SEBAGAI pembawa parasit penyakit tidur, lalat tsetse harus
dibasmi dari muka bumi Afrika. Ini inti pemikiran sejak
Konperensi Pangan Sedunia di Roma tahun 1974. Organisasi Pangan
dan Agrikultur PBB (FAO) bahkan kemudian menyatakan perang
terhadap lalat itu.
Sebuah Satuan Tugas sudah dibentuk FAO, yang bersekutu dengan 15
perusahaan raksasa agribisnis dan petrokimia. Salah satu wakil
ketua Satgas itu, misalnya, Dr. Fritz Bauer, waktu itu direktur
Hoechst AG, konglomerat petrokimia dari Jerman Barat. Namun
sampai hari ini lalat rsetse tetap jaya, bahkan berkembang
terus. Kini wilayah penyebarannya menjangkau 10 juta km2 di
Afrika Tengah, membentang dari pantai timur sampai barat.
Sebelum kedatangan orang kulit putih di benua itu, orang Afrika
sudah mampu mengendalikan lalat tsetse itu. Sedikit demi
sedikit, hutan tempat lalat itu bersarang, mereka ubah menjadi
lahan pertanian, dan sekaligus memusnahkan habitat lalat tsetse
itu. Jadi orang Eropa pertama yang menjelajahi Afrika sampai
Danau Victoria tidak menemukan satu pun kasus penyakit tidur.
"Drin"
Kini program FAO memperkirakan biaya US$ 2 milyar selama 40
tahun diharapkan sekitar 70% wilayah penyebaran lalat tsetse itu
bakal bebas atau terkendalikan. Satgas FAO itu sudah
menghabiskan sekitar US$ 500 juta, terbesar disalurkan dalam
bentuk pinjaman bilateral atau program bantuan kepada berbagai
negara berkembang di Afrika Tengah.
Senjata utama Satgas FAO ialah pestisida. Semua pestisida itu
--buatan industri negara Barat -- dipesan dan dibayar berbagai
instansi pemerintah negara-negara Afrika yang terlibat dalam
program itu. Maka banyak mengalir zat "drin" yang sangat beracun
seperti dieldrin, aldrin dan endrin di samping thiodan
(endosulfan). Bahkan juga zat organofosfor yang lebih beracun
lagi seperti melathion, parathion dan dichlovos, dipergunakan,
meski terbatas untuk penelitian.
Tapi zat "drin" dan DDT di hampir semua negara Barat dilarang
penggunaannya secara total. Bagi perusahaan petrokimia, program
FO ini satu keuntungan besar, sementara stok pestisida tidak
bisa dijual di negara Barat. Kini di Afrika Tengah, lingkungan
tercemar berat oleh zat racun itu.
Famili lalat tsetse (Glossina) serangga cokelat mirip lalat
biasa, mencakup sekitar 30 jenis dan anak jenis. Sedikitnya dua
jenis -- Glossina tacinoides dan Clossina mosidans -- yang
merupakan induk semang beberapa turunan Trypanosoma Brucei
parasit yang menyebabkan penyakit tidur (tripanosomiasis) pada
manusia. Jenis Clossina lain ternyata kebal terhadap T. brucei
ini, hingga ratio penularan jarang melebihi 2%. Karena itu,
menurut W.E. Ormerod, ahli dari London School of Hygiene and
Tropical Medicine, kecil kemungkinan seseorang terkena penyakit
tidur itu akibar gigitan lalat tsetse.
Menurut sumber WHO, setiap tahun hanya sekitar 7.000 orang
dihinggapi penyakit itu -- kecuali terjadi wabah dan dari jumlah
ini 5% (350) meninggal. Sebagai bandingan, WHO memperkirakan
penderita tripanosomiasis -- ditularkan tidak oleh lalat tsetse
-- di Amerika Selatan (penyakit Chagas) dalam setahun berjumlah
2 juta, dan sekitar 10% dari anak yang menderita, meninggal.
Sebaliknya penyakit tidur pada ternak sapi di Afrika yang
disebut nagana disebabkan dua jenis tripanosoma lain:
Trypanosoma congolense dan Trypanosoma vivax. Kedua jenis
parasit ini mudah menular pada semua jenis Glossina. Sekitar 70
sampai 80% populasi lalat tsetse menjadi vektor parasit ini,
meski dalam kenyataan hanya berkisar 20%.
Itu sebabnya ternak lebih mudah ketularan penyakit tidur
ketimbang manusia. Ini tentunya sangat merugikan para peternak,
sedang FAO menganjurkan sekali peternakan di Afrika Tengah agar
penduduk memperoleh protein lebih banyak.
Kenyataannya mayoritas penduduk Afrika memang tidak mampu
membeli daging, apalagi daging berasal dari perusahaan ternak.
Seorang Tanzania, misalnya, hanya rata-rata makan 2 kg daging
setahun, termasuk daging ayam, dibanding orang Amerika 87,8 kg
dan Australia 104,6 kg setaitun, semuanya di luar daging ayam !
Usaha peternakan di Afrika Tengah itu juga bertujuan ekspor
daging ke negara Barat. Terutama daging bermutu menengah dan
rendah dari Afrika dibutuhkan untuk membuat hamburger dan
makanan kalengan.
Mengisi kebutuhan ini, tahun 70-an perusahaan multinasional
raksasa bergabung dengan lembaga bantuan internaslonal untuk
mencari lahan peternakan di negara Dunia Ketiga. Akibatnya,
ribuan hektar kawasan hutan tropis di Amerika Tengah dan Brazil
turut musnah. Berkata Ernst Feder, ahli di Berghof Stiftung fur
Konfiktforschung. Berlin "Pengembangan produksi daging bagi
ekspor merupakan suatu proses yang sebetulnya tak mungkin
didukung negara Dunia Ketiga jika sungguh-sungguh mereka ingin
menghapuskan kelaparan dan kekurangan gizi."
Lamban & Mahal
Menurut Feder dan juga Ormerod, peternakan sapi hanya mungkin di
kawasan yang dikuasai lalat tsetse dengan bantuan modal dan
teknologi besar. Tapi ini juga masih diragukan. Ada kemungkinan
bahwa daging yang dihasilkan dalam lmgkungan tercemar dengan
berbagai pestisida mengandung endapan zat beracun itu. Dan
mungkin daging itu akan dilarang masuk oleh negara Barat yang
umumnya sudah punya berbagai peraturan karantina. Misalnya,
Amerika Serikat baru saja melarang masuknya dagin dari Meksiko
yang mengandung beberapa ratus kali endapan pestisida di atas
tingkat yang diperkenankan di AS.
Jadi, bagaimana sebaiknya prograrn pengendalian dan pembasmian
lalat tsetse? Bisa digunakan cara membuat jantan lalat itu
mandul. Tapi cara ini masih lamban dan mahal, serta melibatkan
teknologi tinggi.
Jan Rendel, Kepala Bagian Produksi Hewan dari FAO, malah
menyarankan agar lalat tsetse tak perlu dibasmi. Menurut dia,
banyak ternak -- terutama yang asli di wilayah Afrika itu --
sudah mengembangkan suatu kekebalan terhadap nagana. Untuk
mempertahankan kekebalan ini, hewan itu justru harus sela lu
dalam kondisi diserang parasit itu. Sifat itu bisa dikembangkan
melalui pembiakan, suatu cara yang sangat dianjurkan oleh
Rendel.
Banyak fihak juga khawatir jika sasaran Satgas FAO itu
terlaksana, bahwa hutan akan habis di Afrika dengan masuknya
para peternak dan ahli pembangunan lain. Dan bersama itu akan
lenyap pula sumber daya berupa satwa liar yang didukung hutan
itu. Lantas berkata Javier Prats Llaurado, Direktur Divisi
Sumber Daya Hutan dari FAO: "Produksi daging di wilayah Afrika
ini tidak didukung suatu kebutuhan manusia yang nyata, hingga
malapetaka ekologis demikian bisa terjadi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini