Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah studi baru menemukan bahwa kelembapan atmosfer tidak meningkat seperti yang diharapkan, terutama di wilayah kering dan semi-kering. Ini bertentangan dengan hubungan lama Clausius-Clapeyron, yang menyatakan bahwa atmosfer yang lebih hangat seharusnya mengandung lebih banyak uap air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengungkapan ini, yang dirilis Earth.com edisi 22 Januari 2024, menimbulkan pertanyaan baru tentang masa depan kawasan ini dalam menghadapi perubahan iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelitian terbaru yang dipelopori oleh Pusat Penelitian Atmosfer Nasional (NSF NCAR) dari US National Science Foundation telah mengungkapkan anomali yang membingungkan dalam pemahaman kita tentang ilmu iklim.
Hasil penelitian ini menimbulkan kekhawatiran karena menunjukkan bahwa wilayah kering dan semi-kering bisa lebih rentan terhadap kebakaran hutan dan panas ekstrem dibandingkan perkiraan sebelumnya.
"Dampaknya berpotensi parah," kata ilmuwan NSF NCAR Isla Simpson, penulis utama studi tersebut. "Ini adalah masalah global dan merupakan sesuatu yang benar-benar tidak terduga mengingat hasil model iklim yang kami hasilkan."
Penelitian tersebut merupakan upaya kolaboratif yang melibatkan ilmuwan dari berbagai institusi ternama, termasuk Cornell University, Polar Bears International, dan Columbia University, untuk menyelidiki data atmosfer selama beberapa dekade.
Dari tahun 1980 hingga 2020, tim menganalisis data dari stasiun cuaca, balon cuaca, dan satelit, dan memperkirakan akan menemukan peningkatan uap air di atmosfer sejalan dengan model iklim. Namun, hasilnya bertentangan dengan ekspektasi.
Hubungan Clausius-Clapeyron telah menjadi prinsip dasar dalam ilmu iklim, yang menyatakan bahwa setiap kenaikan suhu 1°C, kelembapan atmosfer akan meningkat sekitar 7%.
Yang mengejutkan, penelitian ini menemukan bahwa di wilayah kering dan semi-kering, tingkat kelembapan tetap konstan atau bahkan menurun seperti yang terjadi di Amerika Serikat Bagian Barat Daya.
"Hal ini bertentangan dengan semua simulasi model iklim yang menyatakan bahwa tingkat kenaikannya mendekati ekspektasi teoritis, bahkan di wilayah kering," kata para penulis dalam makalah yang dilansir melalui National Academy of Sciences.
"Mengingat hubungan erat antara uap air dan kebakaran hutan, fungsi ekosistem, dan suhu ekstrem, masalah ini harus diselesaikan untuk memberikan proyeksi iklim yang kredibel untuk wilayah kering dan semi-kering di dunia."
Kesenjangan ini menimbulkan tantangan besar terhadap model iklim, yang secara konsisten memproyeksikan peningkatan kelembapan atmosfer bahkan di wilayah kering.
Simpson, yang pertama kali menyadari tren ini saat mengerjakan laporan NOAA tentang perubahan iklim di AS bagian barat daya, menekankan pentingnya menyelesaikan masalah ini untuk menghasilkan proyeksi iklim yang kredibel.
"Kita mungkin menghadapi risiko yang lebih tinggi daripada yang diperkirakan di wilayah kering dan semi-kering seperti wilayah Barat Daya, yang telah terkena dampak kekurangan air dan musim kebakaran hutan yang ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata Simpson.
Menariknya, penelitian tersebut menemukan bahwa daerah lembab menunjukkan pola yang berbeda. Di sini, uap air meningkat selama bulan-bulan basah seperti yang diperkirakan, namun peningkatannya tidak terlalu besar selama bulan-bulan terkering.
Pola ini sangat kontras dengan wilayah kering dan semi-kering, sehingga semakin memperumit pemahaman keseluruhan mengenai dinamika kelembapan atmosfer.
Para peneliti mengajukan beberapa teori untuk menjelaskan temuan tak terduga ini. Salah satu kemungkinannya adalah perpindahan uap air dari permukaan bumi ke atmosfer tidak terjadi seperti yang diperkirakan dalam pemodelan yang dibuat sebelumnya.
Teori lain adalah bahwa pola sirkulasi atmosfer mungkin menggerakkan kelembapan dengan cara yang tidak terduga. Selain itu, permukaan tanah itu sendiri mungkin menahan lebih banyak kelembapan daripada yang diperkirakan sehingga mempengaruhi ketersediaannya di atmosfer.
Meskipun mempertimbangkan kesalahan dalam data observasi, tim ini menemukan perbedaan tersebut terlalu konsisten di berbagai wilayah dan jangka waktu untuk dikaitkan dengan kesalahan pengukuran.
Simpson menekankan perlunya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebabnya. "Ini adalah masalah yang sangat rumit untuk dipecahkan, karena kita tidak memiliki pengamatan global terhadap semua proses penting yang dapat memberi tahu kita tentang bagaimana air berpindah dari permukaan tanah ke atmosfer," katanya.
"Kita benar-benar perlu mencari tahu apa yang salah karena situasinya tidak seperti yang kita harapkan dan dapat mempunyai implikasi yang sangat serius di masa depan," kata Simpson.
Singkatnya, studi ini membuka babak baru dalam ilmu iklim, menantang model yang ada dan menyoroti kompleksitas sistem iklim bumi.