Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Nafsu melawan lalat tsetse

Usaha membasmi lalat tsetse berkaitan dengan sasaran ekspor daging bermutu rendah. tapi banyak racunnya dan hutan terancam. program fao melibatkan banyak produsen pestisida di afrika tengah. (ling)

10 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI pembawa parasit penyakit tidur, lalat tsetse harus dibasmi dari muka bumi Afrika. Ini inti pemikiran sejak Konperensi Pangan Sedunia di Roma tahun 1974. Organisasi Pangan dan Agrikultur PBB (FAO) bahkan kemudian menyatakan perang terhadap lalat itu. Sebuah Satuan Tugas sudah dibentuk FAO, yang bersekutu dengan 15 perusahaan raksasa agribisnis dan petrokimia. Salah satu wakil ketua Satgas itu, misalnya, Dr. Fritz Bauer, waktu itu direktur Hoechst AG, konglomerat petrokimia dari Jerman Barat. Namun sampai hari ini lalat rsetse tetap jaya, bahkan berkembang terus. Kini wilayah penyebarannya menjangkau 10 juta km2 di Afrika Tengah, membentang dari pantai timur sampai barat. Sebelum kedatangan orang kulit putih di benua itu, orang Afrika sudah mampu mengendalikan lalat tsetse itu. Sedikit demi sedikit, hutan tempat lalat itu bersarang, mereka ubah menjadi lahan pertanian, dan sekaligus memusnahkan habitat lalat tsetse itu. Jadi orang Eropa pertama yang menjelajahi Afrika sampai Danau Victoria tidak menemukan satu pun kasus penyakit tidur. "Drin" Kini program FAO memperkirakan biaya US$ 2 milyar selama 40 tahun diharapkan sekitar 70% wilayah penyebaran lalat tsetse itu bakal bebas atau terkendalikan. Satgas FAO itu sudah menghabiskan sekitar US$ 500 juta, terbesar disalurkan dalam bentuk pinjaman bilateral atau program bantuan kepada berbagai negara berkembang di Afrika Tengah. Senjata utama Satgas FAO ialah pestisida. Semua pestisida itu --buatan industri negara Barat -- dipesan dan dibayar berbagai instansi pemerintah negara-negara Afrika yang terlibat dalam program itu. Maka banyak mengalir zat "drin" yang sangat beracun seperti dieldrin, aldrin dan endrin di samping thiodan (endosulfan). Bahkan juga zat organofosfor yang lebih beracun lagi seperti melathion, parathion dan dichlovos, dipergunakan, meski terbatas untuk penelitian. Tapi zat "drin" dan DDT di hampir semua negara Barat dilarang penggunaannya secara total. Bagi perusahaan petrokimia, program FO ini satu keuntungan besar, sementara stok pestisida tidak bisa dijual di negara Barat. Kini di Afrika Tengah, lingkungan tercemar berat oleh zat racun itu. Famili lalat tsetse (Glossina) serangga cokelat mirip lalat biasa, mencakup sekitar 30 jenis dan anak jenis. Sedikitnya dua jenis -- Glossina tacinoides dan Clossina mosidans -- yang merupakan induk semang beberapa turunan Trypanosoma Brucei parasit yang menyebabkan penyakit tidur (tripanosomiasis) pada manusia. Jenis Clossina lain ternyata kebal terhadap T. brucei ini, hingga ratio penularan jarang melebihi 2%. Karena itu, menurut W.E. Ormerod, ahli dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, kecil kemungkinan seseorang terkena penyakit tidur itu akibar gigitan lalat tsetse. Menurut sumber WHO, setiap tahun hanya sekitar 7.000 orang dihinggapi penyakit itu -- kecuali terjadi wabah dan dari jumlah ini 5% (350) meninggal. Sebagai bandingan, WHO memperkirakan penderita tripanosomiasis -- ditularkan tidak oleh lalat tsetse -- di Amerika Selatan (penyakit Chagas) dalam setahun berjumlah 2 juta, dan sekitar 10% dari anak yang menderita, meninggal. Sebaliknya penyakit tidur pada ternak sapi di Afrika yang disebut nagana disebabkan dua jenis tripanosoma lain: Trypanosoma congolense dan Trypanosoma vivax. Kedua jenis parasit ini mudah menular pada semua jenis Glossina. Sekitar 70 sampai 80% populasi lalat tsetse menjadi vektor parasit ini, meski dalam kenyataan hanya berkisar 20%. Itu sebabnya ternak lebih mudah ketularan penyakit tidur ketimbang manusia. Ini tentunya sangat merugikan para peternak, sedang FAO menganjurkan sekali peternakan di Afrika Tengah agar penduduk memperoleh protein lebih banyak. Kenyataannya mayoritas penduduk Afrika memang tidak mampu membeli daging, apalagi daging berasal dari perusahaan ternak. Seorang Tanzania, misalnya, hanya rata-rata makan 2 kg daging setahun, termasuk daging ayam, dibanding orang Amerika 87,8 kg dan Australia 104,6 kg setaitun, semuanya di luar daging ayam ! Usaha peternakan di Afrika Tengah itu juga bertujuan ekspor daging ke negara Barat. Terutama daging bermutu menengah dan rendah dari Afrika dibutuhkan untuk membuat hamburger dan makanan kalengan. Mengisi kebutuhan ini, tahun 70-an perusahaan multinasional raksasa bergabung dengan lembaga bantuan internaslonal untuk mencari lahan peternakan di negara Dunia Ketiga. Akibatnya, ribuan hektar kawasan hutan tropis di Amerika Tengah dan Brazil turut musnah. Berkata Ernst Feder, ahli di Berghof Stiftung fur Konfiktforschung. Berlin "Pengembangan produksi daging bagi ekspor merupakan suatu proses yang sebetulnya tak mungkin didukung negara Dunia Ketiga jika sungguh-sungguh mereka ingin menghapuskan kelaparan dan kekurangan gizi." Lamban & Mahal Menurut Feder dan juga Ormerod, peternakan sapi hanya mungkin di kawasan yang dikuasai lalat tsetse dengan bantuan modal dan teknologi besar. Tapi ini juga masih diragukan. Ada kemungkinan bahwa daging yang dihasilkan dalam lmgkungan tercemar dengan berbagai pestisida mengandung endapan zat beracun itu. Dan mungkin daging itu akan dilarang masuk oleh negara Barat yang umumnya sudah punya berbagai peraturan karantina. Misalnya, Amerika Serikat baru saja melarang masuknya dagin dari Meksiko yang mengandung beberapa ratus kali endapan pestisida di atas tingkat yang diperkenankan di AS. Jadi, bagaimana sebaiknya prograrn pengendalian dan pembasmian lalat tsetse? Bisa digunakan cara membuat jantan lalat itu mandul. Tapi cara ini masih lamban dan mahal, serta melibatkan teknologi tinggi. Jan Rendel, Kepala Bagian Produksi Hewan dari FAO, malah menyarankan agar lalat tsetse tak perlu dibasmi. Menurut dia, banyak ternak -- terutama yang asli di wilayah Afrika itu -- sudah mengembangkan suatu kekebalan terhadap nagana. Untuk mempertahankan kekebalan ini, hewan itu justru harus sela lu dalam kondisi diserang parasit itu. Sifat itu bisa dikembangkan melalui pembiakan, suatu cara yang sangat dianjurkan oleh Rendel. Banyak fihak juga khawatir jika sasaran Satgas FAO itu terlaksana, bahwa hutan akan habis di Afrika dengan masuknya para peternak dan ahli pembangunan lain. Dan bersama itu akan lenyap pula sumber daya berupa satwa liar yang didukung hutan itu. Lantas berkata Javier Prats Llaurado, Direktur Divisi Sumber Daya Hutan dari FAO: "Produksi daging di wilayah Afrika ini tidak didukung suatu kebutuhan manusia yang nyata, hingga malapetaka ekologis demikian bisa terjadi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus