Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Berlian dengan cahaya-cahaya

Dr.quraish shihab, ahli tafsir quran, menyarankan agar dalam menafsirkan quran perlu diperlihatkan kondisi sosial pada masa turunnya sebuah ayat.

31 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekan lalu, seorang ahli tafsir Quran menyarankan agar dalam menafsir Kitab Suci itu diperhatikan kondisi sosial waktu ayat diturunkan. KETIKA Muhammad bin Abdullah sedang bertapa di Gua Hira, Mekah, tiba-tiba Malaikat Jibril berkata kepadanya, "Bacalah." Setelah berulang-ulang Sang Malaikat menyuruh baca, barulah Muhammad mengikutinya. Riwayat yang direkam 15 abad yang lalu itu bagi umat Islam, adalah sebuah peristiwa agung: Quran mulai diturunkan ke kehidupan manusia. Namun, kehidupan manusia adalah sejarah, yang berkembang, dan sebab itu berubah tiap kali. Juga punya berbagai sudut memandang persoalan. Bagaimana Quran dalam kenyataan yang seperti itu? "Quran itu ibarat berlian yang memancarkan cahaya," kata Dr. Quraish Shihab, seorang pakar tafsir Quran terkemuka dari IAIN Jakarta, dalam seminar yang diadakan Institut Studi Ilmu al Quran di Jakarta pekan lalu. Artinya, "Kalau dilihat dari sudut ini, cahaya begini, dari sudut sana cahayanya lain lagi." Dengan kata lain, dalam memahami suatu ayat Quran, seseorang sangat dipengaruhi oleh latar belakangnya. Dan semuanya itu bisa benar, kata Quraish Shihab pula. Pendapat seperti ini, meskipun tampak dibuktikan dalam sejarah, mungkin agak mengejutkan bagi kalangan awam. Apalagi di Indonesia karena disinyalir, setidaknya oleh para penggagas seminar, bahwa di Indonesia, Quran hanya sekadar dibaca dalam berbagai kegiatan agama tanpa semangat penafsiran yang kreatif. Namun, menafsirkan Quran memang tidak mudah. Orang kini tak hidup di zaman Muhammad Rasulullah. Waktu itu, umat Islam bisa bertanya langsung kepadanya bila timbul problem yang membutuhkan jawaban. Jika Rasul tak menemukan jawabannya, turunlah wahyu dari Tuhan untuk menjelaskannya. Setelah Nabi wafat, tugas ini dilanjutkan oleh beberapa sahabat. Yang terkenal adalah Ali Bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Mas'ud. Lalu, pada periode berikutnya, bermunculanlah karya-karya tafsir Quran yang cukup terkenal sepanjang sejarah Islam. Misalnya karangan al Thabariy, Ibnu Katsir, dan al Sayuti. Soalnya sekarang, apakah kitab-kitab tafsir itu masih bisa memberi jawaban terhadap persoalan-persoalan umat Islam kini, di Indonesia. Seminar nasional tentang tafsir Quran pekan lalu itu mencoba membahas soal itu. Ada sebuah contoh. Di dalam Quran disebut bahwa Allah "mengetahui apa yang ada dalam rahim". Dahulu orang menafsirkannya bahwa tak ada yang mengetahui jenis kelamin bayi yang masih ada dalam kandungan, kecuali Allah. Namun, kini ternyata para dokter bisa mengetahui rahasia itu melalui alat. Walhasil, "Kita perlu interpretasi baru," kata Quraish Shihab dengan contoh itu. Artinya, kitab-kitab tafsir yang ada sekarang perlu ditinjau kembali. Langkah itu, kata Quraish Shihab, tidak menyalahi aturan. Generasi terdahulu telah melakukannya. Mereka juga meninjau hasil penafsiran generasi sebelumnya karena dianggap tak sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Tak berarti bahwa orang sekarang harus meninggalkan kitab-kitab tafsir orang dahulu. Apalagi ada penafsiran yang sudah baku di kalangan umat Islam dunia, dan tak perlu ditafsirkan lagi. Contohnya, tentang keharusan menjalankan ("mendirikan") salat. Tentu saja, untuk menafsirkan Quran secara tepat, ada dasar-dasar metodologi tertentu yang selama ini dipakai. Pendapat ini umum dikemukakan di semua ahli tafsir. Tapi sebelum itu, bagi Quraish Shihab, ada yang tidak bisa diabaikan begitu saja: Quran tidak diturunkan kepada satu masyarakat yang "hampa budaya". Ayat yang turun itu berinteraksi -- merupakan dialog -- dengan kenyataan yang ada dalam konteks sejarah masyarakat waktu itu. Sayangnya, menurut Quraish Shihab, selama ini para penafsir dalam memahami asbabun nuzul -- latar belakang turunnya sebuah ayat -- cenderung mengabaikan waktu dan pelakunya. Quraish Shibab bahkan menyarankan agar pengertian asbabun nuzul diperluas: mencakup kondisi sosial pada masa turunnya sebuah ayat Quran lewat Nabi. Di samping hal di atas, pemahaman harfiah terhadap teks ayat Quran menurut Quraish Shihab pula, tidak jarang menimbulkan ganjalan dalam pemikiran. Pemahaman ini juga mempersempit makna ayat. Sebagai contoh, ada ayat yang menyebut, "Tangan Tuhan." Pada mulanya, para ahli tafsir, para mufasir tidak mau memberikan interpretasi kepada ayat itu. Cukup Tuhan saja yang tahu, kata mereka. Lalu tafsir berkembang, begini: "Tuhan memang bertangan, tapi berbeda dengan tangan makhluk." Perkembangan selanjutnya memberikan arti begini: "Tangan Tuhan itu adalah kekuasaan Tuhan." Singkatnya, "tangan" di sana hanya sebuah metafora atau kiasan. Adalah Aljahiz, seorang ulama aliran rasional pada abad ke-9, yang dianggap sebagai tokoh pertama yang memperkenalkan cara penafsiran metafora ini. Pada abad ini, Syekh Muhammad Abduh, guru besar Universitas Al Azhar di Kairo yang termasyhur itu, mengembangkan cara takwil ini lebih lanjut. Terlepas dari kelemahan Muhammad Abduh, takwil sendiri, menurut Quraish Shihab, sangat membantu dalam membumikan pesan Quran pada masyarakat modern Indonesia. Namun, tentu saja, tak semua persoalan akan ditafsirkan kembali. Bagi para peserta seminar pekan lalu itu tampaknya jelas bahwa dengan itu Quran tetap relevan, dan bisa tetap bersama kita alias abadi. Julizar Kasiri dan Siti Nurbaiti (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus