DIAM-DIAM, sejak 1987 ternyata Pulau Batam sudah dijadikan keranjang sampah oleh Singapura. Hal ini baru terungkap akhir Januari silam. Keruan saja, pihak Badan Otorita Batam berang, lantaran limbah itu dianggap nyelonong tanpa kulo nuwun. Limbah padat berwarna hitam yang mirip gumpalan aspal itu kini menumpuk di pelataran bengkel PT Kusuma Tunas Baja (KTB) -- perusahaan pemotongan kapal-kapal yang dibesituakan -- yang terletak di kawasan Tanjunguncang, salah satu sudut Pulau Batam. Jumlahnya tak kurang dari 250 ton, sebagian masih berada dalam plastik ukuran 25 kg. Pekan lalu, pihak Badan Otorita Batam membuat tanggul tanah, untuk mencegah agar "barang haram" itu tidak hanyut ke laut. Awal bulan lalu, Supandi, Kepala Badan Pelaksana (Kabalak) Otorita Batam, membuat pengaduan resmi ke Menteri Negara Ristek B.J. Habibie, selaku Ketua Badan Otorita Batam. Menyusul kemudian, pembekuan izin operasi PT KTB, pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kasus itu. Tampaknya, Supandi telah mengambil ancang-ancang untuk memperkarakan soal itu. Pihak kepolisian pun telah turun tangan mengamankan barang bukti dan melakukan penyidikan. Bahkan contoh limbah itu telah dikirim ke Laboratorium Kriminal Mabes Polri Jakarta. Supandi bersedia memutihkan kasus itu, "asal limbah itu dikirim kembali ke Singapura," tutur seorang petugas Otorita Batam, mengutip ucapan atasannya. Peristiwa di Tanjunguncang ini serupa dengan kasus pembuangan limbah industri di Simpangbusung, Pulau Bintan, Riau, Desember lalu. Pada kasus ini, sekitar 150 ton kerak soap noodles secara sengaja ditanam di aeral penambangan pasir yang diusahakan PT Artha Saphala, milik mantan promotor tinju Kurnia Kartamuhari. Perkara limbah Simpangbusung itu kini sedang ditangani oleh Pengadilan Negeri Tanjungpinang. Tak seperti di Bintan, di Batam hingga kini polisi belum melakukan penahanan. "Kami tak mau terburu-buru," ujar seorang petugas di Polres Batam, "tindak lanjutnya nanti, menunggu hasil pemeriksaan Labkrim Polri Jakarta." Jika limbah itu merupakan bahan berbahaya, menurut sumber itu, polisi akan memperkarakannya dengan tuduhan pencemaran lingkungan. Pengangkutan limbah hitam eks Singapura itu, kata polisi, berlangsung setidaknya lima kali. Yang pertama dilakukan pada 1987, dan terakhir pada September 1989. Tapi pihak kepolisian belum berani memastikan pihak mana yang mengirim limbah minyak itu ke Batam. Namun, PT KTB sendiri merasa tak membuat pelanggaran dalam bentuk apa pun. "Jangan sembarangan menuduh kami menyelundupkan barang terlarang," ujar Asri, 32 tahun, Kepala Cabang KTB di Batam. Kegiatan memasukkan sludge ke Tanjunguncang itu, menurut Asri, adalah setahu Badan Otorita. "Kami punya izinnya," tutur Asri sengit. Pihak PT KTB, kata Asri, mengajukan permohonan untuk membawa sludge tadi pada awal Desember 1985. Tak berapa lama, turunlah surat izin dengan nomor B/2415/KA/XII/85. Bahkan, dalam surat izin itu, PT KTB diperbolehkan memboyong sludge sampai 50.000 m3. Rupanya, surat yang dikeluarkan oleh Ir. Roediono, Pjs. Kabalak Batam ketika itu, cukup ampuh. Pengiriman barang limbah dari Singapura itu tak pernah diganggu gugat. Tuduhan pencemaran pantai pun ditolak oleh Asri. Bongkahan minyak yang mirip aspal itu dimanfaatkan untuk menimbun pelataran bengkel KTB yang luasnya 2 ha dan yang memang tidak rata. Lantas, pelataran bengkelnya yang gersang itu, menurut Asri, bukan lantaran sludge. "Ini akibat kegiatan pemotongan badan kapal selama ini." Dia pun tidak merasa pihaknya mencemari perairan setempat. "Buktinya, nelayan tak ada yang protes bahwa mata pencaharian mereka terganggu," tuturnya. Asri menuntut agar persoalan itu dilihat kembali dengan mengacu ke surat izin. "Kalau sludge itu dianggap mencemari, mengapa izin tersebut diberikan?" katanya. Limbah kerak minyak itu memang berkaitan dengan bisnis PT KTB, yang usahanya membeli kapal tua, memotong-motong, lalu menjualnya dalam bentuk besi tua. Nah, di antara kapal-kapal yang dijagal itu sebagian berupa tanker tua yang berukuran sekitar 1.500 ton. Sebelum dibelah, tentu saja tanker itu mesti dibersihkan. Celakanya, PT KTB tak punya lisensi untuk melakukan tank cleaning (pencucian). Maka, tank cleaning harus dilakukan di Singapura, tempat kapal-kapal itu berasal. Namun, begitulah kesepakatannya, kotoran hasil pencucian itu menjadi tanggung jawab KTB, lantaran Singapura tak bersedia memberi tempat pembuangan. Alhasil, dibawalah limbah itu ke Batam. "Namun, kami membawanya tidak gelap-gelapan. Ada izinnya," kata Asri. Yang sekarang sedang jadi gunjingan adalah soal bagaimana surat izin itu bisa keluar. Seorang petugas Badan Otorita Batam menduga, izin itu dikeluarkan lantaran Batam sedang sepi investor. "Kalau terlalu banyak menuntut, nanti investor pada lari," ujarnya. Namun, seorang staf senior lainnya menyebut hal itu sebagai keteledoran. Sejauh mana dampak pencemaran kehadiran sludge di Tanjunguncang itu masih sulit diketahui. Pihak Kantor KLH (Kependudukan dan Lingkungan Hidup) sendiri belum turun ke sana. "Saya baru tahu dari koran," ujar Nabiel Makarim, Asisten III Menteri Negara KLH. Petugas KLH sendiri, kata Nabiel, baru akan dikirim ke Tanjunguncang, "dua pekan mendatang." Namun, dampak sludge itu telah terasa di lingkungan Badan Otorita Batam. Gosip-gosip pun meluncur, bahwa "ada apa-apa" di balik surat izin itu. "Kami juga akan menyelidiki kebenaran isu itu, jangan sampai ada pihak yang dirugikan oleh berita-berita yang simpang-siur," ujar seorang petugas kepolisian Batam. Laporan Affan Bey Hutasuhut (Batam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini