Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengarang: Mo Yan
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta, Jakarta; Cetakan II, 2012
Tebal: 752 halaman
Harga: Rp 99 ribu
Anda boleh melewatkan novel-novel saya yang lain, tapi Anda wajib membaca Big Breasts and Wide Hips," kata sastrawan Cina, Mo Yan. "Di situ saya menulis tentang sejarah, perang, politik, agama, cinta, dan seks."
Big Breasts and Wide Hips boleh dibilang salah satu puncak pencapaian literer sastrawan yang menerima Nobel Sastra pada pertengahan Oktober lalu itu. Serupa dengan para pencipta realisme magis Amerika Latin, seperti Gabriel Garcia Marquez—yang karya-karyanya dia baca, tapi dia berkeras karya-karya itu tak berpengaruh pada tulisannya—Mo Yan telah merentangkan batas-batas "realisme" dan "historisisme" menuju arah baru. Layaknya cerpen-cerpen Lu Hsun, novel-novelnya bisa dibilang tonggak realisme dalam khazanah sastra Cina.
Sangatlah pantas novelis yang bernama asli Guan Moye itu kemudian meraih pengÂharÂgaan sastra paling bergengsi tersebut. Beberapa rumah taruhan terpandang di Eropa menjagokannya di urutan teratas bersama novelis Jepang, Haruki Murakami. Bahkan Kenzaburo Oe, pemenang Hadiah NoÂbel Sastra 1994, menyatakan, "Saya akan memilih Mo Yan sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra jika saya diminta menjadi juri."
Judul novel yang terbit pada 1995 sebagai Feng ru fei tun ini memang kontroversial: menyiratkan sensualitas dan berpotensi menuai salah sangka bahwa ini novel erotis murahan. Mo Yan menyatakan inspirasinya timbul dari pengalaman melihat sebuah patung batu kuno berupa sesosok tubuh perempuan dengan payudara dan pantat menonjol. Tujuan ia menulis novel ini adalah menggali intisari kemanusiaan di tengah kekacauan politik serta memuliakan kaum ibu dalam suatu penggambaran simbolis.
Melalui Big Breasts and Wide Hips, seperti dalam novel-novelnya yang lain—termasuk Red Sorghum (1987) yang difilmkan dengan bagus oleh Zhang Yimou—lelaki 57 tahun ini menuliskan tafsir atas sejarah modern Cina. Ia mencipta ulang perjalanan sejarah Cina dengan memotret perjalanan hidup sebuah keluarga, berlatar hampir sepanjang abad ke-20, abad paling berdarah di Cina.
Dikisahkan, tanpa kehilangan rasa humor, seorang ibu rela mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan anak-cucunya dari sapuan badai politik. Di pusat cerita, tersebutlah seorang perempuan sederhana yang dipaksa menikah pada umur 17 tahun. Demi memuaskan keinginan keluarga suaminya yang kejam untuk memiliki keturunan laki-laki, dia melahirkan sembilan anak. Tak satu pun berasal dari benih suaminya yang mandul.
Narator kisah ini adalah anak lelakinya semata wayang, Shangguan Jintong—si bungsu yang manja dan kecanduan menyusu hingga dewasa, hasil perselingkuhannya dengan seorang pastor kulit putih. Ia dan saudari kembarnya lahir pada malam Perang Cina-Jepang (1936). Pembaca kemudian diajak melalui enam dekade yang penuh gejolak. Dimulai dari pasukan delapan bangsa asing yang menumpas pemberontakan pribumi pada awal abad, Perang Cina-Jepang, hingga pertarungan pasukan komunis Mao dan tentara nasionalis Chiang Kai-shek. Di sinilah Mo membuat para pengecamnya sangat marah karena dia memunculkan para pahlawan dan pembelot yang menyimpang dari pandangan lazim.
Big Breasts and Wide Hips, tentu saja, adalah karya rekaan. Meski membicarakan peristiwa-peristiwa historis, novel ini secara kritis berupaya menggali dan mengungkap sisi gelap manusia dan masyarakatnya. Ia, meski dengan setengah nyinyir, juga menunjukkan kesalahan dari kejadian tertentu atau tafsir politis yang dianggap benar dalam sejarah.
Bila dibandingkan dengan novel-novel pengarang Cina terkemuka lain, misalnya Raise the Red Lantern (1990)—edisi lain kumpulan novela ini berjudul Wives and Concubines—karya Su Tong, atau To Live (1992), novel sastrawan pembangkang Yu Hua, Big Breasts and Wide Hips boleh dibilang sangat brutal dan vulgar dalam mengisahkan sisi gelap masyarakat Cina.
Dalam beberapa hal, novel ini bisa disejajarkan dengan novel-novel realis PramoeÂdÂya Ananta Toer (1925-2006) dalam sastra kita, yang acap mengisahkan kekejaman perang dan revolusi, serta betapa manusia kerap terombang-ambing oleh gelombang sejarah. Kontroversi kisah hidup Mo Yan, yang semula dikenal sebagai pembangkang, tapi belakangan dekat dengan penguasa komunis, juga mirip dengan riwayat politik Pramoedya pada masa silam.
Anton Kurnia, penulis cerpen dan esai
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo