Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA patung gajah itu dalam ukuran anak gajah. Tapi keduanya punya gading seperti gajah dewasa. Sebagaimana nasib kebanyakan gajah dewasa, gading itu sudah tidak utuh. Gading itu tampak dipenggal dengan rapi, bak digergaji dengan kesabaran tinggi persis di dekat mulutnya. Tubuh gajah itu pun berhiaskan tekstur berupa lekukan berbentuk garis-garis yang digarap dengan rapi.
Yang membedakan bentuk gajah itu dengan gajah liar adalah kain kuning berhiaskan bordir di atas punggung, di atas kepala, dan di antara dua kaki depan. Perlakuan terhadap patung gajah oleh pembuat karya ini, Eko Nugroho, bak gajah yang didandani untuk kepentingan karnaval atau gajah penghibur di arena sirkus.
Eko memberi judul karya ini Cari Selamat? Ikuti Saja Gajah Ini, yang dipamerkan di Galeri Semarang di Semarang, 8 hingga 22 November. ”Sirkus menjadi metafor bagi Eko untuk menggambarkan hasrat manusia yang paling dasar dalam situasi krisis,” tulis Rifky Effendy, kurator pameran dalam katalog. Pameran ini bertajuk Multicriss is Delicious.
Gajah itu muncul dalam bentuk natural dengan sejumlah teks pada kain hias di punggungnya. Bagi Eko, 31 tahun, gajah adalah binatang yang hangat dan gampang diatur. Ada teks berupa tulisan: ”Keseragaman adalah Persaudaraan, Perbedaan adalah Masalah”. Ada teks berupa gambar gigi palsu di atasnya, gambar pesawat ruang angkasa, dan gambar sekumpulan daun. Di sisi lain punggung gajah itu ada tulisan ”Kekerasan = Agama” dengan gambar dua pedang mengapit gambar tengkorak manusia.
Teks berupa tulisan masih bertebaran di kaki kedua gajah itu, berupa alas berbentuk bulat seperti meja rolet di arena judi. Meja rolet itu berisi tulisan tentang semua masalah yang muncul di negeri ini, antara lain dari terorisme, gender, suap, poligami, penculikan, selingkuh, eksekusi, kerusuhan, agama, dan rasisme. Dua gajah itu berputar-putar di atas semua teks bermasalah itu bak lingkaran setan yang tak pernah usai. ”Dalam karya ini saya lebih menekankan pada cerita,” ujar Eko.
Eko masih melengkapi teksnya dengan susunan bentuk pedang mirip lampu gantung klasik yang diletakkan persis di atas patung gajah, sehingga menimbulkan ketegangan seolah rangkaian pedang itu akan jatuh menghunjam ke tubuh gajah. Karya ini bertajuk Kebahagiaan.
Ada ironi, juga sinisme yang kuat pada dua karya ini. Begitu pula pada karya yang diletakkan di lantai dua gedung galeri ini, yang bertajuk Kita Sedang Membicarakan Sejarah. Penonton segera terserap dalam elemen rupa yang sangat atraktif dan mencolok dengan warna-warna ngejreng dan bentuk yang ekstrem. ”Warnanya seperti permen yang tak baik untuk kesehatan,” katanya.
Ada patung kuda nil dari bahan resin dengan mulut menganga yang memamerkan taringnya yang kuat disapu dengan warna hijau. Di depannya ada struktur lingkaran yang terbentuk dari susunan 15 bentuk pedang dari bahan resin. Di tengahnya tergeletak bentuk pistol. Struktur linier ini ditutup dengan bentuk tengkorak dalam warna pink, dan seluruh ruangan itu dipulas warna kuning menyala.
Eko kembali menggunakan bentuk natural hewan. Bagi Eko, kuda nil adalah hewan bermuka tebal, pemalas, dan bermulut besar. ”Begitu pula profil pemimpin kita,” katanya.
Pada dua karya itu unsur bercerita terasa menjadi beban. Ia memilih bentuk natural sebagai bahasa simbol. Bahasa tuturnya pun lebih tertib, kaku, mudah ditebak maunya, dan tak mencerminkan seorang Eko Nugroho yang biasa membebaskan pikiran dan imajinasi liarnya bekerja. Eko seperti takut menggunakan kemampuannya bercerita sebagaimana yang ia tunjukkan dalam karya komiknya selama ini.
Eko Nugrono dikenal sebagai seniman komik alternatif lewat label ”Komik Daging Tumbuh”. Figur dan obyek yang muncul dalam karya komiknya jauh dari bentuk natural daripada dua gajah tadi. Dalam komiknya ia menggambar figur fantasi yang merangsang interpretasi. Meski ia mencantumkan sejumlah teks, teks itu dalam karya komiknya tak punya makna yang logis.
Dalam pameran ini Eko memanfaatkan dinding untuk menampilkan karakter komiknya berupa mural. Ia membaut bentuk-bentuk fantasi baik berupa bentuk figur maupun citraan robotik dan peralatan mekanik sebagaimana yang kerap muncul dalam karya komiknya.
Karya komik Eko menampilkan bentuk fantasi dan suasana absurd, misalnya berupa figur dengan kepala yang disarungi berbagai bentuk topeng yang tak lazim, atau menampilkan bentuk robot. Kadang ia menampilkan teks, tapi kebanyakan teks itu dengan logika yang tak berhubungan.
Pada pameran ini karakter khas Eko tampak pada karya patung betajuk It’s All About Coalition dan empat karya lukis di atas kanvas. Pada karya patung itu muncul keliaran imajinasinya. Kepala diselubungi topeng berbentuk kotak yang hanya menyisakan empat pasang mata yang mengintip di empat sisi kotak itu. Sedangkan tangan berupa bentuk capit, gergaji, dan kepala anjing. Ada sejumlah teks yang tertulis pada T-shirt sosok berkepala kotak itu: stop war, respect.
Berbeda dengan patung gajah dan kuda nil itu, karya patung ini menunjukkan kemampuan Eko berkomunikasi dengan memaksimalkan penggunaan elemen rupa ketimbang teks verbal. Teks tertulis hanya memberikan tambahan pada elemen visual. Penonton pun lebih bebas memberikan interpretasi.
Hal yang sama juga tampak pada empat karya lukisnya dengan warna monokrom. Karya lukisnya lebih merupakan pemindahan dari medium komik ke atas kanvas, ketimbang satu karya lukis. Ada dua sosok sedang duduk dengan kepala yang ditutup perangkat elektronik yang saling berhubungan. Atau sosok manusia dengan kepala panjang yang bercapit sedang mengebor meja di depan hewan yang akan menyantap makanannya. ”Saya ingin memberikan logika baru pada sesuatu,” katanya.
Logika baru itu mungkin tak sampai pada penonton, atau penonton bermain dengan menciptakan logikanya sendiri terhadap karya Eko. Tapi boleh jadi juga orang tak peduli pada teks. Sebaliknya penonton justru tergetar dengan pengolahan bentuk figur yang lebih merangsang kesadaran estetik daripada kesadaran teks.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo