DI tengah dunia yang didominasi oleh ilmu pengetahuan rasional, atau di tengah kehidupan yang dikuasai oleh paham serba benda ini, masih adakah orang yang disebut Wali Sufi? Jawabnya: ada. Pertanyaan di atas bertolak dari gambaran, bahwa sufi -- sekelompok orang yang pernah berjaya di Abad Pertengahan -- adalah manusia-manusia yang lebih banyak menggunakan kalbu ketimbang rasio-nya: khusyuk bersama Allah tanpa peduli dengan kesenangan duniawi. Memang sulit menemukan orang sejenis ini saat ini. Tapi, Martin Lings, seorang pakar kepustakaan Ketimuran pada British Museum, yang banyak menulis artikel tentang tasawuf -- termasuk yang pernah dimuat di Encyclopaedia Britannica, edisi paling akhir -- telah menghadirkannya lewat buku ini. Buku yang merupakan bagian utama dari tesisnya di University of London ini mendapat pujian dari beberapa orang ahli. Di antaranya A.J. Arberry, dengan komentarnya, "sebuah telaah yang amat cerdas terhadap orang yang kesuciannya mengingatkan kita akan zaman keemasan para mistikus Abad Pertengahan...." Orang Suci yang dimaksud adalah Syaikh Ahmad Al-Alawi, seorang pemimpin tarekat besar yang memiliki pengikut lebih kurang dua ratus ribu orang di Afrika Utara pada 1920-an (ia meninggal pada 1934). Sang Sufi, menurut Marcel Carret kepada Martin Lings, berpenampilan mirip Yesus. Kesan ini terlukis di benak Carret, ketika dokter Prancis ini berkunjung pertama kali ke zawiyah Syaikh Alawi, di Desa Mostaganem (Aljazair), pada 1920. Kemiripan ini, dalam kerohanian Syaikh Alawi, diartikan oleh seorang orientalis, Michel Valsan, dan para murid Syaikh Alawi sebagai pantulan cahaya dari Nabi Nazaret itu pada Sang Wali, seperti halnya wali-wali lain dalam sejarah tasawuf yang menyadari diri sebagai pengganti nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad. Di tempat pertemuan tarekat Syaikh Alawi yang menghadap ke Laut Tengah ini, berdatangan orang-orang dari Mesir, Maroko, Tunisia, dan negeri lainnya -- sebagai anggota biasa yang tetap hidup secara normal -- untuk meneguk anggur rohani yang dituangkan Sang Wali, antara lain, berupa wejangan dan latihan-latihan spiritual. Ada tiga tingkatan inteligensi yang diperkenalkan Syaikh Alawi secara metodik, yang dilakukan dua kali sehari dalam tiga rumusan tasbihnya. Masing-masing diulang seratus kali: permohonan ampun kepada Tuhan, membaca salawat Nabi, dan peneguhan Keesaan Tuhan. Ketiga tingkatan yang berbeda ini merupakan perlaluan Yang Terbatas menuju ke Yang Tak Terbatas. Perlaluan dari hiruk-pikuk melalui ritme ke Kedamaian, dari jagat kecil melalui jagat besar ke Metakosmos, dari pribadi melalui Insan Universal (Muhammad) kepada Tuhan ini, tidak hanya ada dalam tarian sakral tarekat Alawi-Darqawi, melainkan juga ada dalam tasbihnya. Dalam tarian ini, terutama napaslah yang paling terkena ritme. Pengorbanan ritme pribadi penari (ritme napas) -- yang mewakili jagat kecil -- kepada ritme jagat besar adalah tindakan "tobat", yang merupakan rumusan tasbih pertama. Sedangkan ritme tarian itu sendiri adalah ritme alam semesta, yang merupakan pelantunan salawat kepada Nabi. Kesemuanya ini bertujuan untuk pemusatan batin, yang berhubungan dengan rumusan tasbih ketiga, yakni penegasan terhadap Keesaan Tuhan dalam Kelimpahan-Nya Yang Tak Terhingga. Dan berakhir fana. Di saat ini, Sang Sufi tidak melihat apa-apa lagi kecuali Allah. Ia tengah mengalami kematian yang hakiki berbeda dengan kematian biasa yang hanya sekadar berpindah tempat. Ia, dalam pengertian rohani, telah bersatu dengan Yang Tak Terbatas (wahdah al-wujud), rumusan yang pertama kali dipopulerkan oleh Ibnu Arabi, sufi besar dari Andalusia. Hampir setiap guru kerohanian, baik sebelum maupun sesudah Ibnu Arabi, sangat menekankan wahdah al-wujud ini pada muridnya. Penekanan yang tanpa mengenal belas kasihan ini, menurut Lings, mengandung nilai metodik, bukan hipnotik, yang membantu sang murid menempatkan diri secara benar dalam Hadirat Yang Kekal. Di tingkat wahdah al-wujud ini, hampir setiap sufi mengeluarkan igauan-igauan aneh yang sulit diterima syariat, misalnya, Anna al Haq -- Aku adalah Kebenaran dari Al Hallaj, yang berakibat nyawanya melayang di tiang salib. Tragedi Al Hallaj ini, dalam bentuk lain, terjadi juga pada sufi-sufi lain seperti Suhrawardi Maqtul di Persia, Hamzah Fansuri di Aceh, dan Syeh Siti Jenar di Jawa. Bagi mayoritas muslim, paham ini jelas bertentangan dengan tauhid. Artinya, tidak ada persatuan antara Tuhan dan makhluk-Nya. Tapi, anehnya, orang sufi justru sebaliknya hakulyakin tehadap paham wahdah al-wujud ini dengan berpegang pada ayat: "Ke mana pun kau menghadapkan wajahmu, yang kaulihat adalah Wajah Tuhan". Ini ditafsirkan oleh Syaikh Alawi, "ke mana pun kau menggerakkan indera-inderamu, ke arah benda-benda yang terindera atau pemahaman ke arah-arah benda-benda yang terpahami atau daya khayalmu ke arah benda-benda yang dapat dibayangkan, di sana terlihat Wajah Tuhan". Lalu, siapa yang benar? Mungkin, dalam hal ini, kalangan mayoritas terlalu pagi mengambil kesimpulan, tanpa pernah mencoba mengalami kesadaran mistis seperti orang sufi. Atau sebaliknya, orang-orang sufilah yang bersifat spekulatif. Tapi, terlepas dari masalah ini, kalau kita melihat perkembangan sufisme yang mulanya berupa kesalehan pribadi, mungkin saja kelak akan muncul bentuk baru dari sufisme yang sesuai dengan perkembangan zamannya. Siapa tahu, nantinya, seorang sufi tidak lagi seorang yang sangat irasional dan sepi terhadap dunia. Julizar Kasiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini