Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Peta Jalan Dua Sektor

Target penurunan emisi Indonesia sangat tak mencukupi untuk mengatasi perubahan iklim. Menyoroti sektor kehutanan dan energi.

30 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Climate Action Tracker menyorot sektor hutan dan energi sebagai penyumbang besar emisi dari Indonesia

  • Kementerian Lingkungan Hidup mempercepat target net sink dari sektor lahan dan hutan

  • Pemerintah berencana memensiunkan PLTU batu bara mulai 2031

CLIMATE Action Tracker menilai target penurunan emisi gas rumah kaca dalam Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC) Indonesia sebesar 29-41 persen "sangat tidak mencukupi" untuk mengatasi perubahan iklim. Jika semua negara mengikuti pendekatan Indonesia, temperatur global akan melebihi 4 derajat Celsius pada akhir abad ini. "Indonesia perlu menetapkan target yang lebih ambisius untuk mendapatkan peringkat yang lebih baik," tulis lembaga itu di situsnya.

Climate Action Tracker (CAT) adalah lembaga analisis ilmiah independen yang melacak tindakan iklim pemerintah dan mengukurnya terhadap tujuan Perjanjian Paris. CAT memberikan analisis independennya kepada pembuat kebijakan sejak 2009. Perjanjian Paris, yang ditandatangani lebih dari 190 negara pada 12 Desember 2015, bersepakat "menahan pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius dan mengejar upaya membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celsius".

Dua sektor dalam NDC Indonesia yang disorot CAT adalah kehutanan dan penggunaan lahan serta energi. Menurut Manajer Senior World Resources Institute Indonesia Bidang Iklim, Hutan, dan Lautan Arief Wijaya, dua sektor itu menjadi penghasil emisi terbesar, yaitu sektor kehutanan dan lahan sebesar 55 persen serta energi sekitar 38 persen. "Kalau mau mengurangi emisi, memang fokusnya harus di dua sektor ini," katanya, Rabu, 27 Oktober lalu.

Perubahan komitmen di sektor kehutanan dan penggunaan lahan ada pada target net sink alias penyerapan bersih karbon. Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisol Nurofiq, ada arahan dari presiden untuk meningkatkan transparansi dan ambisi. “Net sink sektor kehutanan dari semula pada 2050 menjadi 2030," ujarnya dalam webinar “Sosialisasi Nasional Updated NDC”, 23 September lalu.

Kesuksesan perubahan rencana net sink itu, menurut Hanif, sangat bergantung pada kemampuan pengurangan deforestasi dan degradasi lahan baik di lahan mineral maupun gambut. Juga peningkatan kapasitas pengelolaan hutan alam dan lahan gambut dalam menyerap karbon, penerapan restorasi hutan, hutan lestari, dan pemaksimalan penggunaan lahan tidak produktif. “Hampir 14 juta hektare lahan dalam posisi kritis," tuturnya.

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan optimistis terhadap target net sink baru itu karena prestasi selama ini. Menurut dia, Indonesia berhasil mencegah konversi hutan alam dan lahan gambut seluas 62,6 juta hektare dan mengurangi tingkat kebakaran hutan sebesar 82 persen. "Laju deforestasi kita dalam beberapa tahun ini punya prestasi sangat baik," katanya dalam Festival Iklim di Jakarta, 17 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ihwal klaim pemerintah mengenai berkurangnya angka deforestasi itu, Forest Watch Indonesia (FWI) memberi catatan berbeda. Menurut Direktur Eksekutif FWI Mufti Fathul Barri, jika membandingkan kondisi pada 2009-2014 dengan 2014-2017, ada kenaikan angka deforestasi dari sekitar 1,1 juta hektare per tahun menjadi 1,3 juta per tahun. Namun dia mengaku belum melihat data deforestasi sampai 2020.

Mufti mengatakan hal lain yang ia temukan adalah kecenderungan pergeseran deforestasi. Sebelumnya deforestasi marak di Sumatera, lalu terjadi penurunan. Tahun-tahun ini, deforestasi bergeser ke arah timur, ke wilayah yang hutannya masih bagus seperti Papua. "Penurunan deforestasi itu bukan karena upaya yang dilakukan pemerintah, tapi hutannya sudah enggak ada atau berkurang," ucapnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petani menanam bibit menggunakan limbah abu batu bara dari PLTU Ombilin di Desa Sijantang Koto, Sawahlunto, Sumatera Barat, Oktober 2019./ANTARA/Iggoy el Fitra

Dalam sektor energi, penurunan emisi menjadi salah satu hal yang cukup menantang bagi Indonesia. CAT, dalam soal ini, melihat ada ketergantungan yang berkelanjutan pada bahan bakar fosil. "Ini bukan hanya problem Indonesia," kata Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Indonesia Sarwono Kusumaatmadja, Selasa, 26 Oktober lalu.

Menurut Direktur Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Luh Nyoman Puspa Dewi, sudah ada peta jalan dari sektor energi untuk menuju net zero emission pada 2060. "Kami telah menyusun net zero emission 2060 yang prinsipnya sesuai dengan arahan presiden," tuturnya dalam webinar sosialisasi NDC terbaru pada 23 September lalu.

Nyoman Puspa mengatakan komitmen mengurangi emisi dari sektor energi ini terlihat saat Presiden Joko Widodo menyampaikan ihwal investasi dalam transisi energi melalui pengembangan biofuel, baterai litium, dan kendaraan listrik pada Pertemuan Kepala Negara mengenai Iklim 2021. Prinsip net zero emission dilaksanakan dengan meningkatkan energi terbarukan, mengurangi energi fosil melalui pajak karbon, dan memensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Berdasarkan peta jalan menuju net zero emission 2060, ujar Nyoman Puspa, pada tahun ini akan dimulai penyiapan regulasi yang berhubungan dengan EBT serta penyusunan ketentuan mengenai pemensiunan PLTU batu bara. Dalam peta jalan yang disampaikan Nyoman Puspa, pemensiunan pertama PLTU akan dilakukan pada 2031, kedua pada 2037 dan terakhir pada 2055. Pada 2060, tingkat pemanfaatan EBT ditargetkan sudah 100 persen.

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, Indonesia semestinya bisa memiliki ambisi lebih besar dalam pengurangan emisi dari sektor energi, yaitu lebih tinggi dari 23 persen pada 2030. "Target sebelumnya kan dibuat pada saat belum ada pembicaraan soal kendaraan listrik dan sebagainya," ucapnya.

Fabby mengatakan Indonesia harus memastikan transisi energi itu mendapat dukungan finansial dari negara maju. Salah satu caranya adalah menagih komitmen mobilisasi pendanaan iklim dari negara maju sebesar US$ 100 miliar per tahun. "Kalau mau menaikkan ambisi, pastikan negara maju memberikan dukungan dana, investasi, dan alih teknologi," katanya. Soal ini bisa diperjuangkan dan dijadikan agenda dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Glasgow, Skotlandia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus