Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta- Peneliti di Georgia Institute of Technology, Amerika Serikat, Hungtang Ko, menjelaskan secara ilmiah tentang semut api yang dapat selamat dari banjir dengan saling menempelkan tubuh untuk membentuk rakit besar.
Hungtang Ko menunjukkan bahwa semut api secara aktif merasakan perubahan kekuatan saat menjadi rakit dalam kondisi fluida berbeda dan menyesuaikan perilaku untuk menjaga stabilitas rakit. Fluida adalah zat yang bisa mengalami perubahan bentuk secara terus menerus bila terkena tekanan atau gaya geser walaupun relatif kecil. Bisa juga dikatakan zat yang mengalir.
Hungtang Ko menjelaskan hasil penelitiannya itu pada pertemuan Divisi Dinamika Fluida Masyarakat Fisika Amerika, yang diadakan di Seattle sesaat sebelum liburan Thanksgiving. Semut api (dan semut pada umumnya) memberikan contoh tentang perilaku kolektif.
Beberapa semut dengan jarak yang sama berperilaku seperti semut individu. Namun cukup erat satu sama lain, dan mereka berperilaku lebih seperti satu ekor, menunjukkan sifat padat dan cair.
"Anda dapat menuangkannya dari teko seperti cairan, atau mereka bisa terhubung untuk membangun menara atau rakit mengambang, keterampilan bertahan hidup yang berguna ketika, katakanlah, badai menerjang Houston. Mereka juga unggul dalam mengatur arus lalu lintas mereka sendiri," kata Hungtang Ko, dikutip Arstechnica, baru-baru ini.
Setiap semut memiliki hidrofobia dalam jumlah tertentu, kemampuan untuk mengusir air, sifat ini diintensifkan ketika semut bersatu, menenun tubuhnya seperti kain tahan air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semut mengumpulkan telur atau apa saja, berjalan ke permukaan melalui terowongan di dalam sarang ketika banjir. Mereka akan saling menempelkan mandibula dan cakar masing-masing, hingga membentuk struktur seperti rakit.
Semut dapat melakukan hal itu dalam waktu kurang dari 100 detik. Rakit semut merupakan cukup kuat sehingga jika satu atau dua semut terlepas, struktur keseluruhan tetap stabil dan utuh. Bahkan bisa bertahan selama berbulan-bulan. Singkatnya, rakit semut adalah organisme super.
Hungtang Ko menyelidiki tidak hanya perilaku kolektif semut api, tapi juga anggang-anggang, ular, berbagai serangga pemanjat, nyamuk, lidah kucing, dan fungsi tubuh hewan seperti untuk buang air kecil dan buang air besar. Salah satu mahasiswanya, Patricia Yang, memenangkan Hadiah Nobel 2019 untuk studinya tentang mengapa wombat atau marsupial Australia menghasilkan kotoran kubus.
Hungtang Ko dan rekan-rekannya berpikir bahwa semut api mungkin bisa merasakan perubahan dalam pasukan yang bekerja pada rakit dalam kondisi berbeda. Hungtang Ko berhipotesis bahwa kepekaan semut terhadap perubahan sekecil apapun mungkin ada hubungannya dengan bagaimana semut memandang lingkungan mereka.
ARSTECHNICA | GEORGIA INSTITUTE OF TECHNOLOGY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini