SIAPAKAH Salman Hafidz? Anggota kelompok Imran yang dituduh
memimpin penyerangan Pos Polisi Cicendo itu memang sering aneh
di persidangan. Misalnya, ia tidak mau didampingi pembela tapi
minta pengawas hukum atau mengumumkan "perang" pada jaksa yang
tidak mau mencabut tuduhannya. Adakah Salman menderita kelainan
jiwa sehingga sering bersikap aneh itu? Ternyata, menurut hasil
pengamatan psikolog Sukarti A.R, pemuda itu normal.
Adanya kelainan tingkah laku anak muda itu, menurut keterangan
Sukarti di persidangan, karena menumpuknya rasa stress atau
tekanan di waktu Salman kecil. Kelanjutan dari kelainan itu
membentuk sikap oposisi, kepercayaan diri yang berlebihan dan
kompensasi yang berlebihan. Menurut penelitian alumnus Fakultas
Psikologi Unpad ini, kelainan tingkah laku Salman, 26 tahun,
bersifat negatif.
Kesimpulan Sukarti dibuat berdasarkan wawancara langsung
psikolog itu dengan Salman, di samping pertanyaan tertulis.
"Evaluasi itu berdasarkan penelitian psikologis dan saya bisa
memperpertanggungjawaban, ujar Sukarti di depan sidang
Penadilan Negeri Bandung, 1 April yang lalu.
Pemeriksaan itu dilakukan atas permintaan Kejaksaan Negeri
Bandung. Sebelumnya terdakwa meminta diperiksa psikiater untuk
menentukan apakah jiwanya sehat atau tidak, ketika melakukan
penyerangan Pos Polisi Cicendo tahun lalu.
Hasil pemeriksaan itu dianggap Salman tidak beres. "Ini bukan
kesaksian ahli tetapi pemaksaan keahlian untuk kesaksian," ujar
Salman. Kebiasaannya menggulung kaki celana sampai mata kaki,
kata Salman, "bukan kelainan tingkah laku, tapi keyakinan saya".
Maksudnya: lipatan celana itu merupakan ciri khas kelompok
Imran. "Ada berbagai makna dari lipatan ini," tambahnya.
Salman membenarkan ia bersikap menantang atau oposisi. Misalnya,
ia mengubah nama pemberian orang tuanya dari Nasrullah menjadi
Salman. "Sebab Nasrullah itu tidak mempunyai arti yang baik,"
katanya. Begitu pula perubahan nama orang tuanya dari Hafidz
menjadi Hafidzon, tidak ditentang oleh yang punya nama, orang
tuanya. "Karena saya meletakkan pada dasar yang sebenarnya,"
tambah Salman. Apalagi penentangan semacam itu katanya, tidak
merugikan orang lain. "Jadi tidak selalu oposisi itu berarti
negatif," kata Salman.
Salman juga membantah, keterangan saksi yang menyebutkan ayah
dua orang anak itu mempunyai sifat feminin (kebanci-bancian).
Kesimpulan itu dibuat Sukarti, karena Salman menulis jenis
kelaminnya lantan dalam daftar pertanyaan yang diajukan. "Saya
menulis jantan karena banyak lelaki di Indonesia, tapi tidak
semuanya jantan, banyak yang penakut. Dan saya tidak," tutur
Salman.
Tapi yang paling menyakitkan Salman, adalah kesimpulan
perkembangan jiwanya yang disebutkan tidak harmonis, karena
waktu kecil terlalu dekat pada ibu. "Saya tidak yakin anda
seorang ahli," Salman menuding Sukarti. Alasannya, kesimpulan
psikolog lain sebelumnya, Dr. John Nimpuno, Dekan Fakultas
Psikologi Unpad, Salman justru dekat pada ayahnya. "Jadi mana
yang benar?" tanya Salman lagi.
Seminggu sebelum Sukarti memberikan keterangan, Salman sudah
menolak isi hasil evaluasi Dr. Nimpuno. Ahli psikilogi itu
menyimpulkan, Salman mempunyai wawasan yang sempit dan tidak
intelektual. Anak muda itu juga disimpulkan, sulit untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan punya kecenderungan
curiga pada pihak lain. Hal itu menurut Nimpuno, karena kerangka
berpikir Salman sudah terbentuk untuk taat pada orang tuanya
yang kaku dan otoriter.
Tapi hasil evaluasi yang berdasarkan bahan-bahan tertulis --
tidak wawancara langsung dengan Salman -- itu dicabut kembali
oleh Nimpuno. "Hasil evaluasi itu bukan untuk persidanan lapi
untuk pengantar ke psikiater, tulis impuno seperti dibacakan
oleh Ketua Majelis Hakim, Soedarko di persidangan.
Perlu 45 Hari
Tapi yang menjadi persoalan bagi penasihat hukum Salman, Anwar
Sulaeman, siapakah yang berhak memberikan keterangan tentang
kelainan jiwa seseorang di persidangan? Apakah seorang psikolog
atau psikiater? Sukarti merasa baik psikiater atau psikolog
sama-sama berhak untuk itu.
Ketua DPP Peradin, Haryono Tjitrosubono membenarkan, psikolog
dan psikiater bisa memberikan kesaksian ahli di pengadilan.
"Tapi untuk pemeriksaan apakah terdakwa ada kelainan jiwa atau
tidak, itu wewenang psikiater," ujarnya. Hasil pemeriksaan
seorang psikiater bisa dipakai untuk membebaskan seorang
terdakwa dari tanggungjawabkannya,"suatu tindak pidana.
Sementara keterangan psikolog hanya untuk menentukan apakah
seorang terdakwa jujur atau tidak, kepintaran terdakwa dan
keadaan psikologis lainnya. "Ahli-ahli itu bisa meminta kepada
hakim untuk tidak membacakan kesimpulannya di persidangan
terbuka," ujar Haryono.
Seorang guru besar Unpad, Prof. dr. H. Hasan Basri Saanin yang
juga Kepala Bagian Psikiatri RS Hasan Sadikin Bandung
menegaskan, "yang berhak memberi keterangan apakah terdakwa
terganggu jiwanya atau tidak, hanyalah psikiater. " Walaupun
seorang psikiater akan meminta juga bantuan psikolog dalam
pemeriksaan, "tapi visum et repertum hanya bisa diberikan oleh
dokter jiwa (psikiater)," katanya.
Ahli yang sudah puluhan kali memberikan kesaksian di peradilan
ini menggambarkan, pemeriksaan jiwa itu tidak bisa pula
dilakukan dalam waktu singkat. "Paling cepat penelitian terhadap
terdakwa itu dilakukan dalam waktu 45 hari untuk mencapai hasil
optimal," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini