Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan telah bertemu dengan Presiden/CEO World Resources Institute (WRI Global), Ani Dasgupta, dan menandatangani MoU kemitraan teknis pada Februari 2023, yang di antaranya membahas koreksi data deforestasi dari Global Forest Watch (GFW).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurutnya, KLHK dan WRI telah melakukan koreksi terhadap data deforestasi Indonesia tahun 2022 versi GFW sebesar hampir 54 persen, dari sebelumnya seluas 230 ribu hektare berubah menjadi 107 ribu hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Hasil analisis bersama tersebut bisa diakses di website Global Forest Watch,” kata Menteri LHK Siti Nurbaya melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Kamis, 25 Februari 2024.
Siti menjelaskan bahwa langkah koreksi data deforestasi versi Global Forest Watch tersebut dilakukan setelah melakukan peninjauan bersama ke lapangan pada Juni 2023.
“Perwakilan dari Pemerintah Norwegia juga turut serta dalam peninjauan lapangan tersebut dan menyaksikan langsung bahwa terdapat kawasan non-hutan alam (seperti kebun sawit, hutan tanaman, dan kebun masyarakat) dimasukkan sebagai hutan primer,” kata dia.
Ia mengatakan ada kekeliruan dalam definisi kawasan non-hutan alam dalam perhitungan deforestasi versi Global Forest Watch. Menurut dia, proses koreksi terus dilakukan melalui kemitraan teknis dengan WRI.
“Perlu saya tegaskan bahwa data Global Forest Watch tidak melakukan cek lapangan, sehingga kami bersama WRI berkolaborasi untuk memperkuat data kehutanan yang berbasis fakta lapangan,” kata dia.
Tidak hanya koreksi tersebut, Siti menjelaskan bahwa KLHK dan WRI juga sedang melakukan langkah-langkah teknis untuk melakukan koreksi terhadap data kebakaran hutan dan lahan (karhutla) versi Global Forest Watch yang keliru.
“Data karhutla Global Forest Watch mengungkapkan bahwa karhutla serius terjadi pada 2016 dan 2020. Faktanya, bukan terjadi pada kedua tahun itu, melainkan tahun 2015 dan 2019,” Siti Nurbaya memberikan salah satu contoh koreksi teknis lainnya terhadap data karhutla Global Forest Watch.
Menurutnya, koreksi awal sudah dilakukan dengan menambahkan penjelasan teknis di bagian bawah grafik Global Forest Watch yang terkait Indonesia. "Bisa dilihat di website mereka," ujarnya.
Siti Nurbaya juga memberikan perkembangan terbaru dari pelaksanaan MoU dengan WRI di Washington DC, di mana pada akhir Februari bulan depan ini, akan dilakukan analisis bersama lagi mengenai data deforestasi 2023 versi GFW.
“Tim dari University of Maryland (sebagai pihak penyedia data) Global Forest Watch dan WRI DC akan ke Jakarta akhir Februari ini untuk bersama-sama dengan tim KLHK dalam penyiapan analisis bersama serta tinjauan ke lapangan,” katanya.
Menurut dia, koreksi lanjutan terhadap data Global Forest Watch serta penguatan data kehutanan Indonesia akan terus berlanjut dalam kolaborasi teknis KLHK dengan WRI DC, yang didukung oleh Pemerintah Norwegia.
“Jadi, ini bukan masalah beda cara baca data, tapi memang bagian-bagian dari data Global Forest Watch tersebut yang harus dikoreksi. Ada yang telah dikoreksi dan ada yang sedang dalam proses dikoreksi,” kata dia.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Direktur Program untuk Pertanian, Kehutanan, dan Tata Guna Lahan World Resources Institute (WRI) Indonesia, Tomi Haryadi, ikut menanggapi polemik perihal data deforestasi di Indonesia.
Menurut dia, pihaknya telah puluhan tahun berkomitmen untuk memantau dan mempublikasikan data mengenai deforestasi di dunia, termasuk Indonesia. "Upaya ini dilakukan dengan memanfaatkan data yang telah dihimpun dan tersedia secara publik melalui platform Global Forest Watch (GFW)," kata Tomi melalui jawaban tertulis kepada Tempo, Kamis, 25 Januari 2024.
Mengenai perbedaan metodologi dalam mencatat data deforestasi tersebut, Tomi merujuk riset WRI yang telah merinci definisi deforestasi dan metodologi yang digunakan dalam platform yang dipakai Global Forest Watch. Riset tersebut menyebutkan sejak diluncurkan pada 2014, misi utama GFW adalah mendorong keterbukaan data dan informasi ilmiah terkait hutan dunia untuk menjaga hutan dan menghentikan deforestasi.
Pihaknya, kata Tomi, jika mengacu ke riset tersebut, memahami bahwa setiap negara memiliki metode dan definisi yang berbeda-beda, sehingga GFW menggunakan metode dan definisi yang memungkinkan pengguna untuk dapat menghitung dan membandingkan kehilangan tutupan pohon dan kehilangan tutupan hutan di berbagai negara secara konsisten.
"Oleh karena itu, metode dan definisi yang digunakan bersifat universal dan berlandaskan kaidah penelitian ilmiah. GFW menggunakan data dan metode yang dihasilkan oleh tim peneliti Universitas Maryland (UMD)," tulis hasil riset yang menjadi acuan Tomi.
Menurut Tomi, riset WRI itu telah menjelaskan perbedaan data deforestasi milik GFW dan KLHK terjadi karena pendefinisian yang berbeda tentang hutan primer. Ia mengatakan dalam risetnya definisi hutan primer yang digunakan oleh UMD dan dirujuk oleh GFW mencakup hutan alam yang utuh dan tidak utuh. Sedangkan definisi hutan primer versi KLHK mengacu pada hutan alam yang utuh saja.
"Definisi ini merupakan bagian dari terminologi umum hutan alam yang terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder, di mana hutan primer adalah hutan alam utuh dan hutan sekunder adalah hutan alam tidak utuh yang telah menampakkan bekas tebangan atau gangguan," seperti yang tertulis dalam riset WRI.
"Dengan demikian, yang dimaksud dengan hutan primer oleh UMD lebih dekat dengan terminologi hutan alam menurut definisi KLHK," tulis riset WRI yang jadi rujukan Tomi.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.