Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Regulasi Deforestasi Uni Eropa berusaha mencegah produk hasil deforestasi masuk.
Kelemahan penegakan aturan di negara asal dapat melegalkan produk hasil merusak hutan.
Perpu Cipta Kerja malah memutihkan perkebunan sawit di hutan.
UNI Eropa berusaha mengatasi deforestasi atau penggundulan hutan melalui aturan baru Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDDR) yang disetujui Parlemen Eropa pada Desember 2022. Inisiatif ini adalah bagian dari agenda global mengatasi krisis iklim. Sayangnya, aturan ini akan menjadi macan kertas belaka bila organisasi negara-negara Eropa itu tak punya mekanisme ketat untuk mencegah barang "haram" hasil deforestasi menyusup ke pasar mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EUDR mewajibkan importir memenuhi syarat uji tuntas terhadap komoditas yang dikirim ke negara anggota Uni Eropa. Importir harus memastikan semua produk itu dihasilkan bukan dari tanah hasil deforestasi setelah 31 Desember 2020. Saat ini ada tujuh komoditas yang diatur, yakni kedelai, minyak sawit, cokelat, daging, kayu, kopi, dan karet beserta turunannya, seperti mebel dan kulit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syarat lain adalah produk tersebut harus legal, dalam arti memenuhi aturan yang berlaku di negara asal. Di sinilah lubang aturan itu. Dengan persyaratan yang mengandalkan regulasi negara asal, aturan itu justru membuka lebar peluang masuknya barang-barang yang sebenarnya bersumber dari penggundulan hutan.
Sudah lama produk sawit dan kayu dari lahan hasil deforestasi di Indonesia masuk ke Eropa. Produk kayu, misalnya, dulu diatur pemerintah melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem ini dirancang untuk memverifikasi asal kayu dan memastikannya bukan hasil deforestasi. Tapi hasil investigasi Tempo dan penelitian sejumlah organisasi nonpemerintah menunjukkan kelemahan sistem itu. Banyak perusahaan memperoleh legalitas untuk produk yang sebenarnya ilegal dan merusak hutan. Berbekal stempel itu, produk mereka pun melenggang masuk Eropa. Pada 2021, mekanisme ini bahkan diperluas menjadi Sistem Verifikasi Legalitas Kelestarian dan berlaku untuk produk nonkayu. Aturan baru ini justru memperluas "pemutihan" terhadap berbagai jenis produk hasil deforestasi.
Produk sawit demikian pula. Sawit adalah komoditas ekspor andalan Indonesia. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa nilai ekspor minyak sawit dan turunannya pada 2020 sebesar US$ 18,69 miliar. Menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat, Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia yang menguasai 59 persen dari sekitar 77,56 juta metrik ton produksi global pada 2022.
Baca liputannya:
Pada saat yang sama, kita tahu, sawit telah menggerus hutan. Menurut lembaga riset dan konservasi Auriga Nusantara, dari semula hanya 7,8 juta hektare perkebunan sawit pada 2000, dua dekade kemudian total jumlahnya mencapai lebih dari 16,5 juta hektare. Mereka menghitung, per Juni 2022, pemerintah telah melepas sekitar 8,5 juta hektare hutan negara dan 6 juta hektare di antaranya untuk perkebunan sawit. Yayasan Kehati juga mencatat sekitar 3,47 juta dari total 16,8 juta hektare kebun sawit pada 2019 masih berada di kawasan hutan.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Kerja menambah parah kondisi ini. Regulasi itu mengizinkan perkebunan sawit di kawasan hutan diputihkan menjadi agroforestri sawit dengan menambah tanaman sela di antara pohon sawit, yang disebut strategi jangka benah. Akal-akalan ini membuat kebun monokultur sawit itu kemudian dapat diklaim sebagai agroforestri, jenis lahan yang tidak tergolong hutan dalam definisi EUDR sehingga produknya pun dapat diterima di Eropa. Jika Uni Eropa menutup mata terhadap pengelabuan semacam ini, mereka ikut bertanggung jawab atas kerusakan hutan tropis di Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo