Mereka Datang dan Pergi dan Disalahkan Peladang berpindah dituduh sebagai penyebab gundulnya 20 juta hektare hutan di Indonesia. Pro dan kontra cara tradisional dan cara HPH. MEREKA menghidupi diri secara tradisional, sesuai dengan pola yang diturunkan nenek moyang sejak berabad-abad silam. Tapi pola warisan itu kini dituding sebagai penyebab gundulnya hutan nasional. Dan pihak yang mempersalahkan juga cukup berwenang, yakni Dirjen Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Tudingan berat dari Jakarta itu agaknya tidak sampai ke telinga Kunak, seorang peladang berpindah di lereng Bukit Mandring, Kalimantan Barat. Kendati ditopang oleh badan yang sehat, ia hanya sanggup membuka setengah hektare lahan untuk bekal hidup keluarganya selama setahun. Dan Kunak tidak sendiri. Bersamanya ada enam orang saudara, yang ikut membabat, membakar hutan lalu menanam padi gogo. Dari situ, paling-paling mereka bisa memanen 100 gantang (sekitar 312 kilogram). Setahun kemudian, lahan ini ditinggalkan, untuk dibuka kembali 4 sampai 5 tahun mendatang, ketika sudah kembali menghutan. "Memang, pemerintah sudah melarang pembakaran hutan. Tapi kalau tidak begini, kami mau makan apa? Kami menebang pohon yang tidak besar, tidak seperti perusahaan kayu yang mengambil pohon besar dalam jumlah banyak," gerutu Mingan, seorang peladang di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Mingan boleh menggerutu, tapi cara berladang mereka tetap dipersalahkan. Menurut Dirjen Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, Soenarsan Sastrosemito, cara seperti inilah yang menyebabkan hutan Indonesia gundul. Sekitar 20 juta hektare dari 64 juta hektare hutan Indonesia yang bisa difoto oleh satelit Landsat -- hutan Indonesia seluruhnya 143 juta hektare -- dalam enam tahun terakhir telah gundul. "Dan berdasar pengamatan, lapangan gundulnya itu disebabkan oleh peladang berpindah," ujar Soenarsan dalam konperensi pers, Rabu pekan lalu. Tuduhan itu dilontarkan karena sistem bertani para peladang ini dinilainya amat boros tanah. Mereka bahkan dituduh telah menebang habis hutan dan membakarnya. Lalu, oleh Soenarsan, ditampilkan sebuah ilustrasi. Alkisah, sebuah keluarga dengan tiga anak membutuhkan dua hektare lahan. Setelah anak-anaknya berkeluarga, jumlak tanah yang dibutuhkan melonjak jadi delapan hektare. Bisa dibayangkan berapa hutan yang digundulkan, bila ada enam juta peladang, berkelana di 17 provinsi di luar Jawa. Angka enam juta didapatnya dari sampling yang dilakukan Universitas Gadjah Mada pada 1985. Dengan tegas Soenarsan menolak anggapan umum, bahwa para pemegang hak pengusahaan hutanlah yang "berjasa" menggundulkan hutan tropis kita. Katanya, HPH tidak merusak hutan karena mereka hanya mengambil kayu-kayu berdiameter 50 sentimeter ke atas, sesuai dengan aturan Tebang Pilih Tanam Indonesia. "Kan mereka rugi kalau alat-alat besarnya diisi kayu kecil yang tidak ekonomis," ujarnya. Tapi diakui juga oleh pejabat tinggi itu, bahwa ada pengusaha HPH yang nakal. Namun, ia yakin -- tanpa menyebutkan alasannya -- jumlah yang nakal tidak seberapa. Yang sering terjadi, tambah Dirjen, HPH dituduh sebagai perusak hutan, padahal biang keroknya adalah peladang berpindah yang membuka hutan di sepanjang jalan yang dibuat HPH. Pendapat tersebut disepakati dekan Fakultas Kehutanan UGM Achmad Sumitro. Pada Sri Wahyuni dari TEMPO, ia memberi contoh sebuah kasus HPH di Jambi. Saat ini, sepertiga dari 75.000 hutan konsesi HPH itu sudah berubah menjadi belukar karet karena dirusak oleh peladang liar. Rupanya, 20 dari 50 peladang memiliki chain saw (gergaji mesin), sehingga laju perusakan hutan makin cepat. "Selain bertanam padi, mereka juga menanam karet untuk mengklaim lahan itu sudah jadi miliknya," kata dekan yang juga penasihat sebuah perusahaan HPH itu. Dengan cara ini pula, setiap kepala keluarga bisa mengangkangi delapan hektare lahan. Namun, Herman Haeruman, staf ahli Bappenas dan dosen Fakultas Kehutanan IPB, tidak sependapat. Ia membantah teori gundulnya hutan gara-gara peladang berpindah. Menurut Herman, jumlah peladang liar hanya 1,75 juta orang dan hidup di atas areal seluas 10,3 juta hektare. Jumlah lahan yang mereka garap tidak bertambah, karena mereka berputar di areal itu dalam rotasi perladangan. Tapi, mengenai HPH, dosanya dalam pandangan Herman, terutama karena tidak mampu menghalangi masuknya para peladang ke sekitar jalan yang sudah dibuatnya. Bila peladang sudah masuk, hutan jadi rusak dan HPH malas menanamnya kembali, sebab nanti toh akan dibakar lagi oleh peladang. Menurut Direktur Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan UGM, Mubyarto, HPH juga berdosa karena mendesak penduduk yang berpindah-pindah itu. Padahal, katanya pada R. Fadjri dari TEMPO, pembukaan ladang oleh suku Dayak tidak dilakukan dengan sembrono. Setidaknya, harus ada izin dari ketua adat. Penelitian menunjukkan, hutan akan memperbaiki dirinya sendiri secara alami. Bila HPH tak melakukan penebangan mangkuk alias tebang habis, hutan akan menyemak kembali dalam tiga tahun. Sedang kerusakan hutan oleh peladang akan utuh kembali dalam delapan tahun. Hanya saja, jumlah penduduk yang bertambah dan HPH yang rajin mengeruk isi rimba tidak memberi waktu bagi hutan untuk memulihkan kondisinya. Namun, patut dipertanyakan, apakah jumlah peladang berpindah itu 1,75 juta atau 6 juta orang. Tanpa kejelasan tentang jumlah peladang, tentu belum bisa dihitung secara akurat, daya rusak hutan yang ditimbulkan oleh mereka. Lalu, buat apa buru-buru menyalahkan? Diah Purnomowati, Dwi S. Irawanto, Djunaini K.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini