MATAHARI belum beranjak tinggi, ketika Daud Ubit, 55 tahun, bergegas ke darmaga desa untuk pergi melaut. Sesampai di bibir pantai, dia tertegun menjumpai suasana yang berubah: permukaan air laut terasa lebih berkilau, berwarna merah-kuning kebiruan, dan berbuih. "Mata kami terasa pedas kalau didekatkan ke air laut," ujar penduduk Desa Pusong, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe itu. Tak terlalu sulit bagi Daud dan beberapa nelayan yang berada di situ untuk memahami apa yang terjadi. Cairan bening berkilauan itu memberikan aroma yang khas: minyak tanah. Sebatang kayu kering pun dicelupkan lalu disulut dengan korek api dan terbakar menyala. Tak syak lagi, mereka pun berteriak, "Minyak... minyak...". Dalam waktu singkat, berita tentang genangan minyak itu menyebar luas. Penduduk Pusong dan desa-desa sekitarnya -- laki-perempuan, tua-muda, dan anak-anak -- turun ke pantai dengan membawa ember, jeriken plastik, atau baskom. Tak sulit memanen tumpahan minyak yang menggenang di atas permukaan air laut setebal 10-20 cm itu. "Kami tinggal menggayungnya saja," tutur seorang penduduk. Panen minyak itu berlangsung tiga hari di garis pantai sepanjang 1,5 km, pertengahan bulan lalu. Penduduk yang turun mengais genangan minyak di pantai itu ditaksir sampai lima ribuan. "Habis orang-orang mengerahkan semua anggota keluarga untuk turun ke laut," tutur M. Yunus, Kepala Desa Pusong Baru. Genangan minyak itu mendatangkan rezeki ekstra. Dalam 3 hari "menambang minyak", ada yang berhasil mendapatkan 2-3 drum ukuran 200 liter. Bahkan ada yang 5 drum. Haji Bin Puteh, pemilik kios minyak yang cukup besar di Desa Pusong tak pula kalah sibuknya. Dia menampung tumpahan minyak itu, dengan harga Rp 100-150 per liter. Tumpahan minyak yang dipanen penduduk itu rupanya berpangkal dari musibah atas tongkang Golden Wind berbendera Honduras milik perusahaan Sin Chin Seng Ship Building Pte. Ltd. Singapura. Tongkang ini berlayar dari pelabuhan Belawan (Medan) ke Lhokseumawe, ditarik oleh tugboat (kapal tunda) Cumawis IV yang berbendera Indonesia. Golden Wind saat itu mengangkut 1,5 juta liter minyak tanah. "Untuk konsumsi Lhokseumawe," kata Ubed Beddy, syahbandar pelabuhan Lhokseumawe. Namun, dalam perjalanan 7 Februari itu, di tengah kabut gelap dan angin kencang, Golden Wind tiba-tiba terseok. Jalannya miring, mendongak ke depan. "Kemungkinan besar bocor," ujar Haryono, nakhoda Cumawis IV. Haryono pun sibuk membuat kontak dengan petugas pelabuhan Lhokseumawe. Sesuai dengan petunjuk dari syahbandar Ubed Beddy, tali penarik tongkang Golden Wind supaya dipendekkan. Terus, Cumawis IV diminta membawa tongkang yang setengah tenggelam itu ke timur Lhokseumawe, untuk dikandaskan. "Agar dia tak tenggelam," kata Ubed Beddy. Dengan mengandaskan, menurut kepala pelabuhan Lhokseumawe itu, tak cuma badan tongkang yang diselamatkan. Juga sisa muatannya. Tapi perintah itu berubah di tengah jalan. Di saat ombak bergulung kencang, menurut Ubed Beddy, mengandaskan tongkang itu mengundang risiko besar. "Tak ada jaminan tongkang itu diam di tempat, salah-salah dia bisa dihanyutkan ombak dan menerjang perkampungan nelayan," tutur Ubed. Maka, Golden Wind diminta agar diseret ke dermaga Lhokseumawe, untuk ditambatkan. Alhasil tongkang itu bisa dibawa ke Lhokseumawe kendati separuh muatannya tumpah dan membuat genangan di sepanjang garis 33 km. Genangan minyak itulah yang kemudian diperebutkan penduduk Desa Pusong dan sekitarnya. Namun, di tengah asyiknya penduduk mengais minyak tumpahan, petugas Pertamina Perbekalan Dalam Negeri Unit I Lhokseumawe menyemprotkan bahan oil dispersant ke arah lapisan minyak itu. Maksudnya agar minyak pecah, menggumpal, dan tenggelam. Di mata syahbandar Ubed, justru masyarakat berjasa. Lantaran mereka memanen minyak itu, "maka pencemaran pantai cepat teratasi" ujarnya. Tiga hari setelah kejadian, memang pantai Pusong terlihat bersih. Tapi belakangan penduduk setempat diserang penyakit gatal-gatal terutama pada bagian pangkal paha. "Gatalnya luar biasa, dan disertai rasa panas seperti kena cabe giling," kata Sulaeman. Saking gatalnya, mereka pun tak tahan untuk tidak menggaruk kencang-kencang. Alhasil timbul kudis. Wabah gatal itu, tentu saja, mengurangi untung rezeki minyak yang didapat. "Saya cuma dapat satu drum. Untuk berobat ke dokter perlu biaya senilai dua drum," kata seorang penduduk. Artinya, minyak yang tumpah di laut itu belum tentu membawa untung bagi penduduk. Kemudian tersebar desas-desus penyebab gatal adalah oil dispersant tadi. Namun isu itu dibantah dr. Rusli Mho, Kepala Dinas Kesehatan Lhokseumawe. "Tak ada minyak tumpah pun, penyakit gatal sering menyerang mereka," ujarnya. Sebab lingkungan pantai itu, menurut dr. Rusli, memang kotor. Sejauh ini penyakit gatal yang timbul, "tak berbahaya," kata Rusli. Bahwa kemudian penyakit gatal itu menjadi-jadi, menurut Rusli, memang tak terhindarkan. Selama memanen minyak itu, penduduk berendam di air yang tercampur minyak dan pelbagai macam kuman. Kulit pun terkelupas dan jamur menempel. Akibatnya, ya, gatal-gatal itu. "Tapi bukan minyak yang menjadi penyebab langsung," ujarnya. Sejauh ini tumpahan minyak itu tak menimbulkan kerugian serius terhadap nelayan atau tambak penduduk. Hanya ikan-ikan kecil yang tak punya nilai ekonomi tinggi yang kedapatan mati. "Itu pun tak sampai 10 kg," ujar Ir. Zulkarnaen, Kepala Dinas Perikanan Lhokseumawe. Sampai pekan lalu masih saja ada penduduk mengais minyak. Mereka menebarkan kain pada lapisan minyak yang terapung dan kemudian memerasnya. Berapa pun hasilnya dan apa pun dampaknya, agaknya itu tak terlalu menjadi soal bagi penduduk yang rata-rata hidup miskin itu. Putut Tri Husodo (Jakarta) dan Sarluhut Napitupulu (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini