Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ada tren pekerja kantoran dan profesional yang mengikuti kelas atau kursus filsafat.
Peserta kursus filsafat berasal dari berbagai latar belakang.
Mereka belajar filsafat untuk mendalami makna dan hakikat profesi.
DI ruang virtual Microsoft Teams, suasana diskusi daring sekitar 100 peserta kursus filsafat dengan F. Budi Hardiman terasa begitu hidup pada Senin, 13 Maret lalu. Malam itu, mereka sedang mendiskusikan pandangan Georg Simmel, filsuf asal Jerman, tentang profesi perancang busana dan pialang saham.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Topik pemikiran Simmel dengan pengampu doktor filsafat Budi Hardiman itu merupakan salah satu materi yang dibawakan dalam Extension Course Filsafat, kursus filsafat untuk para profesional, yang digelar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta. Kursus filsafat yang berlangsung sejak 2013 itu diikuti peserta dari berbagai profesi, dari pegawai pemasaran, guru, dosen, bankir, hingga dokter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dito Anurogo, 39 tahun, salah satu peserta kursus filsafat tersebut, mengatakan tertarik belajar filsafat karena ingin mendalami hakikat profesinya di bidang kesehatan. Menurut Dito, filsafat membuat dia bisa lebih kritis mendalami ilmu kesehatan dan kedokteran. Filsafat juga merangsang keingintahuan Dito dalam meriset ilmu yang digelutinya.
Dito menambahkan, filsafat adalah induk segala cabang ilmu, termasuk ilmu kesehatan dan kedokteran. “Sehingga saya lebih mudah mempelajari ilmu kesehatan dan kedokteran dengan mempelajari filsafat,” kata mahasiswa doktoral bidang kedokteran regeneratif terapi sel di Universitas Kedokteran Taipei, Taiwan, itu melalui sambungan telepon, Rabu, 15 Maret lalu.
Sejak 2020, Dito aktif mengikuti kursus filsafat di STF Driyarkara. Ia sangat tertarik mempelajari materi “Epikuros untuk Konsultan Diet”. Menurut dia, Epikuros dikenal karena pemikirannya tentang kebahagiaan untuk mencapai kenikmatan dan menghindari penderitaan.
Pandangan filsuf Epikuros itu, kata Dito, memiliki implikasi mendalam pada konsep kesehatan, terutama dalam konteks konsultasi diet. Pemikiran Epikuros tentang konsultasi diet tersebut diterapkan melalui edukasi, evaluasi, personalisasi, moderasi, fokus pada kualitas, sosial, dan emosional.
Dito menjelaskan, dengan prinsip pendekatan diet yang seimbang, bijaksana, dan personal, para konsultan diet dapat membantu individu menemukan kebahagiaan dan kesehatan melalui gaya hidup. “Tentu gaya hidup itu harus diatur dengan baik dan penuh makna,” ujarnya.
"Epikuros mengajarkan bahwa kebahagiaan tertinggi dapat ditemukan melalui kenikmatan sederhana. Seperti mengkonsumsi makanan lezat, tapi sehat, dan hubungan harmonis dengan sesama," tutur dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah, Makassar, ini.
Pemikiran Epikuros juga menarik perhatian peserta kursus filsafat lain, Finny Samantha. Seperti halnya Dito Anurogo, guru musik ini tertarik mempelajari pemikiran Epikuros karena mengajarkan cara menjaga asupan gizi pada tubuh dan merawat relasi sosial yang harmonis. Menurut dia, bahan ajar bertema "Epikuros untuk Konsultan Diet” itu mengajarkan pola hidup sehat lahir dan batin.
Dito Anurogo, peserta kursus filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta/Dokumentasi Pribadi
Ketertarikan Finny pada filsafat berawal dari buku Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini. “Buku Filosofi Teras itu membantu saya berkenalan dengan filsafat," ucap perempuan yang tengah mendalami pendidikan musik di Universitas Negeri Jakarta ini.
Finny menjelaskan, belajar filsafat sangat membantu dirinya bisa berpikir secara logis serta merangsang cara berpikir lebih kritis. “Hal-hal kritis itu yang dibina dan dipupuk dari kebiasaan berfilsafat," kata perempuan 30 tahun ini. “Cara berpikir kritis dan logis dapat diterapkan di semua cabang ilmu."
Filsafat juga sangat membantu Finny menjawab pertanyaan dalam diskusi dengan logis, sistematis, dan terstruktur. Pengaplikasian ilmu filsafat, Finny menjelaskan, bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari dan di kampus.
Kegandrungan Finny terhadap filsafat makin meningkat karena ilmu tersebut juga mengajarkan manusia menjalani hidup lebih bermakna. Manusia juga diajarkan memahami agama dengan rasional. "Dasar-dasar dari ilmu filsafat yang saya dapatkan itu berguna dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat," ucap Finny.
Yudhi Ariadi, 52 tahun, menganggap filsafat penting dipelajari. Karena itu, pria yang kini menjadi dosen teknik mesin di University of Warwick, Inggris, ini tertarik meneruskan minatnya pada filsafat yang sudah tumbuh sejak kuliah S-1 dengan mengikuti kursus filsafat lintas profesi di Driyarkara.
Yudhi mengungkapkan, tak ada pilihan khusus dari sejumlah materi yang ditawarkan dalam kursus filsafat itu. Namun lulusan Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, ini berfokus pada pembahasan penerapan filsafat dalam ilmu yang digelutinya.
Dalam pandangan Yudhi, pembahasan filsafat berhubungan erat dengan penerapan ilmu keteknikan. Tentu bukan keteknikan dalam hitungan matematis, tapi aplikasi yang disebut sebagai kapitalisme. "Menurut saya, kaitan filsafat dengan keteknikan adalah aplikasinya di industri," kata pria asal Malang yang kini menetap di Loughborough, Inggris, itu melalui sambungan telepon di WhatsApp, Selasa, 14 Maret lalu.
Walau mengajar mata kuliah teknik mesin, menurut Yudhi, peran ilmu filsafat bisa disisipkan kepada mahasiswa di sela belajar. “Yang bisa diajarkan kepada mahasiswa teknik mesin adalah nilai filosofis tentang membangun perusahaan,” ujarnya.
Jadi, Yudhi menambahkan, tidak hanya mengajarkan filsafat, tapi ada nilai-nilai filosofis yang disampaikan kepada mereka. “Sehingga penciptaan suatu produk memiliki nilai yang mengutamakan esensi pemenuhan kebutuhan, bukan sekadar pemenuhan konsumtif,” tuturnya.
Jika pembelajaran itu hanya tentang teknik mesin, kata Yudhi, manusia tidak sadar akan mudah diperas orang lain. “Kelemahan belajar teknik mesin adalah disempitkan pada pelajaran secara teknikal. Sementara itu, dengan ilmu filsafat, teknik mesin dapat diarahkan supaya lebih berkembang,” tutur lulusan program PhD dari Loughborough University, Inggris, ini.
“Seperti kalimat ‘Think globally, act locally’. Kita berpikir secara global dan bertindak secara lokal, yang masih selaras dengan ilmu filsafat secara luas," ucap Yudhi. "Jadi salah satu yang terpikir dari saya belajar filsafat ini adalah slowing down. Hidup harus balance."
KELAS filsafat untuk kalangan profesional juga digelar Sekolah Teologi Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Berbeda dengan kelas filsafat di STF Driyarkara yang berlangsung daring, kelas extension course—kursus singkat selama dua bulan yang membahas filsafat, psikologi, dan teologi—diadakan secara luring di ruang kelas di kompleks Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kursus dengan tema yang berganti setiap semester itu mulai digelar sejak 2012. Peserta kursus yang dibatasi maksimal 30 orang itu berasal dari berbagai kalangan profesi, dari dosen, dokter, pegawai perusahaan swasta, hingga pegiat lingkungan dan sosial.
Salah satu peserta kelas itu adalah Agustinus Wirawan, 48 tahun, Ketua Forum Komunitas Sungai Sleman. Agustinus mengikuti kelas itu setelah mendengar informasi dari Romo Bismoko Mahamboro yang juga peduli pada kerusakan sungai karena sampah. Romo Bismoko adalah pengajar di Fakultas Teologi Sanata Dharma. Dia kerap mengajak mahasiswanya datang ke komunitas peduli sungai.
Agustinus kemudian tertarik mengikuti kelas yang digelar selama tiga jam setiap satu kali pertemuan itu. “Tujuannya untuk refleksi, memperkaya wawasan, dan menggugah kesadaran kritis,” kata Agustinus, Rabu, 15 Maret lalu.
Sebagai pegiat lingkungan, dia sangat prihatin saat melihat sungai tercemari sampah. Menurut dia, perilaku dan kebiasaan orang membuang sampah secara sembarangan mengabaikan tanggung jawab etis sehingga menyebabkan sungai rusak.
Kursus singkat itu membantunya memahami secara mendalam filsafat lingkungan. Kursus yang dia ikuti mengambil tema “Iman dan Tantangan Lingkungan Hidup”. Materi yang diajarkan di antaranya relasi antara manusia dan alam dalam drama keselamatan teologi romantis filsuf eksistensialis Kristen Jerman-Amerika Serikat, Paul Tillich.
Paul Tillich adalah sosialis dan teolog Lutheran yang berpengaruh pada abad ke-20. Romo Albertus Bagus Laksana, pastor jesuit lulusan STF Driyarkara, menjadi pengajar sesi teologi Paul Tillich tersebut.
Kelas itu juga membahas teologi moral dan ekofeminisme yang diampu oleh dosen program magister yang mengajarkan ekologi dan kearifan lokal di Universitas Sanata Dharma, Mateus Mali. Ada juga teologi pembebasan dan degradasi ekologis. Pengampu kelas itu Romo Hartono Budi, pastor jesuit yang kini bertugas mengajar di Loyola School of Theologi, Manila.
Menurut Agustinus, materi-materi yang disampaikan pengajar itu membuat dia memahami pengelolaan sampah, rehabilitasi lahan, ekofeminisme, filsafat lingkungan secara umum, filsafat air, edukasi tentang lahan gambut, dan rekonsiliasi konflik lingkungan. “Sentuhan teologi dan filsafat lingkungan sangat kuat,” ujarnya.
Dia mencontohkan ada materi yang membahas sungai yang sebagian orang melihat hanya air yang mengalir. Lewat materi filsafat itu, orang diajak untuk mengenali sungai sebagai nadi bumi. Ada etika moral yang harus dipegang ketika memperlakukan sungai sebagai ruang hidup.
Para pengajar juga mengajak semua peserta berpikir kritis, seperti bagaimana melihat gerakan lingkungan dan kepedulian kelestarian sungai secara utuh. Misalnya, di sungai ada berbagai biota air, udara, darat, dan amfibi yang saling berhubungan. Bila satu biota hilang dan terganggu, yang lain ikut terganggu.
Diskusi yang interaktif, tutur Agustinus, mendorong setiap orang untuk punya kesadaran kritis bahwa bumi tidak hanya cukup dijaga. Dia mencontohkan orang kerap mengabaikan peran penting jasad renik dan serangga yang menyuburkan tanah. Makhluk kecil yang kerap terlupakan itu patut mendapatkan penghargaan. Tapi selama ini manusialah yang selalu menjadi pusat perhatian atau menggunakan pendekatan antroposentris.
Kelas yang menampung berbagai latar belakang profesi itu berjalan layaknya diskusi kelompok terfokus. Saat sesi materi ekofeminisme, misalnya, peserta diminta mengutarakan pendapatnya tentang teks maskulin ajakan untuk tidak membuang sampah, misalnya "jangan membuang sampah". “Padahal orang bisa menggunakan kalimat mari merawat dan memelihara lingkungan yang lekat dengan unsur feminin,” ucapnya.
Seminar Sekolah Teologi Pascasarjana Universitas Sanata Dharma di kompleks Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan, Sleman, Yogyakarta/Dokumentasi Sekolah Teologi Pascasarjana Sanata Dharma
Peserta lain yang merasakan manfaat setelah mengikuti kursus singkat filsafat adalah Rosa Maria Wowiling Kusumahadi. Mantan Kepala Sekolah Menengah Atas Ignatius Slamet Riyadi di Cijantung, Jakarta Timur, ini mengatakan kursus itu menambah wawasan tentang pendidikan dan kehidupan.
Menurut Rosa, pendidikan dan pengajaran erat hubungannya dengan spiritualitas yang berbicara tentang kemanusiaan. Pendidikan yang ditekankan di kelas itu berhubungan dengan etika dan budi pekerti manusia.
Setelah pensiun sebagai kepala sekolah pada 1990, Rosa memutuskan pindah ke Yogyakarta. Perempuan 75 tahun ini aktif di Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial dan mengelola paguyuban orang-orang lanjut usia yang membawa semangat inklusivitas. Di paguyuban itu orang lansia datang dari berbagai latar belakang agama. “Kursus membuat saya bisa menerapkan pendidikan dan konseling yang memanusiakan manusia,” ujar Rosa.
Selain pendidikan, sesi materi ekofeminisme berguna bagi kehidupan pribadi Rosa dan lingkungan sekitarnya. Rosa yang kini tinggal di Kecamatan Godean, Sleman, merasakan materi itu menginternalisasi dalam kehidupannya.
Rosa dan keluarganya banyak menanam pohon di sekitar rumahnya. Dengan cara itu, dia ingin memberi contoh kepada tetangga sekitarnya tentang pentingnya menjaga lingkungan sebagai tanggung jawab bersama. Dengan menanam banyak pohon, rumah menjadi asri, udara segar, dan memberikan manfaat keteduhan. “Filsafat melihat kehidupan dihidupi, bukan dieksploitasi,” tutur Rosa.
SEJAK 1970-an tradisi menggalakkan filsafat sudah dilakukan para pakar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Koordinator Extension Course Filsafat STF Diryarkara, Budhy Munawar-Rachman, mengatakan pelopor kursus filsafat untuk masyarakat luas bisa dibilang dimulai di kampus itu.
Salah satu penggagasnya adalah Franz Magnis-Suseno. “Dia salah satu pendiri yang paling senior di kelas filsafat yang namanya extension course filsafat ini,” kata Budhy saat ditemui Tempo di rumahnya di Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Senin, 6 Maret lalu.
Meski kursus filsafat di Driyarkara telah berlangsung sejak 1970-an, tutur Budhy, kelas filsafat untuk profesional—pesertanya dari berbagai profesi—baru digelar pada 2013. Sempat vakum beberapa tahun, kelas kembali dibuka pada awal 2020.
Menurut Budhy, pada masa pandemi Covid-19, jumlah peserta mencapai sekitar 150 orang. Pada semester genap 2023 ini, para peminat filsafat itu mencapai 110 orang. Dalam kelas ini peserta membayar Rp 1 juta untuk 16 pertemuan secara daring selama enam bulan.
Budhy menjelaskan, tema filsafat yang diusung dalam program kursus itu beragam. Misalnya filsafat ketuhanan, etika, dan manusia. Awalnya, para pelaksana kursus itu memilih satu tema besar. Setelah itu dihimpun sebagai bahan ajar untuk 16 kali pertemuan.
Filsafat untuk para profesional ini, tutur Budhy, bertujuan mencari dan menemukan makna sebuah pekerjaan: apakah sekadar mencari uang atau ada nilai yang lebih tinggi dari profesi itu. Nilai itu bisa didapatkan ketika hasil pekerjaan itu bisa dimanfaatkan membantu orang lain.
Budhy mengungkapkan, kursus filsafat di Driyarkara yang menawarkan tema khusus kepada para pelaku profesi itu menggaet banyak peminat. Kini banyak profesional yang meminati filsafat. Melihat filsafat makin diminati, Budhy menyebutnya sebagai sebuah fenomena. “Filsafat jadi populer sekarang,” ujar dosen Islamologi dan filsafat Islam di Driyarkara ini.
Sekretaris Pusat Penelitian dan Pelatihan Teologi Kontekstual Fakultas Teologi Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Sumarno, mengatakan kursus teologi yang berisi materi filsafat di tempatnya itu berlangsung setiap semester sejak 2012. Kursus yang diikuti itu peserta dari berbagai kalangan profesi itu bertujuan memenuhi Tri Darma Perguruan Tinggi di bagian pengabdian. Sekolah Teologi juga melibatkan pengajar dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, dan Keuskupan Semarang. Materi yang diajarkan menyangkut teologi dan filsafat secara umum.
Setiap peserta membayar Rp 300 ribu untuk 15 kali pertemuan. Jumlah peserta kelas itu dibatasi maksimal 30 peserta supaya terfokus dan sesuai dengan kapasitas kelas. Peserta juga bisa mengikuti seminar yang melibatkan sejumlah filsuf sebagai narasumber, di antaranya Karlina Supelli.
Selama masa pandemi Covid-19, tutur Sumarno, kelas luring sempat terhenti dan diganti dengan kelas daring yang diikuti 130 peserta dari berbagai daerah di seluruh Indonesia dan luar negeri. Materinya adalah dialog multikultural dan kearifan lokal dalam perspektif Paus Fransiskus. “Kelas luring terdekat akan dimulai pada 28 April 2023,” katanya.
Francisco Budi Hardiman, guru besar filsafat di Universitas Pelita Harapan/Dokumentasi Pribadi
Guru besar ilmu filsafat Universitas Pelita Harapan, F. Budi Hardiman, mengatakan fungsi ilmu filsafat bagi para profesional membantu para pekerja memahami hakikat profesi. Dalam filsafat, esensi itu menjadi modal utama bagi manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Budi menjelaskan, manusia bisa membentuk karakternya menjadi lebih baik dalam suatu profesi. Menjadi karakter baik menurut filsafat dibahas dalam aspek faktual dan aspek normatif. Melalui aspek faktual, filsafat mendeskripsikan peran dan kenyataan sebuah profesi itu. Budi menerangkan, filsafat harus memberikan tinjauan pada profesi karena praktiknya sering dijalankan dengan keliru. “Karena profesi itu sering dipraktikkan dengan tidak betul,” tutur Budi ketika ditemui Tempo di kampus Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Rabu, 15 Maret lalu.
Dia mencontohkan profesi dokter. Profesi tersebut selalu berhubungan dengan tubuh manusia. Jika profesi dokter digeluti dalam waktu lama, Budi menilai dokter cenderung menganggap tubuh hanya sebuah benda. Obyek itu, dalam tujuan etis, dibongkar-pasang untuk pengobatan.
Namun tidak jarang tubuh dijadikan sasaran dalam industri farmasi atau pemasaran obat. Dan tubuh, dia menambahkan, menanggung konsekuensi dari praktik kedokteran yang dijalankan dengan cara acakadut. Misalnya pemberian obat yang melebihi dosis bagi kesembuhan.
Profesi dokter akan dijalankan dengan benar, kata Budi, jika para profesional di bidang tersebut memahami fenomenologi dalam filsafat. Filsafat membantu profesi tersebut supaya respek terhadap tubuh, baik itu saat memeriksa maupun mendiagnosis. Dengan begitu, tubuh tidak dianggap sebagai organisme belaka. “Tubuh itu punya nilai, punya harkat, punya martabat,” kata doktor filsafat lulusan Hochschule für Philosophie München, Jerman, itu.
Budi kemudian menerangkan esensi profesi. Menurut dia, profesi berasal dari kata “proffesio”, yang terkait dengan vocation atau panggilan. Artinya, kata dia, Tuhan memanggil untuk menolong orang lain dengan profesi kita. “Berarti profesi itu asal-usulnya sangat religius,” ujar penulis buku Aku Klik maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital ini.
Ihwal manfaat para profesional mempelajari filsafat, Budi menjelaskan, adalah mengenal hakikat profesi dan aspek kemanusiaan. Nilai belajar filsafat membuat orang sadar terhadap profesinya. “Profesi hanya konstruksi sosial untuk menolong orang lain. Bukan segala-galanya,” ujar Budi, yang juga mengajar kelas filsafat di Komunitas Salihara, Jakarta Selatan.
Di kelas filsafat Driyarkara, Budi mengajar dua pemikiran filsuf, yakni Georg Simmel tentang profesi perancang busana dan Martin Heidegger mengenai pensiunan. Dia juga kerap mengisi diskusi filsafat di Komunitas Salihara.
Budi Hardiman mengatakan ada perbedaan kursus filsafat di Driyarkara dan Salihara. Kelas atau kursus filsafat di Salihara dijalankan dengan paket tematis. Satu pengajar menyajikan lebih dari satu tema dengan topik baru. “Biasanya topiknya adalah hasil penelitian filsafat baru dan bukan daur ulang tema,” ucapnya. “Adapun di Driyarkara, satu pengajar membawakan satu tema yang berisi topik sirkuler.”
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo