TUJUH tahun sudah penduduk Cawang II, Jakarta, resah. Tiap hari,
terutama antara jam 9 sampai jam 3 siang, udara berbau busuk
seperti kentut. Lantai rumah dalam beberapa saat saja telah
dilapisi serbuk kapas berwarna coklat kelabu. Juga meja, kursi
atau perabot lainnya tertutup serbuk halus yang diterbangkan
dari cerobong pabrik pencelupan dan pencetakan tekstil PT Lucky
Print.
Debu halus itu kadang-kadang disertai dengan lelatu. Malah
beberapa waktu lalu sempat membakar kasur seorang penduduk yang
tinggal dekat pabrik. Kesehatan sekitar lima ratus penduduk
sekitar pabrik pun terganggu. Ada yang menderita sesak nafas,
batuk-batuk, bronchitis, TBC. Bahkan dalam dua tahun terakhir
sudah dua pemudi meninggal dunia karena sesak nafas: Haryati, 18
tahun, meninggal persis hari Natal 25 Desember 1976, dan Titin,
16 tahun meninggal 31 Juli tahun lalu.
Ini dinyatakan dalam surat warga RT 003/02 Kelurahan Cawang,
Kecamatan Kramat Jati, kepada Gubernur Tjokropranolo dengan 8
lembar lampiran, 14 Nopember lalu.
Apakah selama ini penduduk diam saja? "Tidak," ujar Dwi Wahyoko
Syamsidi, Wakil Ketua RT. Sudah delapan kali penduduk
bermusyawarah soal musibah berkepanjangan itu. "Tapi selalu
akhirnya pqabat setempat--R.W., Lurah, Camat - menakut-nakuti
kami dengan kata-kata 'menggangu ketertiban' 'mengganggu
keamanan' PKI, dan sebagainya," tutur Dwi. Ini juga dibenarkan
oleh Pit Sadeli, orang Kendari yang telah bermukim di situ 25
tahun lamanya. Katanya: "Saya malah diolok-olok oieh Keamanan
Kampung, dibilang 'apa Pit itu sok jadi insinyur'."
Ketua RW Setuju
Protes-protes berkepanjangan itu bermula dari keengganan
penduduk sana merestui berdirinya pabrik itu, tujuh tahun lalu.
26 Juli 1970, empat rukun tetangga (RT) dalam kawasan itu telah
mengirimkan surat keluhan atas bahaya pencemaran yang akan
terjadi bila pabrik itu jadi didirikan di sana. Rencana itu
mereka ketahui, sebab di lokasi itu dipasang papan bertuliskan
teks H.O. (Hinder Ordonantie -- UU Gangguan) yang berisi
ketentuan bahwa pabrik itu tak boleh mengganggu ketenteraman
penduduk di sekitarnya. Protes itu mereka tujukan ke alamat
Gubernur Ali Sadikin.
Tapi, tanpa setahu mereka, Ketua RW (rukun warga) 02, Sudikno
lladisuwardjo mengirim surat susulan ke alamat Gubernur DKI.
Isinya: "tak keberatan"'dengan berdirinya proyek itu. Lengkap
dengan tandatangan 38 warganya. Dari mana Sudikno dapat
memperoleh tanda tangan sekian warganya? "Itu daftar sensus
pemilih Pemilu 1971 yang ditimpali kata-kata 'warga RW 02 tidak
keberatan' berikut cap dan tandatangan RW," ujar seorang petugas
RT di sana sembari menunjukkan dokumendokumen buktinya.
Dua Dokter Datang
Selain debu yang disertai serbuk kapas, penduduk di belakang
pabrik juga mengeluh karena sumur mereka telah tercemar air
buangan pabrik. Air limbah tersebut, dialirkan ke sungai kecil
yang telah mati dan melalui tanah meresap ke sumur, rupanya.
Yang jelas, permukaan kali mati itu tertutup busa hitam pekat.
Setelah tujuh tahun memprotes, DKI akhirnya mengutus dua orang
dokter Dinas Kesehatan Kota disertai dua staf Suku Dinas
Kesehatan Jakarta Timur berikut Wakil Lurah Cawang meninjau
pabrik itu, akhir tahun lalu. Tanpa tanyatanya dengan penduduk,
mereka langsung meninjau pabrik tersebut. Hasil pemeriksaannya:
pabrik dianggap telah melanggar ketentuan Hygiene Perusahaan dan
Kesehatan Kerja. Harap diketahui saja, debu kapas dalam
literatur kedokteran memang dikenal sebagai penyebab Byssinosis,
sejenis infeksi paruparu yang ditandai sesak nafas dan
batuk-batuk.
Di lingkungan DKI timbul pro dan kontra soal itu pabrik. Ir.
Martono Soemodinoto, Kepala Dinas Perindustrian DKI menganggap
letak pabrik itu "sudah tepat" dan tak menyalahi ketentuan. Juga
Kepala Humas DKI B. Harahap menyatakan bahwa letak pabrik
"sesuai dengan planologi kota," dan penduduklah yang salah
dengan mendirikan rumahnya di sekitar pabrik. Tak ketinggalan
ancaman: bila penduduk membuat keributan dengan dalih keresahan,
tindakan itu dapat digolongkan "perbuatan kriminil."
Namun setelah melakukan penelitian di lapangan, Kepala Pusat
Penelitian Masalah Perkotaan & Lingkungan (PPMPL)-DKI, Soetjipto
Wirosardjono MSc mengatakan bahwa pabrik tersebut memang tak
memenuhi persyaratan. Cerobongnya misalnya, harus dipertinggi
sampai 30 meter.
Ketika ditinjau wartawan TEMPO Bachrun Suwatdi minggu lalu,
belum kelihatan tanda-tanda pemilik pabrik akan meninggikan
cerobongnya. Dan kalaupun cerobong ditinggikan tanpa dipasangi
penyaring debu, "apakah itu justru tak akan memperlebar radius
polusi, misalnya sampai Kampung Melayu?" tanya seorang penduduk
di situ. Belum lagi polusi kuping dan saraf karena getaran tiga
mesin disel berkekuatan 187 KVA serta dua mesin uap ' 350 TK,
yang sempat meretakkan beberapa tembok penduduk.
Berbagai keluhan masyarakat itu, hanya ditanggapi dengan nada
tak senang oleh Mulyadi Kartono, pimpinan pabrik di situ. "Ah,
soal itu kan sudah beres di DKI. Ada apa lagi? Hubungi saja
Humas DKI," katanya kepada TEMPO.
Setidak-tidaknya, dari segi sosial Lucky Print mungkin merasa
cukup dengan menghadiahkan 5 meter kain pada setiap kepala
keluarga, menjelang Lebaran. Di samping fasilitas pemeriksaan
dokter secara cuma-cuma, setiap hari Jum'at.
Tapi menurut penduduk, pokoknya pabrik itulah yang harus pindah.
"Sebab tempatnya di Pulo Gadung, bukan di daerah perumahan
seperti ini, kan?" komentar seorang warga RT 003.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini