Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Jalur Hijau ke Pasar Eropa

Regulasi Uni Eropa tentang Rantai Pasok Bebas Deforestasi berlaku mulai Mei. Tak ada lagi jalur hijau untuk kayu Indonesia.

19 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Regulasi Uni Eropa tentang Rantai Pasok Komoditas Bebas Deforestasi akan berlaku pada Mei-Juni mendatang.

  • Kayu dan produk kayu Indonesia yang sebelumnya telah mendapatkan lisensi FLEGT tidak lagi masuk.

  • Minyak kelapa sawit yang juga berlisensi ISPO dan RSPO harus menjalani uji tuntas.

HOTEL Ciputra, Jakarta Barat, pada 24 Januari lalu, menjadi tempat bertemunya pakar bersama Indonesia dan Uni Eropa tentang Perjanjian Kemitraan Sukarela-Penegakan Hukum, Penatakelolaan, dan Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT-VPA). Pertemuan rutin itu berselang tujuh pekan setelah pengesahan Regulasi Uni Eropa tentang Rantai Pasok Bebas Deforestasi (EUDFSC). Aturan baru yang mulai berlaku Mei-Juni nanti itu mewajibkan tujuh komoditas yang beredar di pasar Uni Eropa, termasuk kayu dan minyak kelapa sawit, bebas dari deforestasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rapat joint expert meeting itu menjadi kesempatan Indonesia menagih komitmen Uni Eropa atas FLEGT-VPA yang ditandatangani pada 30 September 2013. Menurut perjanjian yang berlaku efektif sejak 1 Mei 2014 itu, sertifikat legalitas kayu Indonesia melalui Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) setara dengan lisensi FLEGT. Artinya, produk kayu Indonesia masuk pasar Uni Eropa tanpa hambatan alias masuk “jalur hijau” berdasarkan Regulasi Kayu Uni Eropa (EUTR). Namun regulasi baru membuat kayu Indonesia terkena pemeriksaan uji tuntas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto, yang ikut dalam pertemuan, mengatakan Indonesia menyampaikan tuntutan agar produk yang telah mengikuti FLEGT mendapat insentif pasar yang lebih dari negara lain yang tidak mengikuti FLEGT. Menurut dia, delegasi Eropa menyebutkan, produk-produk bersertifikat SVLK tetap mengikuti uji tuntas tapi masuk kategori “risiko rendah”. "Janji itu perlu dibuktikan dalam implementasi EUDFSC," kata Agus melalui jawaban tertulis, Rabu, 8 Maret lalu.

Agus mengakui, dalam berbagai pertemuan baik bilateral maupun multilateral sebelumnya, Uni Eropa tak pernah secara khusus menyampaikan kategori deforestasi Indonesia ke tingkat risiko rendah. Menurut Agus, meski begitu, KLHK memiliki data yang valid ihwal keberhasilan Indonesia menurunkan deforestasi sebesar 75,03 persen selama 2019-2020. “Berdasarkan Data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, terdapat penurunan deforestasi pada angka 115,46 ribu hektare dibanding periode 2018-2019 yang sebesar 462,46 ribu hektare,” tuturnya.

Mengenai kategorisasi deforestasi, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket, mengatakan pihaknya pada tahap awal memasukkan Indonesia dan negara lain dalam risiko standar. Ia mengatakan mulai tahun ini sampai akhir 2024 bakal dilakukan kategorisasi risiko deforestasi menggunakan sistem aplikasi yang dikembangkan Uni Eropa. “Kriteria obyektif akan dikembangkan, terutama laju deforestasi dan perluasan lahan pertanian untuk komoditas. Perubahan kategorisasi risiko akan dilakukan melalui konsultasi dengan negara terkait," kata Vincent Piket.

Kelapa sawit hasil panen di Desa Pucok Lueng, Samatiga, Aceh Barat, Aceh, 4 Februari 2023/Antara/ Syifa Yulinnas.

Ke depannya, Piket menerangkan, negara yang memiliki kategori risiko tinggi deforestasi tetap dapat mengekspor komoditas ke Uni Eropa. Ia mengatakan tidak ada larangan untuk semua komoditas jika importir yang berbasis di Uni Eropa dapat menunjukkan bahwa komoditas tersebut bebas deforestasi dan legal. "Ini berlaku sama untuk produk yang diproduksi di Uni Eropa ataupun yang diimpor dari luar. Jadi tidak ada diskriminasi," tutur Piket saat berkunjung ke kantor redaksi Tempo, Kamis, 16 Februari lalu.

Piket mengatakan dalam kesempatan pertemuan dengan Indonesia pihaknya mensosialisasi aturan baru mengenai komoditas bebas deforestasi dan degradasi hutan ini. Hal yang dibicarakan, kata Piket, di antaranya definisi deforestasi dan skema bagi petani sawit swadaya sehubungan dengan pemberlakuan EUDFSC. Namun Agus Justianto menampiknya. "Pertemuan JEM (joint expert meeting) tidak membahas definisi deforestasi dan skema bagi petani sawit swadaya," dia mengungkapkan. 

Menurut Agus, yang dibicarakan dalam pertemuan pakar bersama itu salah satunya evaluasi pelaksanaan Rencana Aksi 2022 FLEGT-VPA. Selain itu, Agus menyebutkan, terdapat sesi penyampaian progres pelaksanaan FLEGT di Eropa melalui Independent Market Monitoring serta upaya membangun komunikasi dan kesadaran tentang FLEGT-VPA antara Indonesia dan Uni Eropa, terutama penerapan Article 13 (insentif pasar). "Ada juga pertukaran informasi pembaruan peraturan dari kedua belah pihak," ujar Agus. 

Delegasi Indonesia, kata Agus, menyampaikan pembaruan peraturan, yaitu Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.9895 Tahun 2022 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian. Aturan itu terbit pada 14 Desember 2022 atau sepekan lebih sehari setelah EUDFSC disahkan. Menurut Agus, perubahan ini dilakukan untuk lebih menekankan aspek kelestarian yang terdapat dalam SVLK. Dalam peraturan baru ini, hasil hutan bukan kayu (HHBK), yang selama ini di luar lingkup SVLK, menjadi bagian dari sistem ini.

Meski begitu, belum ada mekanisme dan alur yang lebih detail untuk mengimplementasikan SVLK bagi komoditas HHBK dalam aturan terbaru tersebut. "Saat ini kriteria dan indikator untuk komoditas HHBK masih dalam proses penyusunan standar dan pedoman agar HHBK tersebut dapat diterima pasar, dengan mekanisme yang lebih simpel, murah, dan terjamin kredibilitasnya," tuturnya. "Rancangan awal, SVLK HHBK jauh lebih ringan dalam segi biaya dan teknis pelaksanaannya dibandingkan dengan penelusuran kayu," ujar Agus.

Hal lain yang berkaitan dengan HHBK dan deforestasi adalah penerapan Sistem Jangka Benah sebagai solusi menyelesaikan perkebunan kelapa sawit yang telanjur berada di kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan, kebun sawit di kawasan hutan yang ilegal bisa diampuni dengan pembayaran denda dan setelah itu dihutankan kembali dengan agroforestri.

Piket mengatakan Uni Eropa belum mempelajari Sistem Jangka Benah secara rinci, tapi memahami tujuan dari sistem ini adalah mengembalikan kebun sawit di kawasan hutan dengan memasukkan spesies pohon hutan di antara sawit. Menurut Piket, EUDFSC menyebutkan, sejalan dengan definisi Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), sistem agroforestri, agrisilvikultur, silvopastoral, dan agrosilvopastoral tidak boleh dianggap sebagai hutan. "Ini berarti bahwa Sistem Jangka Benah kemungkinan besar akan dianggap sebagai agroforestri atau perkebunan pertanian dan bukan hutan," katanya. 

Selama Jangka Benah tidak menggantikan hutan, menurut Piket, produk yang berasal dari Sistem Jangka Benah, termasuk kayu dan minyak kelapa sawit, kemungkinan besar akan memenuhi regulasi Uni Eropa. “Namun harus dipastikan bahwa tidak ada masalah penguasaan lahan di wilayah Jangka Benah, yang akan mengganggu persyaratan legalitas dalam EUDFSC,” kata Piket melalui jawaban tertulis, Selasa, 14 Maret lalu.

Juru Kampanye Hutan dari Kaoem Telapak, Abil Achmad Akbar, mengatakan Indonesia dan Uni Eropa mengadakan pertemuan Komite Implementasi Bersama (JIC) FLEGT-VPA pada Senin, 13 Maret lalu, tapi tidak menelurkan output atau kesepakatan yang signifikan. "Kami sebetulnya berharap pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk menyusun peta jalan perjanjian FLEGT-VPA ketika EUDFSC ini diberlakukan penuh paling lambat pada 2025,” kata Abil, Kamis, 16 Maret lalu. 

Semestinya, ujar Abil, dalam pertemuan tersebut ada pembahasan tentang analisis dampak peraturan tersebut terhadap pelaksanaan SVLK dan FLEGT-VPA di Indonesia serta bentuk insentif apa yang akan diberikan ketika lisensi FLEGT tidak lagi mendapat “jalur hijau” untuk masuk pasar Uni Eropa. Klaim bahwa kayu-kayu yang bersertifikat SVLK akan masuk ke dalam kategori "risiko rendah", menurut dia, tidak serta-merta dijamin oleh Uni Eropa. Hal ini telah disampaikan delegasi Uni Eropa pada pertemuan JIC awal pekan lalu itu. 

Peneliti Independent Forest Monitoring Fund, Deden Pramudyana, mengatakan pemerintah telah melakukan perubahan standar dan pedoman pelaksanaan SVLK yang mengakomodasi peningkatan kredibilitas, transparansi, dan ketertelusuran verifier dengan memanfaatkan teknologi informasi dan geolokasi. Namun, kata Deden, isu transparansi masih menjadi kendala bagi pemantau independen dalam menjalankan pemantauan. “Untuk mendapatkan data peredaran kayu sangat sulit, karena sistem yang ada seperti SIPUHH (Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan) belum terbuka sepenuhnya," katanya, Rabu, 15 Maret lalu. 

Selain itu, tutur Deden, perlu pengawasan dan kontrol yang ketat sehingga penyimpangan dan pelanggaran di lapangan bisa diatasi. Menurut Deden, lembaga sertifikasi seharusnya menjadikan aspek sosial dan ekologi sebagai penilaian mayor untuk menjawab aspek kelestarian. “Ketika ditemukan pelanggaran di lapangan seharusnya lembaga sertifikasi bisa memberikan peringatan berupa pembekuan ataupun pencabutan sertifikasi, agar perusahaan serius memperbaiki kinerjanya,” ucapnya.

Selain itu, kata Deden, lembaga sertifikasi harus meningkatkan transparansi dalam pelaksanaan SVLK, termasuk penanganan laporan ketidaksesuaian dan penindakannya agar bisa diakses publik. Menurut dia, pemerintah harus melakukan penegakan hukum dengan menyertakan sanksi tegas agar pelanggaran yang sama dapat dicegah dan tak terulang. "Sanksi pembekuan sertifikat harus ditindaklanjuti pencabutan sertifikat, dan selanjutnya pencabutan izin operasi,” katanya. ”Supaya tak ada peredaran kayu yang dihasilkan oleh pemilik izin yang bermasalah secara hukum.”

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Gulat Medali Emas Manurung mengatakan EUDFSC sebenarnya bukan isu baru. “Ini hanya daur ulang karena sejak 20 tahun lalu sudah menjadi 'mainan' Uni Eropa,” katanya. Gulat menambahkan, aturan pengetatan ini bertujuan mengganggu minyak sawit dan melindungi petani tanaman penghasil minyak nabati seperti kedelai, rapeseed, dan biji bunga matahari di negara-negara Benua Biru. 

Menurut Gulat, peraturan Uni Eropa selalu berubah-ubah. “Ketika kami petani sawit berfokus dengan regulasi yang mereka buat, enggak lama muncul lagi regulasi yang baru,” tuturnya. "Uni Eropa tidak menghargai upaya serius Indonesia untuk menjaga keberlanjutan kami, petani sawit," katanya. Sesungguhnya, Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), kata Gulat, lebih ketat dibanding EUDFSC. “Tapi karena bukan produk regulasi Uni Eropa, ISPO dan RSPO, tidak diterapkan," ujarnya.

IRSYAN HASYIM
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus