Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENDENGAR John Tobing menggelar konser, yang terbersit adalah sosoknya menyanyikan lagu "Darah Juang" dengan petikan gitar. Atau agar lebih heroik, ia menyanyikan "lagu kebangsaan para demonstran mahasiswa" era 1990-an itu sembari mengangkat tangan kiri mengepal ke atas. Tapi tidak untuk konser mini bertajuk "Politics Requires Love and Empathy" pada Sabtu, 1 Februari lalu, di Sanggar Maos Tradisi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama tiga jam lebih John memilih beromantisisme dengan masa 57 tahun yang tengah dilewatinya. Ia kembali mengunjungi memori tentang masa kecilnya, opungnya, istrinya, anak-anaknya, teman-teman kuliahnya, dan mantan-mantan pacarnya yang ditulis dalam syair lagu. Ada 40 judul lagu yang disiapkan sore itu. "Darah Juang" pun disimpannya rapat hingga pengujung acara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dan, jreeeeng... suara pemilik nama lengkap John Sony Marhasak Lumbantobing itu beradu dengan hujan lebat. Di panggung berhias poster foto John karya seniman Bantul, Peter Gentur, ia duduk sendirian di atas kursi penjalin rotan sembari memangku gitar. John memulai petikan gitarnya dengan lagu tentang Indonesia. Dari judulnya pun orang tahu, itu lagu tentang rasa nasionalisme akan tanah airnya. Tapi tak banyak orang tahu lagu itu diciptakan saat John masih berseragam putih-merah di bangku sekolah dasar pada 1978.
“Ini lagu kedua. Lagu yang pertama (yang dibuat) elek (jelek) banget,” ucap John, yang selalu menyisipkan kisah di balik setiap lagu yang dibuatnya. Indonesia tanah pusakaku/Aku berjanji akan menjagamu/Oh Indonesia… Oh Indonesia….
Lagu-lagu John liriknya lugu. Terkesan apa adanya, tapi kuat dalam spontanitas dan ekspresi. Simaklah lagu "Gadis Bank" yang dibuatnya pada 1994. Lagu ini mengisahkan pertemuannya dengan perempuan petugas BRI. Suasana mulai mengharu biru saat lagu-lagu balada tentang kisah keluarganya disenandungkan. Seperti lagu "Opungku" yang dalam bahasa Batak berarti kakek atau nenek. Suara penyanyi kelahiran Binjai, Sumatera Utara, itu sempat parau karena menahan tangis. Masa mudamu, masih terasa buah perkasa tanggung jawab jasa-jasamu/Dinginnya malam tak berdaya, karena Opung selalu berkarya menemaniku/Selamat pagi opungku, engkau sungguh-sungguh ceria….
“Ini lagu tentang bapakku. Karena aku berharap yang menyanyikan nanti anak-anakku,” ujar John, yang menulis lagu itu saat sudah tinggal di Yogyakarta.
Kemudian secara beruntun John membawakan lagu untuk istrinya, Dona. Ada lagu "Tunggu Dulu" yang mengisahkan sosok istrinya yang sederhana dan sanggup menuntun John ke jalan Tuhan. Bahkan lagu itu sempat ditaksir mantan gitaris Slank, Pay. John pun menawarkan lagu itu untuk dibeli Pay. Ada juga lagu untuk ulang tahun Dona pada 24 Januari. Lagu yang juga dinyanyikannya dengan tangis. Ia lantas bercerita bagaimana meyakinkan kekasihnya memasuki jenjang pernikahan hanya dalam waktu tiga bulan. Mereka kemudian menikah dan lahirlah putri pertama mereka, Cathrine Tana Tania. “Namanya terinspirasi dari tanah petani,” ucap John, yang juga membuatkannya lagu berjudul "Anakku Tania". John dan keluarga kecilnya tampak kompak bernyanyi sore itu.
Kisah tentang perempuan dan percintaan mendominasi deretan lagunya. Suasana pun seru ketika beberapa bekas aktivis demonstran sahabat John menyajikan kesaksian tentang John semasa menjadi mahasiswa di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ternyata di luar ekspresi John yang terlihat tegas, garang, dan berani saat memimpin aksi-aksi demo mahasiswa, John saat masih mahasiswa sering jatuh-bangun dalam urusan cinta. John, sebagai salah satu motor gerakan mahasiswa di Yogya kala melawan Orde Baru, juga bagian dari kultur romantisisme mahasiswa: "buku, demonstrasi, dan cinta". Lagu-lagu seperti "Maaf" adalah buah dari pengalaman itu. Saat putus dengan pacarnya, John merasa merdeka sekaligus menyesal.
Dekan Filsafat UGM Siti Murtiningsih adalah teman dekat yang banyak dibuatkan lagu oleh John. Dari sini terlihat arti perempuan bagi John tidaklah hitam-putih. Tak sekadar pasangan bagi laki-laki. Menurut Siti, justru perempuan bagi John adalah sumber kebaikan, kedamaian, kecantikan, dan ketenangan. Perempuan adalah ibu bumi itu sendiri. “Jadi lagu-lagunya futuristik. Memikirkan bumi kita ke depan kayak apa,” tutur Siti. Hal demikian juga dilihat Hamzrut, seorang teman John, sesama aktivis di era Orde Baru, yang kini lebih suka berkebun. Meski banyak membuat syair lagu tentang percintaan, menurut Hamzrut, ada nilai-nilai perjuangan tertanam di dalamnya. “Misalnya ada syair 'cinta tak mungkin sendiri'. Hidup ini perlu kawan. Untuk meresapi lagu-lagu John, butuh refleksi bertahun-tahun,” kata Hamzrut mencuplik salah satu syair lagu John. Seperti lagu “Hujan” yang sempat membuat penonton yang hadir tertegun.
John juga tak melupakan teman-temannya alumnus Filsafat UGM yang hadir sore itu. Ia mempersembahkan khusus kepada mereka lagu tentang kampus mereka, "Fakultasku". Lagu itu dia buat pada 1993. “Enggak ada yang hafal,” ucap John saat tak ada teman yang menyanyi bersamanya. Teman-temannya tertawa. Padahal lagu itu dulu sering mereka nyanyikan bersama saat nongkrong di kampus. Liriknya juga menyerukan para sahabatnya di Jurusan Filsafat untuk membela rakyat.
Konser mini itu adalah salah satu upaya pengarsipan lagu-lagu John Tobing yang jumlahnya sudah mencapai 900-an. Tak semua lagu diingat, baik syair maupun melodinya, lantaran John tak bisa membaca not balok. Seperti saat menyanyi sore itu, John menghadap segepok kertas putih yang hanya bertulisan syair lagu tanpa not balok.
Pertunjukan itu mengundang penonton atau pengapresiasi yang pernah terkait dengan lagu-lagunya, seperti mahasiswa, aktivis, penulis, jurnalis, akademikus, seniman, pegiat budaya, pegiat lembaga swadaya masyarakat, dan pemangku kebijakan publik. Sekaligus untuk menggali dan mengapresiasi karya-karya ciptaan John secara interaktif yang terhubung secara sosial di lingkungannya. Bagi teman seangkatannya di kampus, Hari "Begi" Subagyo, pengarsipan itu bagian dari keberhasilan John dalam bermusik, ketimbang berpolitik.
“John hari ini berbeda dengan dulu. Hari ini banyak menyanyikan lagu-lagu tentang cinta, lingkungan, dan rohani. John adalah bagian dari kami,” kata Begi.
Politics Requires Love and Empathy
Konser mini akan dilanjutkan di waktu lain untuk lagu-lagu perjuangan karya John Tobing. Tak terkecuali lagu "wajib" penutup aksi demonstrasi: "Darah Juang". Hamzrut mengungkapkan bahwa John sempat cemas selepas lagu itu dibuat karena intel-intel Orde Baru mengawasinya. John melarikan diri ke Pekanbaru dan menikah di sana. Ia baru kembali ke Yogyakarta jauh setelah rezim berganti pada 2010. Namun, dalam kurun waktu itu, "Darah Juang" terus diperdengarkan dalam setiap demonstrasi tanpa disadari si empunya lagu. “Kami harus berterima kasih kepada Nining (teman mereka, sesama aktivis mahasiswa di era Orde Baru). Dia yang menghafalkan dan mempopulerkannya sampai ke mana-mana,” ujar Hamzrut.
Dan sore itu, "Darah Juang" akhirnya diperdengarkan sebagai pamungkas. Tak hanya John Tobing, istri dan anak-anaknya serta anak-anak teman-temannya pun menyanyikan "Darah Juang". Tak ada ritual mengepalkan tangan kiri ke atas. Yang menyanyi pun ada yang berdiri dan duduk. Begitu pula mantan aktivis era 1990-an, Arie Sujito, yang sekarang Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni UGM, yang duduk di barisan depan bersama anaknya. “Syair 'Darah Juang' memang bagian dari energi romantisisme. Tapi setiap orang terinspirasi lagu itu karena sejarahnya, perjuangan mewujudkan keadilan. Itu belum final,” kata Arie, yang dulu aktivis Tegak Lima saat masa represi kampus saat itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo