Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia mengikuti Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia, tanpa mengubah target pengurangan emisi gas rumah kaca.
Target pengurangan gas rumah kaca Indonesia tetap 29 persen dengan usaha sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional.
Climate Action Tracker menilai NDC Indonesia sangat tidak mencukupi untuk memenuhi target sesuai dengan Perjanjian Paris.
GABRIEL Sakeru, warga Maileppet, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, masih ingat Pantai Maileppet yang berpasir putih-keabuan dulu berada 300 meter dari jalan. Kini jaraknya dari jalan cuma 3-10 meter. "Dulu tempat kami mandi-mandi sepulang sekolah. Kini nyaris lenyap," katanya, 9 Oktober lalu. Hilangnya Pantai Maileppet akibat kenaikan permukaan air laut dan abrasi itu adalah bukti dampak perubahan iklim yang sudah di depan mata.
Sebagian masyarakat kini menyebutnya krisis iklim, yang efeknya tak hanya membuat sebagian besar Pantai Maileppet ditelan laut, tapi juga melenyapkan Pulau Sibitik yang berada tak jauh dari sana. Menurut Gabriel, luas pulau itu sekitar 20 ribu meter persegi dan dipenuhi bakau. Riris Hermawan, pegawai Dinas Perikanan Kabupaten Kepulauan Mentawai, mengatakan hilangnya pulau itu baru diketahui dua tahun lalu. "Saat survei validitas pulau-pulau kecil di Mentawai pada 2019, Sibitik memang tidak terlihat lagi," tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut juru kampanye lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Yuyun Harmono, dampak lain krisis iklim adalah cuaca ekstrem, meningkatnya angka bencana hidrometeorologi, dan kenaikan suhu perkotaan. “Kenaikan suhu rata-rata perkotaan ini ancaman yang nyata, meski dirasakannya tidak seekstrem topan Seroja, April lalu," ujarnya, Selasa, 26 Oktober lalu.
Heru Santoso, peneliti Pusat Riset Geoteknologi Badan Riset dan Inovasi Nasional, mengatakan salah satu dampak nyata perubahan iklim adalah cuaca yang makin tidak menentu. Dulu, jika hendak mencari ikan, nelayan tahu kapan mulai berlayar. Musim angin muson barat dan muson timur pun bisa dipastikan. "Sekarang sudah enggak teratur," ucapnya, Rabu, 27 Oktober lalu. Dampak yang sama dirasakan oleh petani, yang merasakan ketidakpastian musim tanam.
Pemerintah menyadari bahaya perubahan iklim ini. "Kita pahami bersama bahwa 95 persen kejadian bencana merupakan bencana hidrometeorologi seperti banjir, badai, tanah longsor, kekeringan, angin puting beliung, gelombang pasang, dan abrasi, yang merupakan dampak perubahan iklim. Pada 2015, ada 1.654 bencana dan menjadi 4.650 kejadian pada 2020," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam acara “Sosialisasi Nasional Updated Nationally Determined Contribution” yang disiarkan melalui kanal YouTube Kementerian pada 23 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah warga Maileppet yang semakin mendekati laut, di Siberut, Mentawai, Provinsi Sumatra Barat, 9 Oktober 2021./Tempo/Febriyanti
Tentu saja bukan hanya Indonesia yang menghadapi masalah ini. "Perubahan iklim adalah ancaman terbesar bagi dunia," tutur Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Owen Jenkins, dalam konferensi pers pada Kamis, 28 Oktober lalu. Dampak yang dirasakan di banyak negara berupa cuaca lebih ekstrem, gelombang panas, dan kebakaran hutan. Tahun lalu, tercatat rekor tahun terpanas di Asia, yakni 1,4 derajat Celsius di atas suhu rata-rata selama tiga dekade sebelumnya. Cuaca ekstrem dan dampak perubahan iklim menyebabkan kerugian ekonomi miliaran dolar Amerika Serikat.
Masalah inilah yang menjadi agenda pembahasan dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia, pada 31 Oktober-12 November 2021. Konferensi ini diikuti oleh delegasi dari 197 negara yang menandatangani Perjanjian Paris pada 2015. Sesuai dengan perjanjian itu, negara-negara tersebut setuju membatasi suhu pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius—idealnya 1,5 derajat Celsius—pada 2100. Upaya yang disarankan antara lain segera meninggalkan energi fosil, beralih ke moda transportasi bertenaga listrik, menghentikan deforestasi, mencegah kebakaran hutan, dan beralih ke ekonomi hijau.
Berdasarkan Perjanjian Paris, semua negara harus menyampaikan Kontribusi yang Ditentukan secara Nasional (NDC), yakni target sukarela untuk mengurangi emisi agar suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius pada akhir abad ini. Disepakati juga bantuan pendanaan dari negara maju kepada negara berkembang dalam memitigasi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim sebesar US$ 100 miliar per tahun sejak 2020. Alokasi dana ini bagian dari tanggung jawab historis negara-negara itu karena mereka lebih dulu mengemisi atmosfer pada zaman Revolusi Industri pada 1880-an.
Indonesia menyampaikan NDC yang diperbarui ke sekretariat Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) pada 22 Juli lalu. Target pengurangan emisi tak berubah: 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen bila dibantu internasional. Menteri Siti Nurbaya mengatakan, meski target tetap, ada penguatan komitmen, yaitu menetapkan net zero emission pada 2060 atau lebih cepat melalui dokumen Long Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050. "Ini menunjukkan peningkatan komitmen dalam mitigasi, adaptasi, transparansi, dan implementasi," kata Siti, 23 September lalu.
Dalam NDC Indonesia, ada dua sektor yang mendapat target pengurangan emisi terbesar, yaitu kehutanan dan penggunaan lahan serta energi. Menurut Manajer Senior World Resources International Indonesia Bidang Iklim, Hutan, dan Lautan Arief Wijaya, saat ini sektor kehutanan menjadi pengemisi 55 persen, sementara sektor energi 38-40 persen. "Memang fokusnya harus di dua sektor ini," ucapnya, Rabu, 27 Oktober lalu.
Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Indonesia
Sarwono Kusumaatmadja, ada penambahan berupa masuknya blue carbon untuk penguatan di sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Dia menambahkan, Indonesia cukup optimistis karena dalam lima tahun terakhir bisa menekan angka kasus kebakaran hutan pada saat negara di benua lain, seperti di Amerika dan Eropa, mengalami masalah yang sama. Selain itu, Indonesia menetapkan net sink—penyerapan bersih—karbon dari sektor ini pada 2030.
Ihwal sektor energi, Menteri Siti mengatakan upaya mencapai target didorong transformasi energi menuju penghapusan bertahap dari pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap batu bara serta substitusi dengan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). "Termasuk mengelaborasi potensi sumber baru EBT, seperti hidrogen dan energi gelombang," ujarnya.
Sektor energi akan mencapai net sink karbon lebih lama. Menurut Eka Chandra Buana, Direktur Perencanaan Makro dan Analisis Statistik Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, puncak emisi di sektor energi masih dihitung oleh Dewan Energi Nasional. “Perihal pencapaian net zero emission pada 2060, penggunaan EBT ditingkatkan menjadi 70 persen pada 2050 dan 87 persen pada 2060. Untuk mendukung pengembangan EBT di sektor ketenagalistrikan, sebaiknya tidak ada lagi pembangunan pembangkit berbasis fosil," katanya dalam webinar yang diselenggarakan Institute for Essential Services Reform pada Jumat, 29 Oktober lalu.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang tidak menaikkan target NDC. Menurut data Climate Action Tracker, sampai Kamis, 28 Oktober lalu, ada delapan negara lain yang bersikap sama, yaitu Australia, Brasil, Meksiko, Selandia Baru, Rusia, Singapura, Swiss, dan Vietnam. Sedangkan negara yang mengajukan penguatan NDC sebanyak 22. Arief Wijaya mengatakan Climate Action Tracker menilai NDC Indonesia sangat tidak mencukupi (highly insufficient). "Dari kacamata pemerintah, target NDC sudah cukup ambisius. Dari pemerhati dan organisasi lingkungan, pemerintah masih bisa lebih ambisius dalam menetapkan target pengurangan emisi," ucapnya.
Untuk mencapai target, kata Sarwono Kusumaatmadja, Indonesia akan mengangkat soal pendanaan iklim dalam COP26, termasuk menagih komitmen lama negara maju menyediakan dana US$ 100 miliar per tahun. Indonesia memiliki kebijakan mengenai pendanaan iklim ini, termasuk lewat regulasi pajak karbon. Yang terbaru adalah peraturan presiden tentang nilai ekonomi karbon yang dibutuhkan untuk mengatur perdagangan karbon, yang ditandatangani pada Jumat, 29 Oktober lalu. "Dengan langkah itu dan sebagai Ketua G20 (tahun depan), Indonesia bisa berposisi dan memiliki peran bagus," ujar Sarwono.
Helen Faulkner, Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Inggris Bidang Kebijakan Perubahan Iklim dan Rendah Karbon, mengakui adanya masalah dalam pendanaan internasional, yang sedianya diberikan sejak 2020. "Saya kira itu akan bisa tercapai pada 2023," tuturnya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 28 Oktober lalu. Inggris Raya, sebagai tuan rumah COP26, meningkatkan komitmennya dengan menyediakan 11,6 miliar pound sterling mulai 2021 sampai 2025 dan berusaha mendorong negara maju lain mengikuti langkah yang sama.
Agenda lain yang juga perlu dibahas adalah penyelesaian Paris Rulebook atau aturan yang diperlukan untuk mengimplementasikan Perjanjian Paris. Menurut Owen Jenkins, aturan itu perlu difinalkan, termasuk pembahasan pasal 6 yang mengatur perdagangan karbon untuk membantu dunia bekerja sama mengurangi emisi dengan biaya rendah.
Yuyun Harmono mengatakan Paris Rulebook belum disepakati, termasuk pengaturan skema pendanaan iklim. Terdapat dua skema, yaitu pasar dan nonpasar. Dalam skema nonpasar, dana diberikan untuk membantu negara berkembang menangani krisis iklim. "Sudah ada Green Climate Fund, tapi ini bukan jalur yang dominan," ujarnya.
Yuyun menilai yang lebih banyak didorong dan didukung negara maju serta korporasi besar adalah skema pasar, yaitu melalui perdagangan karbon. Ia menilai skema ini kurang menguntungkan untuk pengurangan emisi karbon. "Korporasi besar dan negara maju, alih-alih menurunkan emisi dalam praktik bisnisnya, lebih baik membayar negara atau pihak lain yang menjual karbon daripada menurunkan emisinya secara drastis," tuturnya. Skema pasar ini, Yuyun melanjutkan, juga tak adil bagi pihak yang tidak memiliki hutan tapi merasakan dampak krisis iklim.
Namun yang menghantui pelaksanaan COP26, yang tertunda setahun karena pandemi Covid-19, adalah kekhawatiran bahwa hasilnya masih jauh dari cita-cita yang digariskan dalam Perjanjian Paris, yaitu menahan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius pada 2100. Menurut Owen Jenkins, target itu pun sebenarnya tak ideal tapi dipilih karena merupakan skenario terbaik yang bisa dicapai. Sayangnya, dia melanjutkan, sepertinya suhu bumi akan naik di atas 1,5 derajat Celsius pada 2030 atau antara 1,5 dan 2,7 derajat kenaikan suhu global rata-rata abad ini, kecuali ada pengurangan emisi yang signifikan dan segera.
Sisa-sisa banjir besar di Bekasi, Jawa Barat, Januari 2020./Dok TEMPO/Ahmad Tri Hawaari
Dengan kenaikan suhu di atas 2 derajat Celsius, manusia akan merasakan dampak yang sangat berat, termasuk kita di Indonesia. "Kekeringan akan lebih panjang, muka air laut lebih tinggi. Negara kepulauan kecil seperti Fiji, Vanuatu, bisa tenggelam," kata Arief Wijaya. Temperatur yang tinggi juga bisa berdampak pada sejumlah komoditas, seperti kopi. Terumbu karang pun bakal rusak dan hal itu mempengaruhi biota laut. Dampak berikutnya adalah sumber makanan dari laut sulit didapatkan.
Laporan UNFCCC terbaru menyebutkan, berdasarkan semua NDC yang tersedia dari 192 pihak, diperkirakan terjadi peningkatan emisi gas rumah kaca cukup besar—sekitar 16 persen—pada 2030 dibanding pada 2010. Kecuali ada perubahan drastis, hal itu bisa menyebabkan kenaikan suhu sekitar 2,7 derajat Celsius pada akhir abad ini. "Para pihak harus segera menggandakan upaya iklim mereka jika ingin mencegah kenaikan suhu global melampaui Perjanjian Paris pada akhir abad ini," ujar Patricia Espinosa, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, seperti dilansir di situs UNFCCC.
Alok Sharma, Presiden COP26, mengatakan laporan UNFCCC itu menggarisbawahi alasan negara-negara perlu menunjukkan aksi iklim yang lebih ambisius dalam COP26 Glasgow. "Laporan terbaru dari UNFCCC ini memperjelas, untuk melindungi dunia dari dampak perubahan iklim yang paling merusak, negara-negara harus mengambil tindakan yang lebih ambisius dalam soal emisi, dan mereka harus bertindak sekarang," ucapnya seperti dilansir di situs UNFCCC. "Ada kemajuan (target NDC), tapi tidak cukup."
Meski dampak krisis iklim diketahui sudah di depan mata dan dirasakan semua penghuni planet ini, tentu tidak selalu mudah menghasilkan kesepakatan yang bisa disetujui semua negara. Menurut Sarwono Kusumaatmadja, lantaran pihak yang terikat oleh Perjanjian Paris lebih dari 190 negara, bisa dipastikan tidak gampang menghasilkan keputusan yang disetujui secara bulat. Semuanya bergantung pada kita dan aliansi yang dibikin dalam COP. Dengan kata lain, ujar dia, "Mesti pintar berdiplomasi."
FEBRIANTI, ANWAR SISWADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo