AHAD pagi pekan lalu udara terasa cerah di Tapos, peternakan milik putra-putri Presiden Soeharto, yang terletak di kawasan Bogor. Beberapa menit setelah pukul sembilan pagi, sebuah bis berwarna hijau kuning berhenti di depan pendopo. Lantas pintu terbuka dan Sudono Salim (Liem Sioe Liong) beserta 30 pengusaha kelas kakap Indonesia lainnya turun menuju pendopo. Mereka disambut oleh Presiden Soeharto, yang didampingi Menteri Koperasi Bustanil Arifin, Menteri Penerangan Harmoko, dan Menteri Perindustrian Hartarto. Begitu selesai bersalaman, acara tak segera dimulai. "Silakan ke toilet dahulu," kata Pak Harto sambil tersenyum. Baru beberapa menit kemudian Pak Harto mengambil tempat di depan bersama para menteri menghadap para tetamu itu. Liem Sioe Liong lantas berdiri dan berbicara. Pada intinya, pengusaha beken ini menyatakan bahwa rombongannya telah mengerti, maksud pertemuan ini untuk membicarakan program pemerataan sesuai dengan pidato kenegaraan Presiden di depan DPR, 4 Januari lalu. Ia menyatakan, semuanya sepakat untuk mendukung program tersebut. Pak Harto memulai pertemuan itu, "Pada hari ini kita bersama untuk tatap muka, temu wicara, sambung rasa untuk dapat meninjau diri kita masing-masing," kata Kepala Negara. "Sampai di mana kita ikut melaksanakan pembangunan yang sedang kita lakukan bersama rakyat Indonesia," tambahnya. Kemudian Pak Harto berbicara tentang perlunya mensyukuri rahmat Tuhan, karena "kita sampai hari ini dapat menyaksikan kiprah perjuangan rakyat Indonesia dalam melaksanakan pembangunan sebagai upaya mengisi kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada 1945". "Bahkan, mungkin, Saudara-saudara atau saya lebih bisa menikmati daripada sebagian rakyat kita," kata Pak Harto. Dan keadaan yang patut disyukuri ini "bukan jatuh dari langit", melainkan merupakan hasil karya dan perjuangan rakyat Indonesia keseluruhan, "termasuk dari Saudara-saudara". Kepala Negara juga menuturkan jasa para pahlawan seperti Hassanudin, Diponegoro, dan Pattimura, yang memungkinkan lahirnya kemerdekaan yang sekarang kita nikmati ini. "Karena itu, kita wajib bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada rakyat Indonesia," katanya. Persoalannya sekarang: bagaimana mewujudkan rasa terima kasih itu? Menurut Pak Harto, tak cukup hanya ucapan terima kasih, melainkan harus dalam wujud yang nyata. Yaitu didasarkan pada kesetiaan kita pada cita-cita perjuangan rakyat Indonesia, mencapai "masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila". Untuk mencapai cita-cita ini, keserasian trilogi pembangunan -- pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas nasional -- harus selalu dijaga. Stabilitas nasional, misalnya, memungkinkan pertumbuhan, dan pertumbuhan ini memungkinkan dilakukannya upaya pemerataan. Sebaliknya, jika salah satu terganggu, yang lain juga akan terpengaruh. "Misalkan pertumbuhan ekonomi tercapai, tetapi pemerataan tak bisa diwujudkan, maka apa yang akan terjadi? Akan timbul keadaan dari kesenjangan sosial, kecemburuan sosial, sampai pada gejolak sosial," katanya. Jika gejolak sosial terjadi, pertumbuhan yang telah dicapai akan hancur kembali. "Bahkan tidak hanya pertumbuhan itu saja, sampai dengan manusia-manusia pun akan menjadi korban akibat gejolak sosial itu," kata Pak Harto. Keadaan inilah, menurut Pak Harto, yang menjadi latar belakang pidato yang disampaikannya di depan DPR, 4 Januari lalu. "Saya mengajak Saudara, supaya marilah supaya kemungkinan gejolak sosial itu kita cegah sedini mungkin," katanya. Caranya adalah dengan mengajak mereka yang belum mampu untuk turut serta dalam menikmati hasil pembangunan. Yaitu dengan menjual saham kepada koperasi, sehingga kesenjangan sosial dan kecemburuan sosial itu dapat dipersempit. Presiden menyadari, koperasi tentu tak mampu membeli saham tersebut dengan harga pasar seperti di bursa saham. Oleh karena itu, ia mengimbau agar saham yang dijual pada koperasi tersebut tanpa menambahkan agionya. Ini pun dianggap masih di luar jangkauan koperasi yang biasanya miskin modal itu. Walhasil, Presiden menganjurkan agar perusahaan meminjamkan dahulu modal untuk membeli saham tersebut. Pinjaman itu, kemudian, dibayar koperasi melalui sebagian dividen yang diterimanya. "75% dividen dipakai untuk membayar utang dan yang 25% untuk kesejahteraan anggota koperasi," katanya. Selain dengan cara memberi pinjaman langsung, Pak Harto juga menawarkan penggunaan jasa bank sebagai alternatif. Yakni uang tersebut didepositokan ke bank dengan bunga rendah, "misal lima persen", yang kemudian oleh bank dipinjamkan kepada koperasi untuk membeli saham. Adapun koperasi yang dimaksud Pak Harto tidak dibatasi pada koperasi karyawan perusahaan itu saja. Melainkan juga koperasi yang berada di sekitar pabrik, bahkan -- kalau perlu -- koperasi di daerah lain, "asal koperasi tersebut koperasi yang sehat," kata Kepala Negara. Ia sudah memerintahkan kepada Menteri Koperasi agar segera menyusun daftar koperasi yang sehat tersebut. Sedangkan jumlah saham yang dijual kepada koperasi disarankan 25%. "Tapi tidak sekaligus, melainkan secara bertahap, mungkin dalam lima atau sepuluh tahun," katanya. "Satu persen saham Indocement itu besarnya 60 milyar rupiah," kata Sudono Salim. Jadi, bila mendepositokan dengan bunga 5%, padahal normalnya 16%, perusahaan sudah mensubsidi 7,2 milyar rupiah setahun kepada koperasi. "Ini masih bisa kami tanggung, tapi kalau dua persen terasa berat," katanya. Padahal, kalau perusahaan rugi, tentu tak ada dividen, sehingga koperasi tak dapat membayar utangnya. Mengenai hal ini, Pak Harto sependapat. "Satu persen dahulu juga boleh, yang penting kita sudah memulai langkah menyempitkan kesenjangan sosial itu," katanya. Sebelumnya, kepada para pengusaha itu Presiden tak lupa mengingatkan bahwa kekayaan tak akan bisa dibawa ke alam akhirat nanti. "Kedudukan saya sebagai Presiden juga tidak akan bisa terbawa ke alam akhirat. Yang bisa kita bawa adalah amal perbuatan kita di dunia. Kalau kita beramal dengan harta kekayaan kita, perhitungan rugi-laba juga tidak ada. Karena amal baik adalah bekal kita di alam akhirat nantinya," tuturnya. Ide penjualan saham ke koperasi ini sebenarnya sudah lama berada di benak Pak Harto. Paling tidak, menurut buku Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, rencana ini sudah diungkapkan sejak 1986. Hanya saja, ketika itu keadaan dianggap belum memungkinkan. Dalam Bab 66, misalnya, Presiden berbicara tentang perlunya memanfaatkan semua potensi nasional, "termasuk apa yang dimiliki oleh keturunan Tionghoa atau yang telah punya di bidang ekonomi". Modal dan pengalaman serta kepandaian mereka, menurut Pak Harto, harus dihimpun. "Lebih-lebih lagi kalau diingat bahwa potensi yang ada pada mereka lebih besar daripada yang dimiliki oleh rakyat jelata kita," tutur Presiden. Bahkan pada halaman 380, secara gamblang Pak Harto menyatakan, "Nanti, dalam langkah berikutnya, secara lambat laun saya katakan pabrik-pabrik itu harus melaksanakan go public rakyat harus turut memiliki perusahaan-perusahaan itu. Nanti, rakyat dengan koperasinya akan turut memilikinya. Tetapi kalau sebelum apa-apa sudah kita batasi, mana mau mereka menanam modal di sini". Komitmen di Tapos itu kabarnya akan dituangkan dalam sebuah surat keputusan Presiden. Namun, tampaknya SK ini belum akan keluar dalam waktu dekat ini. "Kami kan sudah go public. Jadi, keputusan untuk menjual sebagian saham ini harus dilakukan melalui rapat umum pemegang saham," ujar salah seorang pengusaha yang hadir di Tapos. Sebelumnya, akan disusun dulu mana "perusahaan yang sehat" yang bisa menjual sahamnya itu. Yang menyusun daftar itu tampaknya para pengusaha itu sendiri, karena, seperti kata Pak Harto, "Yang tahu perusahaan mana yang sehat itu tentunya, ya, Saudara-saudara sendiri." Bambang Harymurti & Budiono Dharsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini