Ada 218 satwa yang dinyatakan satwa langka. Selain jalak Bali, cenderawasih, ataupun beo Nias, binatang yang diawetkan juga terkena wajib daftar. SATWA langka tak dapat tidak menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi pemiliknya. Tak percaya? Hal ini bisa ditanyakan kepada Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap, yang sehari-hari tak menyembunyikan kegemarannya pada unggas langka. Jalak Bali -- jenis burung yang hanya tersisa beberapa puluh pasang saja di Pulau Dewata -- termasuk koleksinya yang berharga. Unggas itu tak boleh dipelihara oleh perorangan kecuali dengan izin khusus Menteri Kehutanan. Hasjrul tentu tak sulit mengurus izin semacam itu. "Saya sudah mendaftarkannya," ujar Menteri, yang mengeluarkan keputusan baru tentang pemeliharaan satwa langka -- hidup atau mati -- awal Juni silam. Dalam keputusan itu disebutkan, tiap pemilik satwa yang dilindungi harus segera melaporkannya ke Kanwil Kehutanan setempat. Sebetulnya, UU No. 5 Tahun 1990 secara tegas telah melarang penangkapan, pemilikan, pemeliharaan, dan perdagangan satwa langka. Namun, UU itu tak dihiraukan, mungkin karena lemahnya pengawasan. "Keluarnya keputusan ini memang terlambat, sebab undang-undang sudah keluar setahun lalu. Jadi, selama ini, jenis satwa yang dilindungi tak ada peraturannya," kata Sutisna Wartaputra, Dirjen PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam). Sesuai dengan bunyi UU No. 5, SK Menteri Kehutanan kembali menetapkan bahwa satwa yang dilindungi ada 218 jenis. Di situ, sekaligus juga dicantumkan tugas aparat Departemen Kehutanan, yang harus mencatat jenis satwa langka milik perorangan. Soal sanksi pun dipertegas. Setiap pemilik satwa langka diberi batas waktu untuk melapor sampai 31 Mei 1992. Selewat batas itu, pemilik akan dikenai sanksi berupa ancaman hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda Rp 100 juta. Selain diberi waktu cukup, pemilik satwa juga boleh memilih: apakah mau melapor ke Kanwil Kehutanan, ke BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam), ataupun Sub-BKSDA. Di situ, selain didaftarkan, satwa juga bisa ditampung. Dari penampungan sementara ini, satwa dibawa ke kebun binatang, Taman Safari, Taman Burung, TMII, ataupun ke tempat penangkaran resmi. Dirjen PHPA yakin, pihaknya tak akan kewalahan kalaupun harus menampung. "Saya yakin, tak akan banyak yang menyerahkan. Sebab, mereka membelinya dengan mahal, mereka tentu ingin memelihara sendiri," ujar Sutisna. Harga satwa memang tidak murah. Beo Nias dihargai Rp 350 ribu, kakaktua raja malah sampai satu juta rupiah. Namun, syarat untuk jadi pemelihara juga tak mudah. Sesudah minta izin, satwanya lalu dinyatakan menjadi milik negara. Setiap enam bulan, mereka harus melaporkan kondisi hewan maupun kandangnya. Satwa langka yang sangat dilindungi harus rutin diperiksakan ke dokter hewan, bahkan hanya boleh dipelihara dengan izin khusus Menteri Kehutanan. Dalam golongan ini termasuk badak Jawa, badak Sumatera, gajah, orang utan, anoa, cenderawasih, dan burung jalak Bali. Jadi, dengan izin khusus, peluang untuk memelihara satwa langka rupanya masih ada. Apakah ini tidak bertentangan dengan UU? "Justru keputusan ini adalah pelaksanaan undang-undang. Tahapan untuk mengembalikan ke habitatnya," kata Sutisna. Mengapa? Soalnya, satwa yang telanjur dimiliki orang, statusnya jadi barang titipan negara. Kelak, satwa yang diizinkan untuk dipelihara hanyalah satwa hasil penangkaran, terutama turunan kedua. Satwa legal yang bersertifikat itu akan diberi tanda ring di kakinya. Ternyata, semua ketetapan itu disambut baik oleh penggemar satwa langka. "Saya akan segera melaporkan," ujar Herman Sarens Sudiro, 61 tahun, yang punya koleksi opset kepala binatang. Bekas duta besar RI di Madagaskar ini terkenal senang berburu. Hasilnya menakjubkan. Ada kepala rhino (badak), buffalo, dan gajah semuanya dipajang di dinding teras rumahnya. "Saya ini professional hunter, tapi juga ahli konservasi yang tidak membabi buta membuat punah binatang," katanya. Dalam perkara "ingin melapor", Herman tidak sendiri. Menurut Kepala Sub-BKSDA Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Djoko Soepomo, sudah puluhan pemilik satwa datang mendaftarkan. Mereka rata-rata mempunyai lebih dari satu burung langka maupun binatang awetan. Salah satu pelapor mengakui, ia memiliki lima jenis burung langka. Kuat dugaan, di Jakarta saja, ada ratusan satwa langka yang dipelihara oleh perorangan. Buktinya, lebih dari seratus satwa telah disita dalam penggerebekan di pasar-pasar hewan. BKSDA Sumatera Selatan juga berhasil menyita puluhan binatang langka dan aksesoris dari gading gajah. Selain itu, ada beruang, anak macan akar, kakaktua, dan elang -- enam ekor di antaranya dilepas kembali. Sisanya ditampung di kandang dan kelak akan diserahkan ke kebun binatang ."Kami ekstrahati-hati menjaga kelangsungan hidup hewan-hewan itu," kata Sutresna Wartaputra, Kepala BKSDA Sumatera Selatan, kepada Taufik Alwie dari TEMPO. Tak pelak lagi, aparat kehutanan akan sibuk, apalagi satwa yang harus didaftar ternyata tak sedikit. "Praktis, peraturan ini baru berlaku pertengahan Juli," ujar Djoko. Diakui juga, dalam pelaksanaannya, SK Menteri akan mengalami banyak hambatan. Soalnya, jumlah personel tak memadai. Di DKI, hanya ada 60 orang jagawana (Polsus Kehutanan). Djoko sendiri malah membayangkan betapa repotnya kalau harus memasang ring. Apalagi terhadap beruang atau siamang liar. G. Sugrahetty Dyan K., Diah Purnomowati, Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini