Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Diskusi, tanpa kebulatan

Pengarang: gunawan mohamad jakarta: grafiti pers, 1982 resensi oleh: aswab mahasin. (bk)

24 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CATATAN PINGGIR Kumpulan tulisan Goenawan Mohamad dimajalah TEMPO. Pemilahan subyek dan Pengantar: Th. Sumartana. Penerbit: Grafiti Pers, Jakarta 1982. Cetakan pertama, 625 halaman. YANG segera terasa ketika membaca Catatan Pinggir adalah gayanya yang menghanyutkan. Kalau tidak dimulai dengan pertanyaan yang mengusik, sering dibuka dengan pernyataan yang menggelitik. Adakalanya: "Siapa mencintai Togog?" Pertanyaan yang aneh. Tapi justru karena itu kita memintanya terus bicara. Terkadang dia seperti mau bicara hebat: "Imperialisme tidak mati karena Sir Anthony Eden wafat." Kita tahu. Tapi apa maksudnya? Dan kita jadi kepingin mengikuti. Begitulah kalimatnya meliuk-liuk, kadang-kadang panjang, lalu tiba-tiba berhenti, pendek. Acapkali ia juga menjengkelkan. Kita ditinggalkannya dalam keadaan bengong: apa maksudnya? Tapi ia sudah selesai, dan tak berkata apa-apa. Terkadang ia sengaja melecehkan kita. Sesudah terbuai oleh perdebatan antara Khumaini dan Bakhtiar, yang dituturkan seakan perdebatan besar antara dua tokoh revolusi Iran, kita tiba-tiba diberitahu bahwa Khumaini mau pulang ke Rangkasbitung. Bakhtiar ternyata doktorandus, dan mungkin sekali orang Padang. Kita jadi kepingin mengumpat. Namun setelah terhimpun 283 catatan demikian, sosoknya jadi lebih jelas. Dalam percikan pikiran dan ilustrasi yang bukan main banyak dan luasnya itu, ia pengin omong tentang gagasan-gagasan. Kalaupun hadir tokoh dalam perbincangan itu, mereka hanyalah lambang dari suatu gagasan. Togog barangkali melambangkan rakyat kecil yang berani tidak patuh -- "saksi sejarah yang dikecewakan oleh dinasti demi dinasti." Anthony Eden dan Nasser dimintanya hadir untuk mewakili "rasa angkuh sisa-sisa imperialisme" dan "keresahan nasionalisme". Nasser hadir lagi bersama Raja Farouk, untuk melambangkan sikap menahan diri dari seorang pemenang, seperti ketika ia berkisah tentang Jenderal MacArthur yang dikaitkannya dengan gagasan Jawa, menang tanpa ngasorake (merendahkan -- Red.) Dalam hal ini, Catatan Pinggir kalau perlu mempertemukan berbagai tokoh dari zaman yang berbeda, dari negeri yang berlainan. Hatta, Li Shaoqi, Mehdi Bazargan dan Bani Sadr dihadirkannya sekaligus untuk mewakili gagasan tentang moderasi di tengah revolusi. Tokoh-tokoh itu malah bisa rekaan semata-mata: beberapa mungkin tak pernah ada. Asal-usul, macam dan ragamnya, boleh dibilang tak terbatas. Ada presiden, ada jenderal, menteri, darwisy, babu, sopir. Ada penjahat, ada tokoh revolusioner romantik. Tokoh hanyalah media -- atau sekumpulan nada yang ia susun semaunya, bersama instrumen lain dalam suatu orkestra gagasan-gagasan. Karena itu pemilahan mereka dalam bab 'Tokoh' mungkin tak perlu. Jarang sekali catatan itu bicara tentang tokoh. Namun ini bukan hanya sekedar gaya bercerita. Di sana-sini mcmang tampak sikap. Catatan Pinggir yang enggan memuja pahlawan. Pahlawan sering hanya dilihat sebagai pertanda. Yang dipujanya adalah "perbuatan-perbuatan besar, " bukan orang-orang besar. Tidak berarti tak ada tokoh yang berkedudukan istimewa. Kalau ditilik dari berapa kali mereka hadir saja, kita bisa sampai pada urutan yang aneh. Kalau indeks catatan itu benar, tokoh yang paling sering hadir adalah Mao Zedong (28 kali), menyusul Soekarno (21 kali) lantas Ayatullah Khomeini (19 kali). Setelah mereka baru menyusul Syah Iran dan Jimmy Carter (14 dan 13), lantas Hatta (11) dan Gandhi (8). Walaupun catatan itu boleh dibilang berbincang tentang apa saja, ada tema yang paling sering diomongkannya: kekuasaan. Barangkali itulah sebabnya tokoh-tokoh yang paling banyak terlibat dalam penggunaan kekuasaan paling sering dihadirkannya. Dan kalau tema kumpulan catatan itu ditentukan menurut masalah yang diketengahkannya, mungkin tema kekuasaan akan mengambil lebih dari separuh. Kekuasaan menggelisahkannya. Membuatnya cemas. Nyaris menjadi setan. "Kekuasaan besar tak menyelamatkan rohani. Ia adalah ujian setan bagi orang yang berada di singgasananya." Dan seperti setan, ia ada di mana-mana. Kutipan itu berasal dari perbincangan tentang minyak, tapi kekuasaan ada juga di tangan pendiri gereja baru yang mengalahkan walikota. Tentu ia ada pada paus yang membuat Galileo menyerah. Ia ada di Timur, ada di Barat. Ada di kanan, kiri, juga di tengah. Dan semuanya memiliki kecenderungan sewenang-wenang. Kisah-kisahnya tentang kekuasaan senantiasa diliputi bayangan seram. Ada darwisy yang dicambuki sultan. Ala pangeran yang istrinya direbut dan masih harus dipancung pula. Ada jenderal pemenang perang yang disuruh minum racun karena dituduh berkomplot. Ada istri Mao yang melihat pedang dan darah sebagai lambang kekuasaan. Ada bangsa yang nyaris punah, dan seseorang bergumam: "Kita bukan lagi manusia." Memang di sana-sini ia bicara tentang kelemahan manusia. Tentang hasrat menguasai orang lain, ketika kekuasaan salah landasan. Tapi juga karena keyakinan tentang kelemahan manusia, kekuasaan sering digunakan untuk menyempurnakannya. Ketika dosa dirasakan sudah terlalu banyak, pembersihan diperlukan. Kekuasaan pun jadi alat mengawasi, meneliti, mengusut, dan bila perlu memusnahkan. Terhadap kekuasaan serupa ini ia mengajukan kritik, yang bukan hanya 'les privat' tetapi milik sosial. Ia menawarkan diskusi: berkisah tentang Fuhrer yang sendirian, dan betapa rapuh pemerintahannya. Tentang sultan di Timur Tengah, yang tak bisa hidup hanya dengan mereka yang takut. Atau tentang raja di planet kecil yang "tak bisa bertahta hanya bagi langit yang bungkam." Ia mengajukan demokrasi, penerimaan keanekaragaman, dan ketakmungkinan kekuasaan memonopoli segala-galanya. Ada semacam hukum dalam setiap kekuasaan -- katanya. Betapa pun hebatnya kekuasaan, ia tetap membutuhkan orang lain yang bebas. Catatan Pinggir tampaknya mau menjadi orang lain yang bebas itu. Bukan sebagai musuh, tapi sebagai lawan. Dan kata lawan berarti "peneguhan, bukan peniadaan kehadiran pihak lain." Tak jelas benar apa jadinya jika kekuasaan menolak semua itu. Kita tak diberitahu pasti, apakah itu berarti kekuasaan sedang menyiapkan peti matinya sendiri. Atau barangkali sebuah revolusi sedang menanti. Tapi catatan itu begitu yakin, buku-buku tak memulai revolusi seperti juga ideologi bukan satu-satunya sebab revolusi. Di pinggir agaknya memang tak bisa dibuat catatan-catatan serupa itu. Barangkali yang kita nantikan adalah pahlawan-pahlawan yang sanggup berkata 'tidak' ketika angin bertiup kencang. Seperti kita baca dalam tamsil Togog, atau Semar, atau Imam Abu Hanifah, atau Sartre, yang berkata 'tidak' dengan cara yang besar, dan setiap 'tidak' mengandung drama. Mungkin kekuasaan tidak akan menggubris. Tapi orang lain yang mendengarnya mungkin akan tergugah. Maka yang terjadi adalah peneguhan sikap berkata tidak, walau tak didengar oleh kekuasaan. Bukankah marginalia hanya berfungsi mengingatkan? MANUSIA dalam gambaran Catatan Pinggir memiliki banyak sudut lemah. Itulah sebabnya pertemuannya dengan kekuasaan besar jadi mencemaskan. Tetapi ia tak boleh terlalu direndahkan, dan diletakkan dalam pengawasan terus-menerus. Ada catatan tentang kebaikan manusia yang sering lebih besar dari yang disangka orang. Catatan Pinggir agaknya memang bertolak dari kenisbian. Bahkan kebenaran nisbi sifatnya. Bukan sejauh pengertian sophisme -- bahwa tak ada kebenaran tapi bahwa ia tak pernah bulat. Begitulah Catatan Pinggir sering enggan terhadap kebulatan dalam banyak hal. Jarak yang dekat dengan totalitarianisme membuatnya curiga. Walau mengakui dahsyatnya nasionalisme, ia menolak lenyapnya individu menjadi "eksemplar dari sebuah kaum yang seragam". Ia curiga kepada para true believers, cemas terhadap iman sosial yang bulat. Ia melecehkan sikap radikal sebagai sekedar 'cap yang gagah', yang memang menarik tetapi terletak agak berjauhan dari kebenaran. Sikap moderat boleh jadi kurang jantan, hambar, tapi katanya lebih dekat pada kebenaran. Catatan Pinggir juga tidak mau bulat ketika sudah berlama-lama mengajak kita diskusi. Kita memang dibawanya kepada eksperimen yang kadang-kadang kejam dan bengis, tapi ia tak memberikan bimbingan mana yang harus dipilih. Barangkali ia sendiri masih bertanya-tanya. Tapi diskusi itu? Bukankah sudah begitu meletihkan? Ia mengajak kita "surut sejenak dari pendirian yang tegas," untuk sebuah renungan kembali. Tanpa menjanjikan kebulatan terkadang malah mengacau-ngacaukannya, hingga apa yang rasanya hampir bulat jadi pudar kembali. Suka atau tidak, begitulah adatnya. Ia mengajak kita dalam pencarian, kadang begitu jauh, tanpa titik final. Bukankah kebulatan bisa berarti titik final? Aswab Mahasin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus