MELESTARIKAN swasembada beras agaknya masih dilema. Selain soal pembentukan lingkungan, malah tak jarang ada konflik kepentingan, terutama dalam hal penghasilan (mikro) petani dan swasembada pemerintah. Sementara itu, petani juga sulit memilih komoditi atau tanaman yang menguntungkan. Akibatnya, program pemerintah seperti "terpaksa" mereka laksanakan. "Ini bila pendapatan maksimal petani tak diperhatikan, padahal disuruh berkorban demi kepentingan makro, seperti swasembada itu," ujar Prof. Dr. Mubyarto kepada Rustam I. Mandayun dari TEMPO. Sedangkan paket suprainus, menurut Direktur P3PK (Pusat Penelitian Pengembangan Pedesaan dan Kawasan) UGM itu, merupakan teknologi baru di bidang manajemen proyek masal yang bisa dilaksanakan di sawah andalan dan wilayahnya subur karena pengairannya bagus. Lalu bagaimana membuat petani mandiri? "Sesuai dengan keadaan pasar, mestinya mereka cukup berpeluang dan bebas melakukan kegiatan produksi," kata Dr. Sajogjo. Faktanya, jarang petani yang 100% hidup dari hasil sawahnya. Contohnya, bila musim paceklik, banyak yang mencari nafkah sebagai buruh bangunan. Bahkan ada yang menarik becak di kota. Justru itu, kebijaksanaan pemerintah dari tingkat nasional hingga desa, termasuk terhadap program supramsus - menurut guru besar IPB itu, "Akan banyak mengalami hambatan." Dan masalah yang mendasar katanya, adalah menyalurkan suara petani yang selalu kesulitan memenuhi kebutuhannya. Tapi menurut Dudung Abdul Adjid, Sekretaris Badan Pengendali BIMAS, Departemen Pertanian, suprainsus mampu menaikkan pendapatan petani. Hasil produksinya yang bisa meningkat itu diperkirakan sekitar 15 ton gabah kering giling per hektar. "Kalau perhitungan di atas kertas bahkan hisa mencapai 20 ton," katanya. Pelaksanaannya, misalnya, dapat dilihat di Padang Pariaman, Sum-Bar. Bupati Anas Malik menjadi penanggung jawab program uprainsus ini. Dandim dan Kapolres pengawasnya. Penyuluhan dan pengadaan bibit oleh Dinas Pertanian. Lalu Koperasi Unit Desa sebagai pembeli gabah, bekerja sama dengan Dolog. "Masyarakat sudah mulai merasakan hasilnya," ujar Anas Malik pada Fachrul Rasyid dari TEMPO. Mahmud, 62 tahun, petani di Pariaman itu, sudah amat girang menghasilkan 9,5 ton/ha. Ini naik dua kali lipat dari sebelum mengikuti program suprainsus, atau lebih tinggi dibandingkan program insus, yang hasilnya 6,7 ton. Begitu pula Syahrudin, 37 tahun. Ketua Kelompok Tani Fajar Menyingsing di Desa Gimba, Kecamatan Nan Sebaris, itu memetik hasilnya sampai 13,5 ton. Karena itu, kreditnya cepat dilunasinya. "Kalau hasil sawah begini terus, kami bakal makmur," ujar Taher, 38 tahun, petani yang juga sukses. Namun, soal disiplin dan kekompakan para petani masih jadi masalah. Padahal mereka mau tak mau harus menelan paket teknologi suprainsus yang 10 macam itu. Antara lain, soal pengendalian hama terpadu, pemilihan bibit, efisiensi penggunaan air pola tanam dan penggiliran varietas. Memang perlu keseragaman gerak. Misalnya ketika menanam bibit, mesti serentak. Lazimnya, setelah dibicarakan dulu dalam rapat oleh kepala desa. Dialah yang mengadakan pertemuan dengan seluruh Kelompok Tani (KT) yang total lahannya biasanya lebih dari 20 ribu hektar itu. Berbeda dengan rice estate, yang pengelolaannya dilakukan pengusaha secara profesional. Dalam suprainsus petani seperti digiring untuk bersatu, agar arealnya jadi luas, dl bawah satu komando manajemen. Contoh menarik misalnya di Padang Pariaman. Biasanya mereka bertemu di mas jid pada malam hari. Dalam musyawarah itu kemudian mereka menemukan kesepakatan, antara lain bibit apa yang dipakai, kapan mulai menanam, mengolah, menyemprot hama. Musyawarah ini pada dasarnya menjabarkan ketetapan Posko II (tingkat kecamatan) yang diketuai camat. Sedangkan koordinator Posko III Supra-Insus (tingkat kabupaten) adalah bupati. lau demikian, masih ada yang menyemaikan PB-42, bukan varietas yang disarankan. Sebab, harga gabahnya mahal, karena nasinya memang lebih enak. Kalau ada lagi petani yang nekat seperti itu, "bibit yang telah mereka semaikan terpaksa dicabuti," kata Deliar, Kepala Balai Penyuluh Pertanian Sunur, Kecamatan Nan Sabaris, Pariaman. Kesadaran tentang kondisi lingkungan sepertl itu tak pelak lagi amat menentukan keberhasilan suprainsus. Dampaknya: hama seperti wereng cokelat terputus daur hidupnya, kesuburan tanah terkendali, dan tercipta penggiliran varietas serta sistem pola tanam. Jika pendapatan petani meningkat, itu wajar, karena dalam paket ada cytosin. "Pengaruh cytosin terasa mempercepat pertumbuhan," ujar Enda Suhenda, 33 tahun, anggota Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Telagasari, Karawang, Ja-Bar. Dari 100 hektar lebih lahan sawah di Karawang itu, sekitar 85 ribu hektar dimasukkan ke paket suprainsus. Dan hasilnya paling tidak 9 ton/ha gabah kering giling. Tapi ingat, biaya produksinya juga lebih tinggi dari program insus. Menurut Rukayat, 41 tahun, pemilik lahan 1 ha yang digarapnya sendiri, penghasilannya per bulan Rp 500 ribu. Itu belum dipotong biaya makan buruh tani, Pajak Bymi dan Bangunan. "Kami sebenarnya tak pernah mengadakan kalkulasi, karena takut hasilnya malah sedikit," ujar Ketua Kelompok Tani Rawasari I yang ikut suprainsus. Bagi petatli yang tak punya lahan sendiri, hitungan seperti itu tak terpikirkan. Adul, 75 tahun, mengaku tetap hidup pas-pasan, meskipun lahan yang digarapnya masuk program suprainsus. Maklum. "Yang punya sawah di sini kebanyakan menak atau penggede dari kota," katanya. Suhardjo Hs., Agung Firmansyah (Jakarta), Hasan Syukur (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini