ke 40 negara ini, pada 1980 pertama kali berpantomim di Indonesia.

2 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENDIRI di atas pentas kosong yang hitam, dialah Milan Sladek. Ia lebih populer dengan panggilan Kefka, yang dalam bahasa Ceko artinya Kuas Kecil. Tapi ia tampil dengan sapuan besar, 25 Maret lalu, di Hotel Hilton, Jakarta. Dan 31 Maret muncul lagi di TIM. Maestro yang sudah pergi ke 40 negara ini pada 1980 pertama kali berpantomim kemari. Awalnya, dari belakang tempat duduk sekitar 100 penonton, perlahan Kefka bergerak menyulam akrab. Di bawah topi lebar berjambul merah, sepasang mata ramah, dan gamitan ujung jari-jarinya beralih jadi komunikasi Kefka. Rasanya, bak air mengalir ke lembah perkasa. Geraknya detail. Dan itulah salah satu senjata kuat seniman Jerman Barat yang lahir di Cekoslovakia ini. Ketika lampu spot kembali terang, tubuh pengagum Charles Chaplin dan Pierrot ini tampak tercampak di sudut pentas. Nomor pertama mulai. Penolakan berkisah tentang seorang pria yang berulang-ulang mengalami kandas cinta. Gamitan genit dialamatkan ke tingkap demi tingkap, wah, tak ada perawan yang berkenan. Si kasmaran tak berputus asa dan senar gitar turut menggema. Kefka menampilkan nuansa perasaan si bujang gandrung melalui ujung jari. Tarikan wajah didukung kelenturan tubuhnya yang prima dan teliti. Si gandrung yang berpurapura bunuh diri itu, dengan pisau panjang, tergambar intens. Dan lihatlah. Ketika sang perawan mau menerima sisa cintanya, eh, Kefka berpaling. Pergi. Harga diri? Orang bisa menebak inti sajian ini. Melalui Penolakan Kefka, yang pada 1955 memulai kariernya di Universitas Comenius, Bratislava Cekoslovakia, tampaknya ia mau membuktikan kesetiaannya pada tokoh Pierrot. Peran legendaris itu hidup dan berkembang dalam tradisi panjang teater Italia dan Prancis selama 400 tahun. Jean-Gaspard Deburau, aktor Cekoslovakia (1796-1846), telah melahirkan tokoh Pierrot di Prancis. Deburau, yang mewariskan tradisi besar pantomim di Erola. menggali sumber dari khazanah teater Italia, Commedia dell'arte. Di situlah lahirnya tokoh Pedrolino -- pelayan bernasib malang yang sering jadi bulan-bulanan, tapi jujur dan kocak. Silugu berwajah putih Pedrolino, yang selalu berpakaian longgar itu, kemudian menjelma jadi Pierrot dalam keandalan akting pantomim Deburau selama 20 tahun. Tapi dalam Bunga Matahari Kefka lebih mengakar. Melalui kisah sebutir biji bunga matahari kita merasakan apa arti perjuangan, kekecewaan, dan harapan. Lentik jemari rentak kaki dipadu dengan olahan torso, ia mewujudkan peristiwa dramatik yang dialami sang bunga dalam hidupnya. Sejak disemai, bertunas, daun yang dibuai angin dan kelopak bunga yang mekar merekah digambarkan Kefka dengan memikat. Olah tubuhnya tidak lagi hanya bukti keterampilan teknis, melainkan gambaran penghayatan pada masalah hidup. Di latar pentas yang hitam itu kita diajak melihat menembus wujud badaniah. Akhirnya, sekuntum bunga hanyalah sampiran tetapi mengajak ke inti. Dari balik yang sederhana dan kelihatan tak berharga itu kita bisa menarik makna, yang lebih berharga dari hiruk-pikuk lahiriah semata. Bunga matahari dapat dilihat sebagai simbol perjuangan manusia di tengah ancaman lingkungannya. Tema klise memang - walau kita selalu sulit menghafalnya. Dan Kefka setia mengulangi. Ia mengingatkan kita. Melalui Bunga Matahari Kefka agaknya meneruskan pesan Charles Chaplin dalam karya besarnya seperti City Lights (1931), Modern Times (1936), The Great Dictator (1940). Memang. Kefka, 50 tahun, ayah satu anak dari istri Jepang itu, adalah pengagum Chaplin, lalu menyebut raja pantomim masa film bisu Hollywood itu sebagai saudaranya. Pandangan Chaplin mengenai tragik manusia mengalir dalam karya Kefka. Kefka dalam sebuah pesta sebagai sajian ketiga tampaknya ingin menggambarkan pengalaman aktual seniman: walau sudah berdandan rapi, ternyata urusan bisa macet dalam jaring birokrasi. Tapi, dengan kelincahan berkelit, kita lolos dari situasi yang sulit, ujar Kefka. Optimisme tampak mencuat. Berbeda dengan tiga nomor sebelumnya, Samson dan Delilah kelihatan diolah untuk menguras ketawa. Dan yang jelas menguras tenaga Kefka sendiri. Dalam gonta-ganti yang cepat, tapi intens, Sladek memerankan dua tokoh dari kisah cinta sensasional di Perjanjian Lama itu. Cuma beda dengan kisah dari sumbernya Samson dan Delilah tak lebih dari dua tokoh yang konyol. Si Samson, cowok rakus yang selalu mengintip kesempatan menerkan Delilah yang bahenol. Dibantu properti sebilah dinding hitam, yang terpampang di tengah pentas, dalam sedetik Kefka mampu menyulap dirinya, dari peran Samson yang kekar sebagai Delilah yang genit. Tawa penonton meledak ketika Delilah, yang lagi merangkak, megal-megol mengepel lantai, tiba-tiba terhenyak. Sebentar dia menoleh ke belakang, kemudian dengan terayun-ayun meneruskan kerjanya, merem-melek. Derai ketawa penonton belum juga reda walau Delilah dengan amarah menggunting bagian yang tersembunyi di balik dinding hitam. Adegan terasa vulgar dan konyol. Disengala, sebagal bumbu penyedap pantomim Pak Sladek? Tinggal kearifan kita saja untuk memilah: mana beras, mana pula antah. Burhan Piliang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus