Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok lingkungan hidup pada hari Senin, kemarin, mengkritik produsen minyak sawit Indonesia PT Astra Agro Lestari (AAL) atas laporan pihak ketiga yang menyelidiki keluhan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anak perusahaannya. Mengutip Reuters, Selasa, 28 November 2023, kelompok lingkungan mengatakan bahwa mereka gagal menyelidiki isu-isu utama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Astra menunjuk EcoNusantara untuk meninjau praktik di tiga anak perusahaannya pada bulan Maret menyusul tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh kelompok lingkungan hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu anak perusahaannya, PT Agro Nusa Abadi (ANA), dituduh merampas lahan petani di beberapa desa seluas sekitar 5.000 hektar (12.355,27 hektar).
“Meskipun ada kecaman internasional dan perusahaan-perusahaan barang konsumen menangguhkan pengadaan dari AAL karena pelanggaran yang terjadi di Sulawesi, penyelidikan ini tidak peduli untuk melihat bagaimana anak-anak perusahaan AAL memperoleh tanah dari masyarakat atau apakah perusahaan-perusahaan ini beroperasi secara legal,” Uli, manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan kelompok lingkungan hidup WALHI kata Arta Siagian dalam pernyataannya.
AAL mengatakan bahwa laporan EcoNusantara akan membantu para pemangku kepentingan untuk memahami apa yang terjadi di lapangan. Ia juga menyatakan perusahaan akan menyiapkan rencana aksi untuk melaksanakan rekomendasinya.
“Kami mendorong pihak-pihak yang tertarik untuk menyelesaikan masalah atau ingin membantu masyarakat untuk menjadi bagian dari proses ini,” kata Chief Executive AAL Santosa seraya menambahkan bahwa perusahaan akan memberikan update secara berkala.
Laporan EcoNusantara menemukan sengketa lahan di perkebunan ANA disebabkan oleh ketidaksepakatan mengenai kompensasi, yang mana nilai kompensasi sebesar 2,5 juta rupiah ($161,39) per hektare dianggap terlalu rendah. Tim verifikasi perusahaan juga tidak mengakui bukti hak kepemilikan tanah masyarakat.
Friends of the Earth dan WALHI yang berbasis di AS mengatakan bahwa laporan tersebut gagal memeriksa apakah AAL dan anak perusahaannya pernah berupaya mendapatkan Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (FPIC) dari masyarakat yang terkena dampak.
“Idealnya FPIC dilakukan pada awal investasi, namun dua dari tiga anak perusahaan AAL didirikan sebelum konsep FPIC diadopsi,” kata Chief Executive EcoNusantara Zulfahmi.
Beberapa perusahaan barang konsumen telah meminta pemasok mereka untuk berhenti membeli minyak sawit dari AAL setelah kelompok lingkungan hidup menemukan tahun lalu bahwa perusahaan tersebut tidak mendapatkan persetujuan dari masyarakat lokal sebelum mengklaim lahan, bahwa perusahaan tersebut membuang limbah secara tidak benar dan membuka lahan yang menyebabkan banjir.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.