Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Lumbung Pangan Lumbung Masalah

Lahan lumbung pangan di Humbang Hasundutan menyerobot lahan adat hutan kemenyan. Hasil panen food estate di bawah target.

 

30 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Areal food estate atau lumbung pangan di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, menyerobot lahan adat.

  • Penduduk menanam komoditas kentang, bawang putih, dan bawang merah yang dibeli perusahaan besar.

  • Panen tak sesuai target karena lahannya tak cocok.

SEROMBONGAN petugas yang mengaku dari Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan Sumatera Utara datang ke Desa Ria-Ria di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, yang berada di sisi tenggara Danau Toba pada Agustus 2020. Kepada Kepala Desa Jon Ferdianus Lumban Gaol, para petugas meminta izin memasang patok untuk kawasan lumbung pangan atau food estate.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah menetapkan desa di perbukitan ini menjadi desa percontohan penerapan lumbung pangan untuk perkebunan kentang, bawang merah, dan bawang putih. Food estate adalah proyek strategis pemerintah Joko Widodo untuk mencegah krisis pangan akibat pandemi Covid-19 (baca liputan lengkap di edisi 9 Oktober 2021: “Main-Main Lumbung Pangan”).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Humbang Hasundutan, total luas wilayah food estate 23 ribu hektare. Tanpa sempat mencerna permintaan para petugas itu, Jon mengizinkan pemasangan patok. “Katanya hanya sementara, masyarakat bisa protes jika keberatan,” kata Jon, 53 tahun, pada Selasa, 26 Oktober lalu. Ia mengutus empat pamong desa untuk mengawasi pemasangan patok tersebut.

Para petugas memasang patok di pekarangan, di belakang rumah, di kebun yang diolah penduduk. Menurut Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Delima Silalahi, patok-patok tersebut menyerobot lahan adat di Desa Ria-Ria. “Pemasangannya tanpa sepengetahuan masyarakat,” tuturnya. 

Kebun-kebun yang masuk area food estate itu diolah masyarakat dengan menanam aneka buah-buahan, seperti durian, kemenyan, dan andaliman. Kemenyan dan andaliman adalah pohon yang disuling untuk minyak asiri, bahan parfum.

Jon mendapatkan laporan luas food estate di desanya 411,5 hektare. Ini wilayah yang lahannya menjadi mata pencarian penduduk. Namun, menurut Bupati Humbang Hasundutan Dosmar Banjarnahor, area food estate masuk lahan konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang menganggur. “Ini lahan telantar yang tinggal semak belukar,” ucapnya.

Jon berkerut mendengar informasi itu. Di desanya, area yang diklaim food estate itu adalah area permukiman yang sudah dihuni oleh penduduk Batak Karo yang kini memasuki keturunan ke-12. Klaim Jon juga terbukti dari analisis citra satelit bahwa Desa Ria-Ria bukan wilayah konsesi PT TPL.

Josua Lumban Batu, tokoh adat Humbang Hasundutan, menambahkan, tanah adat di Desa Ria-Ria telah mendapat pengakuan pada 1979 melalui Keputusan Bupati Tapanuli Utara Nomor 138/Kpts/1979. “Kami sudah tinggal di sini 300 tahun,” katanya.

Josua menunjukkan 11 situs cagar budaya yang menunjukkan penduduk Ria-Ria telah bermukim di sana berada-abad. Pada abad ke-19, Josua menjelaskan, pemerintah kolonial Hindia Belanda membagi lahan di sini menjadi tiga: hutan dan perkampungan, tombak raja berikut Danau Toba, serta hutan lindung.

Pada 1964, saat Kabupaten Tapanuli Utara baru terbentuk, pemerintah Orde Baru gencar mengadakan reboisasi dengan menanam pinus. Program itu berbenturan dengan permukiman penduduk. Penduduk Ria-Ria pun mempertahankan wilayah 10 ribu hektare agar tak masuk kawasan hutan negara.

Konflik tenurial ini meletus hingga pada 1979 Presiden Soeharto mengutus Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Sudomo. Setelah berdiskusi, Bupati Tapanuli Utara Salmon Sagala mengabulkan permintaan penduduk Ria-Ria. “Sekarang tiba-tiba ada patok-patok food estate,” tutur Josua, 67 tahun.

Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara bersama Serikat Petani Indonesia menyebutkan lahan adat di Ria-Ria dikelola tujuh marga. Keturunan Marga Siregar, Tampubolon, dan Sihotang berhak atas pengelolaan lahan di sisi kanan. Sedangkan Lumban Gaol, Banjarnahor, Pandiangan, dan Manullang berhak atas lahan di sisi kiri.

Di Ria-Ria, setiap marga punya pengurus (ketua, sekretaris, dan bendahara). Para pengurus marga ini rutin bertemu setiap tiga bulan untuk berbagi informasi mengenai pengelolaan lahan adat mereka. Walhi menemukan potensi konflik antara Desa Ria-Ria dan Parsingguran I, yang dihuni banyak pendatang. Masyarakat Ria-Ria mengklaim wilayah food estate di Desa Parsingguran I seluas 80 hektare adalah lahan milik mereka sesuai dengan surat keputusan Bupati Tapanuli Utara pada 1979.

Lahan dan Tanaman bawang merah di lokasi food estate, di Desa Siria-ria, Humbanghasundutan, Sumatera Utara, 4 September 2021./Tempo/Mei Leandha

Penetapan area food estate di Humbang Hasundutan dimulai pada pertengahan Juni 2020. Dalam sebuah rapat online, menurut pejabat pemerintah Humbang Hasundutan yang ikut pertemuan ini, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyediakan lahan untuk proyek lumbung pangan. 

Bupati Dosmar Banjarnahor mengusulkan food estate dibuka di Kecamatan Pollung. Desa Ria-Ria ada di kecamatan ini. Alasannya, kecamatan ini masuk wilayah konsesi PT Toba Pulp Lestari Tbk, perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto. Luhut lalu meminta Siti segera menyiapkan alas hukum agar program food estate segera berjalan.

Pada 28 Juli 2020, Menteri Siti Nurbaya menerbitkan keputusan Nomor SK.307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020 yang isinya pengurangan konsesi PT Toba seluas 16.574 hektare. Dari luas ini, 14.826 hektare lahan ditujukan bagi ketahanan pangan. Izin food estate ini mendahului dasar hukum pemakaian kawasan hutan untuk ketahanan pangan yang baru diterbitkan Menteri Siti pada 2 November 2020.

Pada 22 Oktober 2020, penanaman komoditas food estate dimulai. Lahan-lahan di kawasan hutan produksi itu dibagi-bagi kepada para petani di desa sekitarnya. Tiap petani mendapat 1-2 hektare untuk menanam kentang, bawang putih, dan bawang merah. “Sertifikatnya hak milik yang bisa diwariskan tapi tidak boleh dijual,” kata Dosmar.

Komoditas perkebunan itu lalu dijual kepada perusahaan yang ditunjuk pemerintah untuk menyerap hasilnya. Di antara perusahaan besar yang menjadi off-taker ini ada Indofood, Wings, dan Champ. Deputi Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Nani Hendi mengatakan kehadiran perusahaan besar itu untuk menjamin hasil panen para petani. 

Masalahnya, food estate mengubah pola bertani penduduk Humbang Hasundutan yang tadinya komunal mengelola lahan adat menjadi perorangan. Karena itu, menurut Putra Septian, Manajer Kajian dan Advokasi Walhi Sumatera Utara, food estate rawan memicu konflik antar-penduduk. “Apalagi ada perusahaan besar yang akan menentukan cara petani berkebun,” ujarnya.

Walhi juga menemukan pembibitan kentang seluas 3 hektare di Desa Parsingguran II yang akan dipasok ke petani milik Bupati Dosmar. Lahan tersebut disewakan kepada perusahaan yang memasok bibit kepada perusahaan penampung komoditas petani. Bupati Dosmar mengakui ikut terlibat dalam pengembangan food estate di kampung halamannya karena menguntungkan masyarakat. 

Klaim Dosmar itu tak terbukti ketika masa panen tiba. Tanah di Desa Ria-Ria yang berpasir tak cocok untuk hortikultura. Akibatnya, dari target panen kentang 20 ton per hektare, masyarakat hanya bisa mengumpulkan 15 ton. “Pengelolaannya juga buru-buru dan benihnya kurus-kurus,” kata Aslin Simamora, petani Ria-Ria. Seharusnya, Aslin menjelaskan, setelah dibuka, lahan dibiarkan selama enam bulan sebelum ditanami. 

Cemas lahan food estate menginvasi lahan adat, warga Desa Ria-Ria menulis surat kepada Presiden Joko Widodo yang ditembuskan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hingga Camat Pollung pada 13 September lalu. Mereka meminta Jokowi memperhatikan aturan pengakuan lahan adat karena ada satu dusun yang sudah berubah menjadi perkebunan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Mei Leandha dari Ria-ria, Sumatera Utara, berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lumbung Pangan Lumbung Masalah". 

Dini Pramita

Dini Pramita

Dini Pramita saat ini adalah reporter investigasi. Fokus pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus