AKRI menantang Hansip yang bersiap membasmi kebun jeruknya.
"Silakan tebang sampai habis," katanya. Kebun milik Akri begitu
bagus berbuah lebat. Tak ada tanda-tanda penyakit. Akhirnya
Hansip tertegun, dan mundur, walaupun ada perintah atasan supaya
semua pohon jeruk segera ditebang.
Kejadian setahun lalu itu diceritakan kembali oleh Akri dari
Desa Sadang, Kecamatan Wanaraja. Kebun jeruk milik Akri, seluas
790 tumbak (1 tumbak - 14 m2), memang menyolok. Sudah 550 dari
semua 800 pohonnya yang berbuah. Ada jeruk Garut, jeruk Siam,
bahkan ada pula jeruk licin asal Cina.
Akri mendapat penghasilan sedikitnya Rp 2 juta tiap bulan dari
kebun jeruknya. Dia bersyukur bahwa Hansip tak membasmi kebunnya
setahun lalu. Dan Dinas Pertanian tampaknya kini pun merelakan
kehadiran kebun milik Akri, walaupun lingkungan itu di Kabupaten
Garut, Ja-Bar, masih terbilang endemis.
Berbeda dengan pendapat Dinas Pertanian, Akri mengatakan pada
TEMPO pekan lalu, "Jeruk di Garut rusak bukan karena CVPD, tapi
karena kurang makan." Dia memberikan "makanan" secukupnya pada
kebunnya.
"Memelihara pohon jeruk harus sama seperti membesarkan anak,"
kata Akri lagi. "Kalau makanannya baik, penyakit juga menjauh."
Dia rupanya memakai pupuk kandang (kotoran kuda dan domba) untuk
menyehatkan kebunnya, paling sedikit sekali dalam 5 bulan.
"Kotoran kuda membuat tanah jadi hangat," katanya. Juga
dipakainya kapur dan pupuk kimia.
Dalam musim kemarau, Akri memakai obat berupa Supracide,
Antracol dan Sanlopor masing-masing 2 sendok makan yang dicampur
dengan 17 liter air. Dia menyiramkan obat itu tiap 10 hari ke
kebunnya. Bila musim hujan tiba, ia mengobat kebunnya dengan
Bayrusil, Sanlopor dan Kocravit -- juga dengan campuran yang
sama.
Cara Akri itu di luar kebiasaan yang dianjurkan Dinas Pertanian.
Namun Akri ternyata berhasil membuat kebunnya kebal penyakit,
malah bisa berbuah tanpa musim.
Kebun jeruk milik Akri sudah kelihatan hijau dari jauh. Buahnya
besar-besar, dan lebat. Padahal di sekelilingnya terdapat kebun
lain yang merana, dengan daun yang menguning dan melinting.
Toh kebun Akri masih bisa terancam penyakit. Bila daunnya yang
terkena, ia buang saja daunnya yang regas itu. Kalau masih ada
kelainan, ia memotong pohonnya. Tanah bekas pohon yang terkena
penyakit, ia bongkar dan dibiarkannya terkena sinar matahari
selama dua minggu. Selanjutnya tanah itu ia beri pupuk kandang
sebanyak 40 kg. Dua bulan kemudian, setelah ditaburi pupuk NPK,
barula4 benih ia tanam. Hasilnya? "Wah jitu," kata Akri sambil
mengacungkan jempolnya.
Tapi belum semua petani jeruk di daerah itu memakai metode Akri.
"Cara Pak Akri memerlukan biaya yang cukup besar," kata Sumia,
petani lainnya di Desa Sadang. Sumia pernah terpaksa membongkar
dua hektar kebun jeruknya karena terserang penyakit. Bekas
kebunnya kini menjadi sawah. "Suatu ketika, saya juga akan
kembali jadi petani jeruk," katanya.
Akri memang mewah dalam merawat kebun, kata anaknya, Ahun, yang
juga berkebun jeruk. Dia dan ayahnya memakai takaran obat,
katanya, berdasarkan coba-coba saja. "Bila obat terlalu banyak,
pohon bisa mati. Bila terlalu sedikit, pohon mudah terkena
penyakit." Tapi Ahun punya nasihat khas tentang pupuk kimia,
supaya dipakai sedikit saja. "Anggap saja itu sebagai
ajinomoto alias penyedap makanan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini