Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMBARI menenteng kamera, Wahyu Sigit bolak-balik di sekitar Sungai Wendit. Ia berharap dapat mengambil gambar capung dari spesies Nososticta insignis di Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu. Sialnya, apa yang dia cari tak kunjung ditemukan.
Capung berciri ekor panjang, dada kecil, dengan corak warna kuning bergaris hitam itu lama tak terlihat di habitatnya. Menurut penggagas sekaligus ketua Indonesia Dragonfly Society ini, selama dua tahun mendata jenis capung di Wendit, ia hanya menjumpai jenis capung itu dua kali.
Bukan hanya Nososticta insignis yang kini sulit ditemukan. Capung jenis Paragomphus reinwardtii dan dari genus Anax juga mulai langka. Ketiganya dikenal sangat sensitif terhadap polutan. Diduga perubahan kualitas habitat menjadi penyebab serangga yang masuk kelas Insecta dan ordo Odonata ini raib.
"Ini capung endemik Jawa. Semoga tak terancam punah," ujar Wahyu. Kekhawatiran Wahyu tidak mustahil terjadi. Sebab, ancaman terhadap kelestarian capung di Wendit kini telah nyata di depan mata.
Sungai Wendit, yang dulu dikenal bersih, kini tercemar. Penampang sungai mulai menyempit dan terjadi pendangkalan. Warga Pakis abai membersihkan sungai ini. Padahal, kata Wahyu, "Dulu warga sering bekerja bakti membersihkan sampah."
Untuk berkembang biak, capung memerlukan lingkungan asri. Bahkan, saat masih berbentuk nimfa—fase terlama dalam siklus hidup capung yang mencapai sekitar tiga tahun, sedangkan fase dewasa hanya beberapa pekan—capung hanya bisa hidup di perairan yang sehat dan bersih.
Akibat pencemaran, beberapa jenis capung kini hanya bisa ditemukan di dataran tinggi yang air sungainya masih jernih, seperti di kaki Gunung Kelud, Welirang, dan Kawi. "Di tempat lain ada, tapi kondisinya cacat atau berkelamin ganda," ujar Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecological Observation and Wetlands Conservation).
Sungai tercemar bukan hanya masalah di Wendit. Menurut Prigi, umumnya sungai di Jawa Timur tercemar, mulai ringan, sedang, hingga berat. Ada sekitar 400 sungai yang rusak. Di Indonesia, 95 persen sungai dalam kondisi tercemar.
Menurunnya ragam dan populasi capung di Indonesia akibat pencemaran sungai membuat Worldwide Dragonfly Association prihatin. Komunitas pencinta capung dunia ini pun memasukkan capung Indonesia ke daftar merah alias terancam punah.
Kenyataan itu juga menyentil Indonesia Dragonfly Society. Aksi penyelamatan capung langsung diambil. Langkah pertama yang dilakukan adalah mendata ulang capung yang ada di Wendit. Dua tahun penelitian dilakukan. Hasilnya, ditemukan 31 jenis capung. Angka tersebut cukup tinggi dan menggembirakan, meski Sungai Wendit mulai tercemar.
Hasil temuan itu disampaikan dalam kongres capung dunia di Jepang, Agustus lalu. Para peserta kongres dan ahli capung dunia sangat antusias mendengarkan paparan tersebut. Apalagi Indonesia dikenal sebagai surga capung dunia.
Sebagai negara tropis, Indonesia menyimpan 700 jenis capung. Sedangkan di dunia ada sekitar 5.500 spesies. Hanya, sejauh ini belum ada data lengkap identifikasi capung di Indonesia. Alhasil, belum semua jenis capung dieksplorasi.
Capung tersebar di hampir seluruh Tanah Air. Itu sebabnya serangga ini memiliki nama berbeda di setiap daerah. Di Jawa Barat, capung disebut papatong. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikenal sebagai kinjeng, coblang, gantrung, atau kutrik. Sedangkan di Banjar orang menyebutnya kasasiur dan di Flores bernama tojo.
Lantaran kawasan Wendit memiliki keragaman spesies cukup tinggi, Indonesia Dragonfly Society mengusulkan kawasan ini dijadikan suaka capung. Selain itu, habitatnya mendukung. Jika terealisasi, ini menjadi suaka capung pertama di Asia. Daerah itu akan menjadi laboratorium alam penyedia aneka jenis capung, termasuk jenis langka. Syaratnya, ya itu tadi, kebersihan sungai harus dijaga.
Komunitas itu juga tengah menyiapkan buku berisi foto dan identifikasi capung. Sebelumnya, sudah ada buku Dragonfly of Borneo dan Dragonfly of Papua, tapi penulisnya orang asing. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pernah pula mengeluarkan buku mengenai capung.
Buku yang lebih lengkap itu akan diluncurkan pada Desember nanti dan dibagikan secara cuma-cuma untuk dunia pendidikan. Buku ini menjadi buku identifikasi capung pertama di Indonesia.
Tak hanya menyiapkan buku, Indonesia Dragonfly Society mengajak warga peduli terhadap kelestarian capung. Mereka antara lain mengenalkan jenis, perilaku, dan habitat capung kepada pelajar Sekolah Dasar Negeri II Mangliawan, yang berdekatan dengan habitat capung.
Wahyu juga mengajak warga sekitar Wendit turut menjaga habitat capung. Sebab, capung berfungsi pula menjaga keseimbangan ekosistem, membantu menjaga produktivitas pertanian, dan menjadi predator hama pertanian, seperti wereng cokelat, kupu, lalat, nyamuk, serta tomcat dan serangga pemakan daun.
Keragaman capung di Wendit juga berkat keberadaan pertanian sayur kangkung. Tanaman ini menjadi rumah bagi capung. Kangkung menyediakan makanan melimpah, seperti serangga air dan ikan kecil.
Para petani kangkung diberi penghargaan serta pengertian untuk mempertahankan tanaman kangkung. Keberadaan tanaman ini diharapkan membuat capung tak mengungsi dari sumber mata air Wendit. Kangkung juga efektif dalam menyerap polutan detergen yang berasal dari kolam pemandian Wendit Water Park, yang berada di atas Sungai Wendit.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang, Ratna Nurhayati, mengaku tertantang mengembangkan Wendit sebagai suaka capung. Sejumlah pertemuan yang membahas rencana penetapannya sebagai suaka capung dilakukan. Meski jenis capung tak diimbangi dengan populasi yang melimpah, gagasan suaka capung terbuka lebar.
Jika habitatnya diperbaiki, kata Ratna, capung akan datang lebih banyak ke kawasan itu. Suaka capung juga dikembangkan untuk layak dijadikan tempat wisata pendidikan. Keunikan capung sekaligus bisa menjadi unggulan Kabupaten Malang. Ratna berjanji akan menyiapkan anggarannya. "Bisa dibuat kurungan besar. Ini berpotensi menjadi obyek wisata," katanya.
Hanya, Wahyu berharap tak terlalu banyak pembangunan di kawasan Wendit karena justru akan mengancam habitat sekaligus populasi capung. Ia mengusulkan kawasan suaka itu dijadikan kawasan wisata pendidikan saja dan jumlah pengunjungnya dibatasi.
Sebagai pembanding, di Singapura ada tujuh taman buatan untuk melestarikan capung. Taman yang terletak di tengah kota itu memiliki 47 spesies capung dan dikembangkan menjadi tempat wisata, pendidikan, pengamatan, serta fotografi.
Habitat capung juga dibangun di permukiman penduduk di Amerika. Tujuannya untuk mengendalikan nyamuk. "Setiap capung memakan 50-100 ekor nyamuk per hari," ujar Ratna.
Pada 2017, Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah kongres capung dunia. Sebagai persiapan tahap awal, Indonesia Dragonfly Society akan melakukan pendataan capung di Pulau Jawa, yang terdeteksi memiliki 110 jenis capung.
Pendataan yang melibatkan komunitas mahasiswa pencinta alam dan fotografi itu akan dilakukan di Madura, Banyuwangi, Kalibendo, Wonosalam, Rawa Pening, Yogyakarta, dan Curug Nangka (Jawa Barat). "Setiap provinsi didata di beberapa titik," kata Wahyu. Pendataan ini dilakukan guna mengatasi ketertinggalan dibanding negara lain.
Jadi, bila suatu saat ada peneliti atau fotografer yang ingin melihat capung jenis Nososticta insignis, tak perlu berputar-putar di sekitar sungai atau berkeliling kecamatan, tapi cukup datang ke suaka capung Wendit. Sang serangga ada di sana.
Erwin Zachri, Eko Widianto (Malang)
Siklus Hidup Capung
Seekor capung memiliki umur bervariasi mulai enam bulan hingga lima tahun, tapi periode yang dilalui sebagai capung dewasa sangat singkat. Ada tiga tahap siklus hidup capung, yaitu telur, nimfa, dan capung dewasa. Sebagian besar siklus hidup capung di tahap nimfa. Tahapan ini tidak akan terlihat kecuali Anda berenang di bawah air di danau atau kolam.
1. Tahap Telur
2. Tahap Nimfa
3. Tahap Capung Dewasa
Habitat Capung di Wendit
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo