Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Cagar Biosfer Tanjung Puting kini menjadi salah satu laboratorium alam yang vital untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan di Pulau Kalimantan. Cagar yang secara administratif mengiris dua kabupaten, yaitu Kotawaringin Barat dan Seruyan, juga mewakili hutan rawa gambut di Borneo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Balai Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), Murlan Dameria Pane, mengatakan cagar biosfer itu sudah dimanfaatkan untuk penelitian lintas topik, mulai dari lingkungan, biodiversitas, sosial ekonomi, hingga ekowisata. “Memiliki keanekaragaman ekosistem hutan yang tinggi, termasuk hutan dataran rendah,” katanya melalui keterangan tertulis, Jumat, 20 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cagar biosfer Tanjung Puting terletak di semenanjung selatan Kalimantan, meliputi daerah rawa alluvial antara Teluk Kumai hingga Sungai Seruyan. Wilayahnya meliputi hutan rawa air tawar, hutan kerangas, hutan rawa gambut, hutan bakau, dan hutan pantai.
Menurut Murlan, area cagar biosfer ini didominasi oleh ekosistem hutan dipterocarpae, famili pohon tropis, dan hutan rawa gambut. Ekosistem ini memperbesar kontribusi cagar alam tersebut dalam menyerap karbon, serta mendukung ketersediaan air.
Merujuk catatan terakhir, TNTP memiliki 48 spesies mamalia, 55 spesies ikan, 50 spesies of amphibi, 33 spesies reptil, 284 spesies burung, dan 108 spesies kupu-kupu. Peningkatan populasi orangutan dan bekantan di sana melebihi target pemerintah tentang Penetapan Dua Puluh Lima Satwa Terancam Punah Prioritas. “Untuk ditingkatkan populasinya sebesar 10 persen,” ucap Murlan.
Para periode 2019-2023, Murlan menyebut ada 674 individu dari 7 spesies yang dilepasliarkan ke kawasan TNTP. “Kami juga melakukan pengamatan kamera trap yang bertujuan untuk mengamati keanekaragaman satwa pada studi area,” tuturnya. Dia mengimbuhkan bahwa kamera itu merekam 1440 individu dari 28 spesies, pada 2021-2024.
Terancam Kebakaran Kala Kemarau
Murlan menyebut kebakaran lahan merupakan ancaman terbesar di TNTP saat kemarau, terutama karena mayoritas cagar alamnya tediri dari rawa gambut. Karena itu, pada 2018-2023, pengelola TNTP menggencarkan pemulihan ekosistem seluas 7.244 hektare, secara mandiri maupun yang bermitra dengan pemerintah, organisasi sipil, dan swasta.
“Patroli (pencegahan kebakaran) digelar rutin di 11 resort TNTP,” kata dia.
Jumlah penerimaan negara dan kunjungan wisata di Tanjung Puting meningkat pada 2023. Penginkatannya diklaim lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Terdapat 39 kelompok masyarakat dari 19 desa di zona penyangga TNPT yang telah menerima program pemberdayaan masyarakat. Program ini, ucap Murlan, berhasil meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi ketergantungan mereka pada alam.