Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AROMA daun pandan dan daun jeruk menguar dari sebuah warung kecil di Pantai Muaro Padang. Sang pemilik, Ani, 37 tahun, sedang merebus dedaunan itu. Saat air mulai mendidih, ia langsung mencemplungkan tiga butir telur penyu hijau berwarna putih mirip bola pingpong ke dalam panci.
Sesaat kemudian telur diangkat dan dimasukkan ke kantong plastik berisi irisan daun pandan dan jeruk segar. ”Biar enggak amis,” kata Ani, sembari menyerahkan telur penyu rebus itu kepada lelaki paruh baya bertopi pet Dinas Perhubungan di dalam mobil sedan. Dalam sekejap telur penyu itu habis dimakan. ”Saya hanya ingin mencoba, karena kata teman saya ini bagus untuk kebugaran badan,” kata lelaki itu.
Ani mulai berjualan telur penyu lima bulan lalu. Ia mengaku setiap pekan menjual 250-350 butir telur penyu dengan harga Rp 4.000-5.000 per butir. Pelanggan setianya adalah para pemuda yang sering berolahraga di pinggir pantai. Mereka mencampur telur penyu dengan jamu atau minuman berenergi.
Tapi pembeli paling ditunggu Ani adalah para pelancong dari luar provinsi, bahkan mancanegara, semisal Malaysia. Saban hari ada saja bus pariwisata yang berkunjung ke tempatnya. ”Mereka sering borong telur penyu untuk oleh-oleh,” kata Ani dua pekan lalu.
Ya, jangan heran, Pantai Muaro Padang kini memang menjadi pasar regional penjualan telur penyu. Sementara di daerah lain orang harus sembunyi-sembunyi berjualan telur penyu, di sini sangat terbuka. Sangat bebas. Bahkan Pantai Muaro Padang—yang berjarak hanya satu kilometer dari kantor Wali Kota Padang—menjadi maskot wisata setempat karena masuk dalam panduan wisata kuliner yang dikeluarkan Dinas Pariwisata Sumatra Barat. ”Jika ingin makan telur penyu, datanglah ke Pantai Muaro Padang,” begitu tulis panduan tersebut.
Telur-telur penyu tersebut dipasok dari Pulau Penyu di Pesisir Selatan dan pulau-pulau kecil lainnya di sekitar Padang. Bila pasokan kurang lantaran banyaknya permintaan, telur didatangkan dari provinsi tetangga, seperti Riau.
Telur penyu dianggap memiliki khasiat untuk obat awet muda, obat kuat, dan kebugaran. Selama berjualan, Ani mengaku tak pernah sekali pun didatangi petugas pemerintah yang merazia walaupun sudah ada undang-undang tentang pelarangan penjualan telur penyu.
Ketua Pusat Informasi Data Penyu Sumatra Barat Harfiandri Damanhuri mengatakan eksploitasi telur penyu di Sumatra Barat semakin hari semakin memprihatinkan. Apalagi jika dibanding empat tahun lalu. Sepanjang 2008 hingga Oktober ini saja diperkirakan 366.213 butir telur penyu telah dijual bebas di Pantai Muaro Padang. ”Ini berdasarkan penelitian kami,” kata Harfiandri, yang juga dosen dan peneliti di Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta. Empat tahun lalu, rata-rata pedagang menjual telur penyu 28 butir per hari. Kini satu pedagang bisa menjual 77 butir per hari.
Harfiandri menyayangkan Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatra Barat belum secara tegas melindungi populasi penyu. Padahal sudah ada Undang-Undang Perikanan Tahun 2007 yang melarang perdagangan penyu dan telurnya karena penyu termasuk hewan yang dilindungi. ”Di Indonesia, pasar yang sangat terbuka menjual telur penyu hanya ada di Padang, bahkan dijadikan andalan wisata,” ucap Harfiandri. ”Maka orang berbondong-bondong beli telur penyu ke sini. Kalau dibiarkan terus, dalam waktu beberapa tahun lagi penyu di sini akan habis.”
Telur penyu ini berasal dari pulau-pulau kecil di pantai barat Sumatra Barat, seperti Pulau Penyu, Pulau Katuang-katuang, serta pantai Padang Pariaman dan Pasaman.
Harfiandri berharap pemerintah segera memutus rantai perdagangan telur penyu di Pantai Muaro Padang. ”Telur penyu untuk obat kuat, awet muda, itu hanya mitos. Kandungan lemaknya paling tinggi dibanding jenis telur lain. Saya sudah meneliti itu,” katanya.
Maraknya pengambilan telur penyu di pantai barat, kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatra Barat Edwil, telah memicu kelangkaan populasi penyu di sana. Menurut dia, di Pulau Penyu terjadi penurunan cukup drastis jumlah penyu yang mampir untuk bertelur. Pada 1998 jumlahnya ada 50-60 ekor per bulan. Pada periode 2001-2003 menurun menjadi rata-rata 16-17 ekor dan kini tinggal 10 ekor per bulan. ”Kalau dibiarkan, kami perkirakan dalam lima tahun lagi Pulau Penyu akan tinggal nama,” ucap Edwil.
Agar tak tinggal nama, Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatra Barat berniat melakukan konservasi di pulau tersebut. Namun, kata Edwil, suku Melayu di Salido, Pesisir Selatan, yang menguasai Pulau Penyu, menentang. Mereka menolak menyewakan pulau seluas 14 hektare itu karena mereka sudah puluhan tahun mengambil telur penyu di sana.
Suku ini menerapkan sistem lelang pengelolaan Pulau Penyu. Anggota suku yang mampu membayar tinggi ke pemangku adat suku, dialah yang berhak mengelola Pulau Penyu untuk beberapa tahun ke depan. ”Akhirnya kami hanya mewajibkan mereka menetaskan satu sarang penyu setiap 10 ekor yang mendarat,” kata Edwil. Namun ia mengakui tak ada pengawasan untuk kewajiban itu.
Puti Susi Widyawati, yang mengelola Pulau Penyu sejak tahun lalu, mengatakan mereka tak mungkin menyewakan pulau tersebut untuk konservasi karena, ”Pulau itu merupakan pusaka tertinggi suku Melayu, simbol kami, keturunan raja di Salido.” Untuk menunjang konservasi, kata Susi, suku Melayu memilih menetaskan dua sarang penyu yang menghasilkan 300 tukik setiap bulan. Sisanya, mereka tetap menjual telur penyu.
Gagal ”membujuk” suku Melayu, Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatra Barat akhirnya membebaskan Pulau Karabak dari masyarakat setempat sebesar Rp 200 juta. Letak pulau ini sekitar 2 mil dari Pulau Penyu dan 13 mil dari Painan.
Pemerintah, melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, menggelontorkan dana Rp 3 miliar untuk membangun fasilitas di sana, seperti tempat tinggal karyawan, enam bak penetasan, genset, fasilitas jalan, dan penunjang lainnya. Pemerintah daerah Pesisir Selatanlah yang menanggung biaya operasional tempat konservasi ini Rp 130 juta per tahun.
Menurut Edwil, Pulau Karabak kini satu-satunya tempat konservasi penyu di wilayah barat. ”Bahkan Deli Serdang dan Bengkulu minta tukik kepada kami untuk dilepaskan di sana. Tapi, karena mereka meminta 1.000 tukik, kami belum sanggup,” kata Edwil. Tukik adalah anak penyu.
Soal konservasi ini, Harfiandri punya pandangan lain. Menurut dia, sebaiknya tak semua tempat dijadikan lokasi penangkaran penyu. Alasannya, sebagai edukasi bagi penyu itu sendiri. ”Penyu itu lebih baik dibiarkan menetas alami tanpa campur tangan manusia karena begitu menetas, instingnya kuat. Ia langsung berlari ke laut dan berenang 1 mil serta belajar bertahan hidup,” tuturnya.
Ia mencontohkan pernah menangkarkan 6.000 tukik. Setelah berusia 1 tahun dan dipelihara di dalam baskom kemudian dilepaskan. Hasilnya, saat dilepaskan di Pulau Pieh, tukik-tukik itu tak mau beranjak ke tengah laut dan kesulitan mencari makan. Malah beberapa hari kemudian terlihat penyu itu hanya berputar-putar mengelilingi pulau karena orientasinya sepertinya masih berputar-putar di dalam baskom.
Menurut penelitian, penyu yang ditangkar hingga beberapa bulan juga sering mengalami gejala stres saat bertelur. ”Mereka kebingungan, tidak tahu ke pantai mana mau pulang, sehingga ada yang bertelur di tengah laut,” ujar Harfiandri.
Firman Atmakusuma, Febrianti (Padang)
Lokasi Penyu Bertelur di Indonesia
*PENYU BERTELUR PER TAHUN
Kepulauan Banyak, Aceh
240-1.560
Pulau Penyu, Sumatra Barat
250-500
Kepulauan Tambelan dan Badas, Riau
2.300-3.500
Kepulauan Anambas, Riau
2.200-2.800
Kepulauan Natuna Selatan, Riau
1.550-2.200
Pengumbahan, Citirem, dan Cibulakan, Jawa Barat
800-1.000
Paloh-Sambas, Kalimantan Barat
400-550
Kepulauan Marabatua, Laut Kecil, dan Pulau Birah-birah, Kalimantan Selatan
500-600
Kepulauan Sumbergelap, Kalimantan Selatan
100-500
Kepulauan Sembilan, Kalimantan Selatan
522-626
Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur
4.522-7.944
Katupa, Sumbawa Utara
200-800
Pulau Penyu dan Kepulauan Lucipara, Maluku
800-1.650
Kepulauan Tanimbar, Maluku
1.100-2.100
Kepulauan Aru, Maluku
2.500-3.500
Vogelkop, Papua
1.000-1.650
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo