Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Standar dan pedoman baru untuk menyelenggarakan SVLK akan segera berlaku dengan menonjolkan aspek kelestarian.
Memuat beberapa pembaruan seperti pencantuman geolokasi dan mengakomodasi HHBK.
Masih belum memperkuat keberadaan pemantau independen untuk menjaga kredibilitas SVLK.
MULAI 1 Maret mendatang, Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) akan memiliki standar dan pedoman pelaksanaan baru. Peraturan ini ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 14 Desember 2022. Dengan terbitnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.9895 tersebut, peraturan yang terdahulu dicabut dan dinyatakan tak berlaku.
Peraturan yang digodok sekitar setahun ini merupakan implementasi dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Agus Justianto, aturan ini merupakan perbaikan terus-menerus dari SVLK. "Agar tujuan utamanya tercapai, yaitu keberterimaan pasar dengan menjaga prinsip keterlacakan, transparansi, dan kredibilitas," katanya melalui jawaban tertulis, Jumat, 17 Februari lalu.
Menurut Agus, perubahan ini dilakukan untuk lebih menekankan aspek kelestarian yang terdapat dalam SVLK. Ia menjelaskan, ada tiga poin utama dari standar dan pedoman penerapan SVLK yang baru ini. Pertama, meningkatkan kredibilitas, transparansi, dan keterlacakan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan geolokasi. Kedua, untuk menjaga pengelolaan dan pemanfaatan hutan dengan memperhatikan aspek kelestarian berdasarkan fungsinya. Yang terakhir adalah perubahan logo menjadi "SVLK Indonesia" dan penambahan "kelestarian" untuk produk yang berasal dari sumber yang lestari.
Adapun logo SVLK telah ditetapkan pada 26 November 2021 melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.1179 tentang Penetapan Tanda SVLK. Logo ini merupakan tanda yang menyatakan bahwa hasil hutan dan produk hasil hutan telah memenuhi standar legalitas dan kelestarian serta memenuhi ketentuan deklarasinya. Payung hukum penerbitan aturan ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Agus Justianto/menlhk.go.id
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baik standar pedoman SVLK maupun logo SVLK merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, ada berbagai perubahan mengenai tata kelola kehutanan. Salah satunya mengenai prinsip pemberian izin usaha. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, untuk memanfaatkan hasil hutan, dikenal berbagai macam izin. Di antaranya izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.
Setelah Undang-Undang Cipta Kerja terbit, izin-izin tersebut dilebur menjadi satu izin tunggal, yaitu perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH). Peleburan ini buat mengakomodasi prinsip multiusaha sehingga untuk melakukan semua aktivitas pemanfaatan di dalam kawasan hutan cukup memerlukan satu izin usaha. Artinya, pemegang PBPH dapat menjalankan bisnis hutan tanaman yang sepenuhnya menggantungkan pada kayu sekaligus bisnis hasil hutan bukan kayu. Perubahan ini juga termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021.
Dengan adanya perubahan tersebut, hasil hutan bukan kayu (HHBK), yang selama ini di luar lingkup SVLK, menjadi bagian dari sistem ini. Dalam pedoman baru ini, HHBK juga disinggung. Misalnya, dalam Standar Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), pada aspek produksi—baik pada hutan produksi maupun hutan lindung—HHBK disebutkan dalam indikator pemanfaatan hutan yang lestari dengan verifier terdapat data potensi pemanfaatan hutan. HHBK juga disebutkan dalam Standar Penilaian Kinerja PHL pada PBPH dan Hak Pengelolaan di Hutan Lindung.
Meski begitu, belum ada mekanisme dan alur yang lebih detail untuk mengimplementasikan SVLK bagi komoditas HHBK dalam aturan terbaru ini. Menurut Agus Justianto, SVLK untuk komoditas HHBK disesuaikan dengan permintaan pasar, yang juga telah termaktub dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 08 Tahun 2021. "Saat ini kriteria dan indikator untuk komoditas HHBK masih dalam proses penyusunan standar dan pedoman agar HHBK tersebut dapat diterima pasar, dengan mekanisme yang lebih simpel, murah, dan terjamin kredibilitasnya," tuturnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Purwadi Soeprihanto, mengatakan perluasan ruang lingkup SVLK yang mencakup HHBK merupakan sebuah perubahan mendasar yang diharapkan dapat mendongkrak penetrasi pasar untuk produk HHBK Indonesia yang lestari. Namun ia berharap proses penilaian SVLK untuk HHBK dilakukan melalui serangkaian tahap uji coba di lapangan. "Mengingat ini baru saja diberlakukan," katanya.
Selain soal HHBK, standar dan pedoman baru ini berupaya meningkatkan pengetatan penilaian. Salah satunya adalah memastikan keterlacakan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan geolokasi. Dalam standar dan pedoman sebelumnya, yang diatur dalam surat keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.62 Tahun 2022, penandaan geolokasi tak tercantum sama sekali.
Ihwal geolokasi dalam standar dan pedoman SVLK terbaru ini digunakan sebagai metode verifikasi dalam berbagai standar verifikasi. Di antaranya "Standar Verifikasi Legalitas Hasil Hutan Kayu pada Pemegang Persetujuan Pemanfaatan Kayu Kegiatan Non Kehutanan", "Standar Verifikasi Legalitas Hasil Hutan Kayu pada Pemegang Perizinan Berusaha Pengelolaan Hasil Hutan", dan "Standar Verifikasi Legalitas Hasil Hutan Kayu pada Pemegang Perizinan Berusaha untuk Kegiatan Usaha Industri". Termasuk juga menjadi kewajiban ketika eksportir hendak mengajukan permohonan dokumen V-Legal/Lisensi FLEGT.
Proses Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian/Tempo
Menurut Agus, soal geolokasi merupakan salah satu usul dari pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses penyusunan standar dan prosedur baru ini. "Dalam proses penyusunan standar dan prosedur selalu melibatkan stakeholder dari pemerintah, lembaga penilai dan verifikasi independen, pelaku usaha/asosiasi, dan pemantau independen," ucap Agus. Selain itu, selaras dengan permintaan pasar Uni Eropa, yang mewajibkan komoditas berisiko deforestasi dan degradasi hutan dapat dilacak melalui geolokasi di bawah payung European Union Regulation on Deforestation-Free Supply Chains.
Meski begitu, Agus menekankan, perubahan aturan ini bukan semata-mata untuk menjawab kebutuhan pasar Uni Eropa dengan diberlakukannya peraturan bebas deforestasi Uni Eropa. Ia mengatakan perubahan aturan yang dilakukan ini adalah untuk meningkatkan lingkup legalitas menjadi kelestarian. "SVLK sejak dulu memang sudah berfokus pada legalitas dan kelestarian. Dengan adanya perubahan paradigma ini, penekanan terhadap kelestarian menjadi lebih ditonjolkan," ujarnya.
Adapun masukan dari para pihak yang diklaim dimasukkan ke standar dan pedoman baru ini adalah kriteria pemenuhan aspek kelestarian, hak akses informasi bagi pemantau independen, pengarusutamaan gender, dan pengaturan pemeriksaan verifier penggunaan tanda SVLK yang baru. Di luar itu, standar dan pedoman baru ini juga telah mengakomodasi perubahan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari menjadi Sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari dan Sertifikat Legalitas Kayu menjadi S-Legalitas.
Menurut Purwadi, melalui standar dan pedoman yang baru, aspek kelestarian yang selama ini menjadi kepedulian pasar telah diperkuat melalui berbagai indikator. "Pemanfaatan hasil hutan kayu, HHBK, pemanfaatan kawasan, dan jasa lingkungan dikelola secara terintegrasi sehingga kelestarian ekosistem hutan lebih terjaga," katanya. Selain itu, menurut dia, standar dan pedoman baru ini menguatkan penerapan tahap usaha pemanfaatan hutan yang menjamin kelestarian hutan.
Purwadi menyebutkan pemberlakuan SVLK selama ini terbukti positif dalam mendongkrak ekspor hasil hutan kayu dalam enam tahun terakhir. Bahkan, menurut dia, nilai ekspor pada 2021 yang mencapai US$ 13,56 miliar dan 2022 yang mencapai US$ 14,51 miliar menjadi nilai tertinggi sepanjang sejarah. "Aturan SVLK terbaru ini, khususnya dengan penguatan kelestarian, diyakini mampu mendorong peningkatan ekspor dan penetrasi pasar yang lebih luas untuk produk kayu dan HHBK," tuturnya.
Menurut Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan Muhammad Ichwan, standar dan pedoman yang baru ini belum menjawab aspek kelestarian. Ia mencontohkan penambahan geolokasi yang belum spesifik menunjuk pada titik tebang yang menjadi asal muasal komoditas. "Idealnya geolokasi itu diwujudkan serupa barcode yang secara detail menunjukkan titik tebang, RKT (rencana kerja tahunan) tahunnya, nama perusahaannya, pelabuhannya,” ujarnya. “Dan harus dapat diakses oleh pemantau independen yang berperan menjaga kredibilitas SVLK."
Selain itu, menurut Ichwan, keterbatasan akses informasi bagi pemantau independen masih menjadi persoalan. "Pemantau independen merupakan bagian dari sistem SVLK yang keberadaannya berfungsi untuk menjaga kredibilitas SVLK. Namun sampai sekarang belum ada upaya aktif dari pemerintah untuk meningkatkan peran pemantau independen melalui peningkatan kapasitas, keterbukaan informasi, dan membuka ruang pembiayaan yang sustain dari sistem itu sendiri," tuturnya.
Ichwan mengapresiasi ihwal penjaminan keamanan bagi pemantau independen yang tak ada sebelumnya. Jaminan keamanan itu ditegaskan melalui hak dan kewajiban pemantau independen yang berbunyi: “pemantau independen berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman fisik dan verbal dalam melakukan pemantauan” dan “berhak mendapatkan akses memasuki lokasi pemantauan…”. "Kalau pemantau independen mendapat ancaman, ada jaminan Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari akan memfasilitasi upaya pelindungan," ujar Ichwan.
Proses Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian/Tempo
Catatan lain disampaikan oleh peneliti Independent Forest Monitoring Fund, Deden Pramudiana, yang menyebutkan standar dan pedoman ini masih menggunakan norma "sedang", yang kerap menjadi celah bagi pemegang PBPH menjalankan praktik yang tidak lestari. Selain itu, menurut dia, aspek ekologi dan sosial seharusnya menjadi penilaian mayor untuk menjawab "Kelestarian" dalam SVLK. "Bila penerapan SVLK menitikberatkan pemenuhan 'kelestarian', harus dibarengi dengan pengawasan dan kontrol ketat sehingga dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mengatasi praktik penyimpangan di lapangan," katanya.
Sama seperti Ichwan, Deden menekankan keterbatasan akses informasi bagi pemantau yang belum dapat dijawab melalui pedoman yang baru ini. Menurut dia, akses terhadap dokumen perizinan berusaha, seperti rencana kerja umum/rencana kerja tahunan, hingga data peredaran hasil hutan yang dimuat dalam Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) menjadi dokumen penting bagi pemantau independen untuk melakukan pemantauan. "Dibutuhkan juga interkoneksi sistem informasi seperti SIPUHH, Sistem Informasi Rencana Pemenuhan Bahan Baku Pengolahan Hasil Hutan, Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian, dan sistem informasi industri primer-sekunder untuk memudahkan mengawasi rantai pasok komoditas di lapangan," ujarnya.
Sementara itu, beberapa lembaga sertifikasi berharap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera mensosialisasi standar dan pedoman baru yang dianggap lebih kaku dan lebih ketat ini. Menurut Agus Justianto, peraturan SVLK baru ini telah disosialisasi kepada asesor Komite Akreditasi Nasional serta Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen dan secara bertahap akan disosialisasi kepada pihak lain. "Kami berharap paradigma baru dalam SVLK ini tidak menjadi beban, tapi menjadi hal yang positif dalam perdagangan produk hasil hutan dengan mengedepankan kelestarian," katanya.
IRSYAN HASYIM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo