Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Penelitian Ungkap Pelet Plastik Daur Ulang dari Indonesia Mengandung 30 Bahan Kimia Beracun dengan Konsentrasi Tinggi

Proyek penelitian di 13 negara ini bertujuan meningkatkan kesadaran global tentang bahan kimia berbahaya dalam plastik daur ulang

24 April 2024 | 14.33 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - International Pollutants Elimination Network (IPEN) bersama Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) dan Indowatercop menemukan sebanyak 30 bahan kimia berbahaya dengan konsentrasi tinggi yang terkandung dalam pelet plastik daur ulang yang diproduksi di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Eksekutif ECOTON, Daru Setyorini, mengatakan penemuan itu diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan lembaganya bersama IPEN--jaringan organisasi nonpemerintah di lebih dari 120 negara yang bekerja untuk mengurangi dan menghapuskan bahaya dari bahan kimia beracun terhadap kesehatan manusia dan lingkungan--sejak 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Sampel pelet plastik daur ulang yang diteliti adalah jenis High-Density Polyethylene (HDPE)," kata Daru dalam rilis yang diterima Tempo pada Selasa, 23 April 2024. Menurut Daru, plastik jenis HDPE dipilih karena paling banyak digunakan dan didaur ulang. Adapun sampel pelet plastik daur ulang diperoleh dari pabrik skala kecil di wilayah Jawa Timur.

Dua sampel dari Indonesia kemudian dikirim ke Swedia, Jerman, dan Denmark untuk dianalisis. Hasil analisis terhadap dua sampel itu ditemukan 346 bahan kimia berbahaya. Di antara bahan-bahan kimia yang terdeteksi itu, ditemukan 30 bahan kimia berbahaya dengan konsentrasi tertinggi pada masing-masing sampel. "Di antaranya adalah pestisida klopirifos dan obat-obatan," ujarnya.

Selain dua sampel dari Indonesia, ada 26 sampel dari 12 negara lain yang dianalisis. Negara-negara itu adalah Argentina, Cameroon, India, Malaysia, Mauritius, Nepal, Nigeria, Serbia, Taiwan, Tanzania, Thailand, dan Togo. Hasilnya, teridentifikasi hampir 500 bahan kimia berbahaya.

Daru mengatakan proyek penelitian di 13 negara ini bertujuan meningkatkan kesadaran global tentang bahan kimia berbahaya dalam plastik daur ulang. Dia menyebut 25 persen dari 16.000 bahan kimia untuk memproduksi plastik diketahui beracun. "Pelet plastik daur ulang juga dapat mengandung kontaminan kimia dari penggunaan awal plastik tersebut."

Menurut dia, senyawa-senyawa beracun dalam plastik dapat mengganggu sistem endokrin pada organisme hidup, termasuk manusia dan hewan, yang dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi hormonal normal, perkembangan reproduksi, dan peningkatan risiko penyakit serius seperti kanker, penyakit jantung, diabetes, obesitas, dan kondisi kesehatan lainnya.

Peneliti dari Indowatercop, Amiruddin Muttaqin, menyatakan mendaur ulang plastik tidak akan memecahkan masalah sampah plastik, melainkan akan meningkatkan masalah polusi plastik. "Penelitian telah membuktikan bahwa daur ulang plastik dapat menjadi sumber penyebaran bahan kimia beracun baru, sehingga menambah jumlah bahan kimia dalam plastik daur ulang," katanya.

Dia menyebut saat ini tidak ada persyaratan internasional yang mengatur pemantauan terhadap bahan kimia dalam plastik daur ulang. "Pengendalian internasional diperlukan mengingat perdagangan internasional bahan kimia, plastik, dan sampah plastik semakin meluas."

Karena pencemaran oleh senyawa-senyawa beracun dalam plastik adalah masalah serius, kata dia, permasalahan ini harus dibahas dalam sebuah perjanjian global mengenai plastik untuk mengontrol proses produksi dan konsumsi plastik. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui INC-4 yang diselenggarakan di Ottawa, Kanada, pada 23-29 April 2024.

"Pemerintah Indonesia turut serta dalam INC ini untuk membahas peraturan perjanjian global mengenai plastik," ujarnya. INC atau Intergovernmental Negotiating Committee merupakan sebuah komite yang terdiri dari perwakilan pemerintah dari berbagai negara di bawah naungan PBB yang bertujuan untuk bernegosiasi dan mencapai kesepakatan terkait isu-isu tertentu.

INC idiinisiasi berdasarkan Resolusi United Nations Environment Assembly atau UNEA 5/14 pada Maret 2022 dengan judul End Plastic Pollution: Towards An International Legally Binding Instrument. Resolusi UNEA 5/14 itu menugaskan pembentukan INC untuk memulai penyusunan dan pembahasan perjanjian internasional mengenai plastik dari pertengahan 2022 hingga akhir 2024.

Amir berharap, melalui INC-4, berbagai upaya dapat dihasilkan untuk mengendalikan permasalahan sampah plastik. Upaya tersebut antara lain memprioritaskan pengurangan produksi plastik sekali pakai, menghentikan impor sampah plastik ke Asia Tenggara, mengurangi penggunaan zat aditif beracun, dan melabeli bahan berbahaya dalam proses produksi plastik.

Selain itu, memprioritaskan penggunaan ulang dan pengisian ulang, menolak metode daur ulang dengan pembakaran atau solusi palsu, mencegah penggunaan plastik biodegradable yang akan mempercepat timbulnya mikroplastik, serta menerapkan Extended Producer Responsibility yang lebih luas.

Di samping itu, mengutamakan hak asasi manusia dengan memberikan keadilan sosial bagi semua orang yang terkena dampak polusi plastik, rehabilitasi ekosistem sungai, laut, udara, dan tanah yang tercemar oleh plastik serta pemulihan kesehatan manusia dari dampak mikroplastik dan bahan aditif plastik.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus