Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Praktik Khas Kolonialisme di Perkebunan Sawit Indonesia, Ini 6 Cirinya Menurut TPOLS

Jaringan Solidaritas Transnasional Buruh Sawit mengurai kumpulan kasus seputar buruh perkebunan sawit yang terjadi sepanjang 2024.

27 Desember 2024 | 14.26 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto udara kendaraan melintas di Jalan Lintas Sungai Bahar yang berada di tengah perkebunan kelapa sawit Desa Berkah, Muaro Jambi, Jambi, 20 November 2024. ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Solidaritas Transnasional Buruh Sawit (TPOLS) membeberkan enam ciri khas industri perkebunan sawit yang merusak. Keenam ciri relevan dengan kumpulan kasus seputar buruh perkebunan sawit yang terjadi sepanjang 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koordinator TPOLS, Rizal Assalam, mengurai ciri-ciri itu adalah, yang pertama, kondisi kerja buruk karena upah rendah. Kedua, eksploitasi berdasarkan gender dan kondisi kerja mematikan. Ketiga adalah cacat sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan proses audit yang dimanipulasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ciri keempat adalah ekspansi perkebunan sawit, pertanian kontrak/plasma, dan konflik tanah. Kelima, penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat keamanan. Terakhir, ketidakbebasan berserikat dan pemberangusan serikat.

Rizal menilai berbagai struktur khas kolonialisme masih ditemui di perkebunan sawit di Indonesia saat ini. "Seperti Afdeling atau Komidel yang masih menjadi bagian dari keseharian masyarakat kebun. Walaupun industri ini sudah ratusan tahun lamanya, kondisi buruh perkebunan sawit masih jauh dari ideal," katanya dalam konferensi pers daring, Jumat, 27 Desember 2024. 

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Damar Panca, mengatakan tidak adanya perlindungan terhadap buruh perkebunan sawit diakibatkan oleh regulasi nasional yang buruk. Dan UU Cipta Kerja, disebutnya, telah memperkokoh praktik eksploitatif di perkebunan.

"UU Cipta Kerja memberikan landasan hukum yang membenarkan perekrutan buruh kasual atau musiman dengan upah satuan hasil dan satuan hari kerja,” ujar Damar menerangkan.

Selain regulasi nasional, upaya perlindungan dari regulasi internasional juga mendapat sorotan dari Uli Arta Siagian dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Menurut Uli, Regulasi Uni Eropa tentang Anti Deforestasi (EUDR) dan Arahan Kewajiban Uji Tuntas Keberlanjutan Perusahaan (CSDDD) yang diterapkan beberapa tahun ke depan memunculkan pertanyaan tentang dampak dan mekanisme terhadap perlindungan buruh.

Uli mengungkapkan, pertemuan jaringan TPOLS dengan perwakilan dari Uni Eropa awal Desember lalu menegaskan bahwa regulasi internasional perlu memiliki akses terhadap keadilan yang bisa diakses oleh serikat buruh. Alasannya, "Penyerahan aspek perlindungan buruh kepada peraturan nasional tidak akan efektif ketika peraturan nasionalnya tidak berpihak pada buruh."

Adanya kekosongan hukum ini juga mendapat perhatian perwakilan Sawit Watch, Hotler Parsaoran. Ia menggarisbawahi bagaimana Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang digunakan saat ini kurang representatif untuk melindungi buruh perkebunan sawit.

Menurutnya, lanskap dan kondisi kerja di perkebunan sawit cenderung berbeda dibandingkan industri sektor manufaktur. Hal ini bisa dilihat dari kebutuhan kalori yang jauh lebih tinggi, dan penerapan beban kerja yang didasarkan pada tiga hal: target tonase, target luas lahan, dan target jam kerja.

"Masalah-masalah dasar seperti hubungan kerja, K3, sanitasi, air bersih yang cukup, fasilitas kesehatan tidak disediakan dengan layak oleh perusahaan," kata dia.

Hotler menyebutkan telah ada upaya mendorong Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit. Ia menegaskan RUU ini perlu masuk dalam prolegnas prioritas. "Perlu transisi yang adil dalam industri sawit, yang menyasar corak produksi eksploitatif," kata dia.

Irsyan Hasyim

Irsyan Hasyim

Menulis isu olahraga, lingkungan, perkotaan, dan hukum. Kini pengurus di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, organisasi jurnalis Indonesia yang fokus memperjuangkan kebebasan pers.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus