Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Banjir bandang menyapu kawasan Dubai, Uni Emirat Arab, pada Selasa, 16 April 2024. Bencana ini dipicu oleh perubahan iklim yang membuat intensitas hujan di wilayah Dubai meningkat drastis dari biasanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Merujuk data Pusat Meteorologi Nasional UEA, hujan sepanjang hari di Dubai terpantau memiliki skala intensitas 254 milimeter dan menjadi rekor paling lebat sepanjang 75 tahun terakhir di UEA. Kondisi ini dinilai mengkhawatirkan karena Dubai termasuk wilayah gurun dan rekam jejak musim hujannya terpantau minim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ahli klimatologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, mengatakan peningkatan intensitas hujan di Dubai terkesan tidak wajar dan sangat melebihi dari prediksi awal. Skala 254 milimeter itu seharusnya kumpulan dari empat bulan musim hujan, bukan debit dalam sehari turun saja.
"Bisa kita bayangkan dalam sehari bisa mencapai ratusan milimeter, ini sangat ekstrem ya. Biasanya curah hujan per bulan di Dubai itu hanya 25 milimeter," kata Erma saat dihubungi Tempo, Kamis, 18 April 2024. Dia mengatakan peningkatan intensitas hujan saat banjir bandang di Dubai bisa mencapai 10 kali lipat atau bahkan lebih.
Dari foto dan video banjir bandang Dubai yang beredar, terpantau kendaraan dan bangunan terendam. Lahan yang dahulunya gurun pasir, kini tersapu dan diisi oleh genangan air. Kondisi ini, menurut Erma, adalah potret nyata dari perubahan iklim dan masalah cuaca serupa itu tidak bisa dinilai sebelah mata saja.
"Curah hujan dengan skala 100 hingga 200 milimeter dalam sehari untuk Dubai masuk kategori tidak normal. Kalau normalnya itu tidak lebih dari 10 milimeter dalam sehari, itu pun sudah masuk ekstrem untuk wilayah Dubai yang panas," ucap Erma.
Akibat kondisi ini pula, menurut Erma, dirinya bisa menarik kesimpulan bahwa banjir bandang di Dubai murni akibat perubahan iklim yang kini telah menyebar ke skala global. Dampaknya tidak lagi sekadar teori atau kajian saja, tapi sudah mengarah kepada bencana nyata yang bisa saja menyebabkan korban jiwa.
Erma turut merespons kurangnya antisipasi Dubai dalam menghadapi perubahan iklim. Menurut dia, Dubai terlalu terbuai dengan daerahnya yang sangat jarang turun hujan. Keadaan ini membuat Dubai tidak membangun irigasi hingga tata kota yang ramah bila intensitas hujan ekstrem datang ke wilayahnya.
Sementara dari kajian klimatologi, kata Erma, banjir bandang di Dubai disebabkan oleh badai vorteks yang semula berada di kawasan Oman. Badai ini bergerak menuju bagian barat Dubai dan membesar hingga ke perairan Teluk Persia. Saat berada di perairan ini, badai vorteks memasuki kawasan bertekanan rendah.
"Kawasan bertekanan rendah itu diakibatkan oleh suhu permukaan laut yang meningkat. Permukaan laut yang panas itu diakibatkan oleh pemanasan global, lalu ditransfer ke atmosfer," ucap Erma, sembari menambahkan energi yang sampai ke atmosfer itulah yang menyebabkan terjadinya hujan, bahkan mencapai skala ekstrem untuk Dubai.
Lebih lanjut Erma mengimbau kepada masyarakat bahwa dampak perubahan iklim yang memicu pemanasan global serta fenomena lainnya di dunia sangat besar dan berpotensi membahayakan. Pada kasus terbaru di Indonesia, Erma turut menyinggung contohnya pada kejadian banjir Demak beberapa waktu lalu.
"Saya kerap menyampaikan literasi klimatologi dan memberikan edukasi bahwa cuaca dan iklim tidak semudah dan sesederhana itu. Banyak kajian yang belum terungkap ke publik, khususnya di Indonesia. Untuk kasus Dubai, saya sangat yakin kalau ini dipicu perubahan iklim, maka kita harus waspada," ujar Erma.