SUDAH dua instruksi gubernur (tahun 1974 dan 1981) pada bupati
di seluruh Ja-Bar Pohon jeruk yang terkena penyakit supaya
ditebang saja. Penyakit itu diduga menular ke sedikitnya 4,8
juta, atau lebih 25% dari semua 16 juta pohon jeruk di provinsi
itu.
Dinas Pertanian Ja-Bar hampir tak berdaya membasminya, sementara
rencana iradikasi (penebangan) tersendat-sendat. Ketika dinas
itu (akhir 1980) merencanakan iradikasi terhadap lebih 3,5 juta
pohon, misalnya, tak sampai 10% yang terlaksana kemudian.
Yang paling parah terkena penyakit ialah kebun jeruk di
Kabupaten Garut. Rencana penebangan terutama diarahkan ke situ.
Berkali-kali hampir terjadi bentrokan ketika Hansip mendatangi
kebun jeruk milik penduduk. Hansip biasanya membawa ingub
(instruksi gubernur), tapi adakalanya kebun jeruk yang hendak
dibabat belum tentu berpenyakit. Petani Akri, misalnya,
menantang (lihat Pohon Jeruk Seperti Anak).
Perintah penebangan itu berdasarkan pendapat bahwa pohon jeruk
antara lain terkena virus CVPD yang menular. CVPD (Citrus Vein
P1loem Degeneration), yang belum diketahui asal mulanya,
ditemui oleh Prof. Dr. Soelaiman Tirtawidjaja dalam tahun
1960-an di beberapa tempat di Jawa. Gurubesar dari Unpad itu
menduga CVPD sudah berjangkit di Garut sejak 1962. Ciri-cirinya
ialah daun menguning, dan melinting. Ada yang tinggal ranting
saja tanpa daun. Dan dari beberapa bagian batang pohon tampak
keluar cairan yang agak kental. Penyebaran bakteri CVPD terjadi
melalui serangga yang hinggap di cairan itu.
Dan Dinas Pertanian Ja-Bar rupanya yakin bahwa 54% dari semua
4,8 juta pohon jeruk yang ada di Kabupaten Garut saja terserang
oleh virus CVPD. Kepala dinas itu, Ir. R. Sutama Wr, mengatakan
cara membasminya yang paling efektif ialah dengan memusnahkan
tanaman di daerah endemis, terkena penyakit, dan tanahnya tidak
boleh ditanami pohon jeruk lagi selama dua tahun.
Kalau bukan cara iradikasi, menurut Dr. Soelaiman, pembasmian
penyakit bisa juga dengan menggunakan infus oxytetracycline,
terutama bila ternyata penyakit itu mengandung bakteri yang
sangat kecil. Dengan infus itu diduga bakteri akan tidak aktif,
walaupun belum pasti mati semua.
Harga satu infus Rp 5.000 -- terlalu mahal bagi sebagian besar
petani. Dan tidak praktis. Infus mungkin bisa digunakan, kata
seorang petani, untuk beberapa pohon di halaman. Jadi iradikasi
mungkin tak bisa dihindari. Persoalan ialah kebun jeruk cukup
menguntungkan petani. Satu hektar kebun jeruk waktu berbuah
ketiga kali saja, menurut taksiran Ir. Sutama, sudah
menghasilkan Rp 10 juta sampai Rp 14 juta.
Untuk penanaman kembali, Dinas Pertanian menyediakan benih jeruk
secara cuma-cuma untuk petani. Dinas itu, misalnya, punya kebun
bibit di Desa Sadang, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut.
Kebetulan desa itu termasuk dalam daerah endemis, tempat
penduduk tidak boleh menyebarkan benih jeruk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini