Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bencana Hidrometeorologi Akibat La Nina Bercampur El Nino

Banyak bencana hidrometeorologi karena fenomena La Nina bercampur El Nino. Hujan ekstrem diprediksi terjadi pada Juni-November.

18 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Operator mengoperasikan alat berat saat pencarian korban banjir bandang di Jorong Galuang, Nagari Sungai Pua, Agam, Sumatera Barat, 13 Mei 2024. ANTARA/Iggoy el Fitra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENCANA yang mendera banyak daerah dalam beberapa waktu terakhir diprediksi terus berlangsung. Terutama ketika terjadi fenomena anomali suhu permukaan laut El Nino dan La Nina dalam satu waktu. “Ternyata sekarang kita tidak mengenal musim, atau saya sebut ketika fenomena La Nina dan El Nino bercampur,” ucap Ketua Departemen Geografi Universitas Indonesia, Jatna Supriatna, kepada Tempo pada Jumat, 17 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fenomena La Nina sebetulnya merujuk pada bahasa Spanyol yang berarti gadis kecil atau putri, yakni penurunan suhu permukaan laut di sepanjang timur dan tengah Samudra Pasifik yang berada di dekat garis khatulistiwa. Penurunan suhu terjadi dari 3 derajat hingga 5 derajat Celsius dari suhu normal. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya peningkatan curah hujan pada musim kemarau dan berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi basah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebaliknya, El Nino digambarkan sebagai bocah laki-laki untuk menyebut fenomena kenaikan suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik. Dampaknya adalah curah hujan yang berkurang dan memicu kekeringan atau kemarau yang panjang di Indonesia. Situasi berbeda terjadi di Amerika Selatan yang justru menghadapi peningkatan curah hujan serta bencana banjir dan tanah longsor.

Menurut Jatna, kedua fenomena tersebut dimungkinkan sedang berlangsung di Indonesia. Ditandai dengan terjadinya suhu panas saat pagi dan hujan ekstrem pada sore hari. Jatna menyebutnya sebagai Indian Ocean Dipole (IOD) atau fenomena osilasi suhu air permukaan laut yang tak teratur. Kondisi ini mengakibatkan wilayah barat Samudra Hindia lebih hangat dan timur Samudra Hindia lebih dingin.

Fase IOD erat kaitannya dengan datangnya bencana hidrometeorologi basah di wilayah pantai timur Afrika, seperti banjir bandang dan tanah longsor. Kemudian merembet ke Indonesia yang mengalami dampak peningkatan curah hujan. Periode musim hujan berkepanjangan dengan curah hujan yang lebih tinggi dari normal pada saat musim kemarau mengakibatkan terjadinya kemarau basah.

Jatna mencontohkan wilayah Sumatera sedang menghadapi intensitas hujan yang tinggi pada saat musim kemarau. Tak aneh terjadi bencana banjir lahar dingin di Sumatera Barat akibat curah hujan yang tinggi di sekitar puncak Gunung Marapi. Insiden ini mengakibatkan lebih dari 60 warga tewas karena disapu banjir bandang pada Sabtu, 11 Mei lalu.

Tim SAR gabungan mengevakuasi warga terdampak banjir di Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, 3 Mei 2024. ANTARA/Hariandi Hafid

Banjir bandang juga dilaporkan beberapa kali terjadi di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, sejak awal Mei lalu. Banjir ini akibat seringnya hujan ekstrem di koordinat 120 derajat bujur timur Pulau Sulawesi. Peningkatan intensitas hujan diperparah oleh perubahan tutupan lahan di Kabupaten Luwu. Kata Jatna, kerapatan vegetasi berubah menjadi rendah sehingga terjadi banjir bandang saat curah hujan tinggi.

Peneliti dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eddy Hermawan melihat terjadi dinamika atmosfer yang kompleks. Kata dia, pada periode Maret-April, terjadi fenomena hotwave atau heatwave alias gelombang panas. “Walaupun musim panas akan terus berlangsung dari Januari hingga Agustus, faktanya sekarang terjadi hujan berintensitas tinggi,” ucapnya.

Normalnya, periode Maret-Mei merupakan masa transisi dari musim hujan ke musim kemarau. Kemudian dilanjutkan masa puncak kemarau pada Juni-Juli-Agustus. Bahkan di beberapa wilayah terjadi kemarau hingga September. Ternyata, menurut Eddy, Indonesia telah meninggalkan fase normal itu, yakni terjadinya musim panas pada saat musim hujan dengan suhu di beberapa daerah mencapai 40 derajat Celsius.

Persoalannya justru ketika masuk masa musim kemarau, Indonesia menghadapi La Nina atau kemarau basah. Hal itu terjadi di Sumatera Barat saat hujan deras menyeret timbunan lahar yang menyapu lima kabupaten/kota secara bersamaan. Eddy melihat bencana itu terjadi karena adanya pusaran di kawasan pantai barat di Sumatera Barat. Pusaran ini disebut memiliki efek besar karena uap air dari Samudra Hindia masuk ke wilayah Sumatera Barat.

“Artinya, seperti ada dua gelombang, yakni gelombang Kelvin dan Rossby yang bertemu menjadi satu di kawasan ini,” tutur Eddy. Gelombang ekuatorial Rossby menyebabkan cuaca buruk pada wilayah yang dilaluinya karena membawa massa udara yang bersifat basah sehingga wilayah tersebut sering dilanda hujan ataupun mendung. Adapun gelombang Kelvin berpotensi meningkatkan awan penghujan seperti kumulonimbus.

Adapun profesor riset bidang klimatologi dan perubahan iklim pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin, sudah lama mewanti-wanti adanya bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim. Menurut dia, sejumlah pulau, seperti Sumatera dan Kalimantan, bakal menghadapi potensi kemarau basah. “Karena dampak dari La Nina seperti yang sudah dinyatakan oleh Biro Meteorologi Australia,” katanya.

Menurut Erma, para ahli mengistilahkan kondisi ini sebagai fenomena La Nina Modoki (modoki dari bahasa Jepang klasik yang berarti serupa tapi berbeda). Fenomena itu ditandai dengan kemarau basah yang terjadi pada masa puncak musim kemarau, tapi masih didapati angin kencang atau hujan badai. Curah hujan berkisar 50-175 milimeter per bulan. Peristiwa kemarau basah juga pernah terjadi di sepanjang tahun lalu ketika Indonesia menghadapi musim kekeringan panjang dan peningkatan suhu udara.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mendapati adanya potensi hujan tinggi pada masa Dasarian I Mei 2024. Kondisi ini disinyalir akan terjadi di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Papua, dan beberapa daerah lainnya. “Beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan masuk kategori awas,” tuturnya dalam keterangan tertulis pada Senin, 13 Mei lalu.

Curah hujan yang akan terjadi disebut bervariasi dari kriteria rendah sebesar 18 persen hingga di atas normal atau 58 persen. Prediksi curah hujan dapat mencapai lebih dari 150 milimeter per dasarian (satuan waktu meteorologi, yang lamanya 10 hari). Meski begitu, sebetulnya wilayah-wilayah yang berpotensi dirundung hujan tinggi tersebut mengalami kemarau. Sebagian wilayah di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara juga menghadapi kekeringan.

BMKG mewanti-wanti adanya peningkatan curah hujan dalam kurun waktu Juni-November 2024. Besarannya lebih dari 300 milimeter per bulan. Berpeluang terjadi pada Juni di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan sebagian Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku. Disusul bulan berikutnya di Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, dan sebagian wilayah Sulawesi. Potensi tersebut akan terus terjadi hingga November.

Warga melintas di area terdampak tanah longsor di Kelurahan Tallang Sura, Buntao, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi, 28 April 2024. ANTARA/Sakti Karuru

Pengkampanye hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, melihat dampak fenomena perubahan iklim sangatlah nyata. Bahkan dampaknya dapat memicu bencana hidrometeorologi yang sedang terjadi di banyak wilayah. “Bencana ini diperparah oleh adanya perluasan deforestasi dan alih fungsi hutan di banyak daerah sehingga wilayah tangkapan air menjadi berkurang,” ucapnya.

Dia menyebutkan hutan bukan semata berfungsi menyimpan karbon. Hutan bahkan dapat mengikat tanah untuk mencegah tanah longsor, menangkap air tanah, dan terpenting menjaga ekosistem. Iqbal lantas mencontohkan banjir bandang yang melanda Lembah Anai, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, sebagai akibat adanya alih fungsi peruntukan hutan. Padahal wilayah itu dikenal sebagai rentan bencana.

Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Abdul Muhari, secara singkat menyebutkan bencana terjadi ketika belum memasuki masa puncak periode kemarau. “Bencana hidrometeorologi itu terdiri atas hidrometeorologi kering (kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan) dan hidrometeorologi basah (banjir, abrasi, tanah longsor, dan cuaca ekstrem),” ujarnya.

Muhari mencontohkan banjir yang tengah melanda Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, pada Senin lalu. Banjir setinggi lebih-kurang 2 meter tersebut merendam 28 kampung di lima kecamatan. Padahal wilayah itu sedang menghadapi musim kemarau. Namun intensitas hujan terus meningkat hingga mencapai 150 milimeter per dasarian.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Irsyam Hakim berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus