Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Arafik Tresno, 42 tahun, peribahasa tua imbo genaro cido celako benar adanya. Artinya, jika sembarangan memperlakukan hutan, maka akan celaka. Petuah lama yang diwasiatkan dari generasi ke generasi itu hingga saat ini masih dipegang kuat oleh masyarakat adat Rejang di Kabupaten Lebong, Bengkulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jika hutan disepakati dilarang dibuka, semua patuh. Masyarakat sangat percaya, jika mereka melanggar, akan terjadi hal buruk, seperti jatuh sakit atau meninggal,” kata Arafik, tokoh pemuda adat Rejang, ketika ditemui di rumahnya di Desa Tunggang, Kecamatan Lebong Utara, Kabupaten Lebong, pada Selasa, 23 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arafik juga adalah Ketua Pelaksana Harian Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Lebong periode 2018-2023. Dia bercerita, masyarakat adat Rejang hidup berdampingan dengan hutan jauh sebelum negara menetapkan wilayah tersebut menjadi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) pada 1982.
Terletak sekitar 130 kilometer di sisi utara Kota Bengkulu, wilayah Kabupaten Lebong memang didominasi kawasan hutan yang luasnya mencapai 215,161 hektare, atau sekitar 84,96 persen dari luas wilayah administrasi daerah hasil pemekaran Kabupaten Rejang Lebong tersebut. Sebagian di antara wilayah itu berupa TNKS, hutan lindung, cagar alam, dan hutan produksi.
Adapun area permukiman cuma seluas 1.835 hektare, lahan pertanian 27.201 hektare, dan area lainnya 6.562 hektare. “Kami hanya bagian kecilnya. Sisanya hutan dan taman nasional," kata Arafik. "Masyarakat adat Rejang tidak serakah. Kalaupun ada yang merambah atau membuka hutan, itu dipastikan pendatang.”
Penampakan Kabupaten Lebong. TEMPO/Phesi Ester Julikawati
Dikelilingi taman nasional dan hutan lindung, wilayah Kabupaten Lebong bak mangkuk raksasa yang kaya flora dan fauna. Walhasil, masyarakat adat Rejang dari dulu hidup berkecukupan. “Hutan memberi kami semuanya," kata Arafik menambahkan.
Oleh karena itu, masyarakat adat Rejang amat bergantung pada hutan. Bagi mereka, hutan tak hanya menjadi tempat para leluhur bersemayam, tapi juga telah menyediakan berbagai kebutuhan hidup. Wana itu juga menyediakan tanaman obat untuk kesehatan masyarakat Rejang.
Arafik mengatakan, sejak zaman Sriwijaya, Tanah Rejang masyhur sebagai daerah kaya bahan pengobatan. Peribahasa lama Semelako tana ubet, Amen tana guau menguatkan hal ini. Samelako yang disebut sebagai tanah obat merupakan salah satu desa di Kecamatan Lebong Tengah. Sedangkan Desa Amen di Kecamatan Amen disebut tanah guru.
Hingga saat ini, kearifan lokal berupa pengobatan tradisional masih hidup di masyarakat Rejang. Pengobatan dilakukan oleh tabib atau dukun, yang oleh masyarakat setempat disebut T’wan Anoak Langia. Meski layanan kesehatan modern semakin mudah diakses, menurut Arafik, pengobatan tradisional dari T’wan Anoak Langia masih diandalkan masyarakat.
“Latar belakang pendidikan ataupun tingkatan ekonomi tidak mempengaruhi kepercayaan kami, tetap lebih percaya kepada T’wan Anoak Langia. Bidan saja, kalau sakit, berobat ke T’wan Anoak Langia,” kata Arafik sembari terkekeh. "Kunci kemasyhuran pengobatan Tanah Rejang ini adalah hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Karena itu kami menjaganya."
Ancaman Kerusakan Kawasan Konservasi
Taman Nasional Kerinci Seblat menjadi salah satu benteng terakhir keanekaragaman hayati di dalam hutan yang amat penting bagi masyarakat adat Rejang. Kawasan konservasi seluas 1,39 juta hektare ini membujur di sisi barat Pulau Sumatera dan mengiris wilayah administrasi 16 kabupaten di empat provinsi. Khusus di wilayah Bengkulu, luasnya mencapai 340 ribu hektare, yang hampir sepertiganya di Kabupaten Lebong.
“Sebagian besar kawasan TNKS masih berupa ekosistem hutan alam dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sedikitnya terdapat 4.000 jenis tumbuhan,” kata Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Balai Besar TNKS, Hadinata Karyadi.
Hadinata menuturkan, sebanyak 4.000 jenis flora itu terdiri atas 604 jenis pohon yang berasal dari 63 famili, lebih dari 300 jenis anggrek, sedikitnya 15 jenis kantong semar, dan aneka tanaman obat. Ia mengatakan salah satu tanaman obat yang masih banyak ditemukan adalah Taxus sumatrana. Ekstrak tanaman ini (Paclitaxel) diketahui telah lama dimanfaatkan untuk menghambat pertumbuhan sel kanker, khususnya kanker payudara dan ovarium.
“Taxus sumatrana masih ditemukan di Bengkulu. Tapi jenis ini banyak ditemukan tumbuh di hutan TNKS Provinsi Jambi,” ujar Hadinata.
Selain Taxus sumatrana, beberapa jenis flora dan fauna yang khas dan langka juga terdapat di taman nasional serta menjadi mandat pengelolaan Balai Besar TNKS, seperti raflesia dan bunga bangkai (Amorphophallus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), dan rangkong (Bucerotidae).
Bunga Rafflesia Arnoldi saat mekar di dalam Kawasan TNKS Kabupeten Lebong. Dok.Balai TNKS Lebong
Hadinata mengakui TNKS tak luput dari ancaman pengrusakan. Hingga 2023, kata dia, area terbuka TNKS wilayah Bengkulu tercatat seluas 22.323 hektare. Sementara itu, luas kerusakan hutan sebesar 133,9 hektare. Deforestasi umumnya disebabkan oleh pembukaan lahan untuk area budi daya, terutama di kawasan penyangga dan desa terdekat dengan kawasan TNKS. Selain itu aktivitas ilegal lainnya juga masih menjadi ancaman bagi keutuhan kawasan dan fungsi hutan TNKS, seperti perambahan kawasan hutan, pembalakan liar (illegal logging), pembangunan jalan, serta pertambangan.
Baca Juga:
Menurut Hadinata, Balai Besar TNKS telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi ancaman dan meredam laju kerusakan TNKS. Upaya tersebut, kata dia, melibatkan kelompok masyarakat, seperti melalui kegiatan penanaman intensif untuk memulihkan ekosistem, patroli rutin untuk pengamanan hutan, serta pembangunan kemitraan konservasi. "Kami juga meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar kawasan dengan pemberian bantuan usaha sehingga mengurangi ketergantungan pada kawasan konservasi,” ujarnya.
Hingga 2023, Balai Besar TNKS telah bekerja sama dengan 12 kelompok masyarakat yang melibatkan 292 keluarga. Kemitraan ini telah menjangkau areal seluas hampir 500 hektare. Dalam kerja sama ini, masyarakat berperan dalam memulihkan ekosistem hutan, sekaligus memungut hasil hutan bukan kayu berupa buah, getah, serta rotan dari dalam hutan TNKS.
Perkebunan sawit di dalam kawasan Taman Wisata Alam Seblat, Bengkulu, pada 28 Oktober 2021. Foto: Koalisi Indonesia Memantau
Terdesak Ekspansi Perkebunan Sawit
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu, Abdullah Ibrahim Ritonga, mengatakan perhatian khusus harus diberikan pada kawasan hutan produksi yang berfungsi sebagai penyangga taman nasional. Sebab, kualitas kawasan hutan tersebut merosot akibat terus-menerus mengalami konversi untuk peruntukan lain, termasuk yang dilatarbelakangi kepentingan investasi.
Menurut Ibrahim, dengan statusnya sebagai hutan produksi yang sebagian besar tidak lagi dibebani hak, kawasan hutan penyangga TNKS justru menjadi rebutan banyak kalangan karena aksesnya yang terbuka. Beberapa perusahaan sawit yang kebunnya berbatasan langsung dengan zona penyangga taman nasional ditengarai sejak lama terlibat dalam penanaman sawit di kawasan hutan. "Tidak hanya merusak hutan, alih fungsi ini pada akhirnya meningkatkan risiko konflik satwa liar dan manusia," kata Ibrahim.
Beberapa tahun terakhir, Walhi bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Memantau menyoroti tingginya ancaman kawasan hutan di bentang alam Seblat. Bentang alam ini mencakup beberapa kawasan hutan, seperti TNKS, Taman Wisata Alam (TWA) Seblat, hutan produksi Air Ipuh, hutan produksi Lebong Kandis, hutan produksi Air Rami, dan hutan produksi Air Teramang. WIlayah ini dinilai esensial lantaran berfungsi sebagai pelindung daerah aliran sungai (DAS) dan rumah bagi beraneka sumber daya alam hayati, termasuk satwa liar yang terancam punah.
Hasil kajian Koalisi Indonesia Memantau, yang dipublikasikan pada 19 Januari 2024 dalam laporan bertajuk "Merambah Rumah Gajah", menunjukkan massifnya ancaman ekspansi perkebunan sawit di bentang alam Seblat. Di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Mukomuko yang bertetangga dengan Kabupaten Lebong, misalnya, perkebunan sawit per 2019 telah merambah kawasan hutan seluas 9.844 hektare di bentang alam Seblat seluas. Alih fungsi kawasan hutan secara ilegal tersebut ditengarai melibatkan sejumlah korporasi pemilik konsesi perkebunan dan pabrik minyak sawit.
Kondisinya diperkirakan terus memburuk beberapa tahun terakhir. Ibrahim mengungkapkan, sedikitnya hutan produksi seluas 20 ribu hektare di Mukomuko ditengarai telah diperjualbelikan sehingga berubah fungsi menjadi perkebunan sawit. Hal ini mengkhawatirkan lantaran habitat alami gajah Sumatera dan harimau Sumatera di kawasan penyangga TNKS tersebut juga semakin menyempit.
"Akibatnya, dalam kurun waktu 2020-2022, setidaknya lima kasus konflik harimau Sumatera terjadi di Kabupaten Mukomuko," kata Ibrahim.
Suasana pemandangan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang sebagian lahannya telah beralih fungsi menjadi ladang perkebunan terlihat dari Kayu Aro Barat, Kerinci, Jambi, 14 Desember 2022. ANTARA/Wahdi Septiawan
Ekspansi perkebunan sawit bukan satu-satunya yang mengancam hutan di bentang alam Seblat. Hutan lindung Bukit Daun di wilayah Kabupaten Rejang Lebong juga terkikis seluas 3.000 hektare untuk kegiatan eksplorasi panas bumi. Hutan lindung tersebut, kata Ibrahim, merupakan wilayah masyarakat adat Bermani yang berfungsi sebagai sumber mata air, termasuk untuk mengairi 400 hektare sawah dan lahan pertanian.
"Pemerintah harus untuk segera meninjau ulang berbagai perizinan industri ekstraktif yang berada di dalam kawasan hutan penyangga TNKS," kata Ibrahim. “Konservasi berbasis kearifan lokal masyarakat seharusnya diutamakan untuk memulihkan hutan dan ekonomi."
Harapan Ibrahim agaknya tak akan terwujud dalam waktu dekat. Di Kabupaten Lebong, misalnya, masyarakat adat Rejang sampai saat ini masih menunggu penetapan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Padahal, mereka telah mengantongi pengakuan dari Pemerintah Kabupaten Lebong sejak tujuh tahun lalu melalui penerbitan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Lebong.
Menurut Arafik, berdasarkan usulan dari 12 komunitas masyarakat adat, luas hutan adat tanaek tanai yang diusulkan kepada KLHK sekitar 9.500 hektare. “Tim verifikasi sudah datang ke desa-desa tersebut pada Mei 2024,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Laporan ini didukung program “Let’s Talk About Climate: Training Program for Journalist” kerja sama AJI Indonesia dan DW Akademie, yang disokong Kementerian Luar Negeri Jerman. Isi laporan merupakan tanggung jawab Tempo. Artikel disunting oleh Dody Hidayat dan Agoeng Wijaya dari Tempo.