Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah minimal luas Ruang Terbuka Hijau atau RTH berdasarkan Undang-undang Nomor 6 tahun 2007, tentang Penataan Ruang adalah 30 persen dari luas wilayah kota. Di mana dalam UU Peraturan Menteri (Permen) PU nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan disebutkan proporsi RTH pada wilayah perkotaan sebesar minimal 30 persen yang terdiri dari 20 persen ruang terbuka hijau publik dan 10 persen terdiri dari ruang terbuka hijau privat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun sepertinya penerapan UU Nomor 6 tahun 2007 tersebut masih jauh dari harapan, pasalnya sebagian besar kota di Indonesia belum bisa menerapkan aturan tersebut. Menurut Kurnia yang melakukan penelitian di Depok, menyimpulkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi kurang tersedianya RTH publik yaitu perencanaan pembangunan, implementasi rencana kerja, keterbatasan anggaran, lemahnya pengawasan, keterbatasan lahan, dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan RTH.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurnia membagi faktor- faktor yang mempengaruhi implementasi RTH apabila dilihat dari sisi kebijakan atau hukum, berdasarkan penelitiannya terdapat faktor pendukung dan penghambat. Faktor pendukung ketersediaan RTH yaitu apabila kebijakan alokasi RTH untuk kebijakan tata ruang wilayah tepat serta komitmen kota untuk mewujudkan Kota Hijau, adanya LSM yang memberikan kegiatan green action, serta tersedianya anggaran untuk ruang terbuka hijau. Sedangkan faktor penghambatnya adalah rendahnya kesadaran masyarakat dalam memelihara dan mengelola lingkungan dan program penghijauan yang masih kurang.
Rini dan tim melaporkan dalam jurnal Factors Influencing The Avaibility Of Green Open Space in East Surabaya, Architecture & Environtment, faktor yang mempengaruhi ketersediaan RTH baik di kampung maupun di perumahan formal meliputi banyak hal, yakni pengalokasian ruang terbuka hijau dalam perencanaan tata ruang, program penghijauan, koefisien dasar hijau atau rangka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung, insentif dan disinsentif.
Faktor lain, menurut hasil penelitian Rini dkk. Juga meliputi bagaimana pengawasan dan pengendalian tata guna lahan, partisipasi masyarakat terhadap baik pemeliharaan maupun pengelolaan RTH, pengaruh tokoh masyarakat, kesadaran masyarakat, komunitas hijau, penghargaan dalam program reboisasi, fasilitator, dan keragaman inovasi penghijauan.
Sementara faktor ketersediaan RTH yang berpengaruh di kampung adalah keterbatasan lahan, kepadatan perumahan, perubahan tata guna lahan, dan terbatasnya dana. Untuk faktor ketersediaan RTH di perumahan formal adalah faktor koordinasi antara instansi pemerintah dan pengembang dan juga konsep yang ditawarkan pengembang.
Melihat banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi ketersediaan RTH, wajarlah tak banyak Kota yang mampu mengimplementasikan UU Nomor 26 tahun 2007 tersebut. Sebut saja Jogjakarta, Pemerintah Kota Yogyakarta terang-terangan mengaku kesulitan bila harus memenuhi target RTH sesuai amanat undang-undang itu.
“Kalau Kota Yogya memenuhi target RTH sebesar 30 persen, artinya sebanyak empat kecamatan harus (dikorbankan) jadi ruang terbuka hijau semuanya,” ujar Suyana saat diwawancarai pada Februari 2020 lalu, yang saat masih menjabat sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta.
HENDRIK KHOIRUL MUHID