Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Suaka Burung Petani Tambak

Tambak milik kastimin yang dihuni burung-burung di rencanakan menjadi daerah suaka burung. kastimin diusulkan sebagai pemenang hadiah kalpataru.(ling)

12 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETINGGI-tinggi burung terbang kembalinya ke Kastimin jua. Ini bukan pepatah baru yang meniru pepatah lama. Kisah di baliknya agak panjang juga. Kisah ini dibawa dari sebuah tambak di Dukuh Kalingapuri, 40 km di sebelah barat laut Gresik Jawa Timur. Kastimin pemilik tambak itu hidup berkawan dengan 128.000 burung. Dan petani buta huruf berusia 66 tahun itu kini diusulkan Pemda Kabupaten Gresik sebagai calon pemenang hadiah Kalpataru tahun ini. Tambak ikan Kastimin dibangun di atas lahan yang luasnya sembilan hektar, dalam lingkungan Desa Pankal Kulon Ujung Pangkah. Bagian tengah, bagaikan delta, dikelilingi air, tempat hdup bandeng,mujair, udang, dan kepiting. Delta itu ditanaminya dengan pohon api-api, sejenis tumbuhan rimbun mirip akasia tapi daunnya agak panjang. Di delta ber-"hutan kecil" seruas 3,7 hektar itulah burung tinggal dan berkembang biak. Semuanya aida 34 jenis delapan di antaranya - gajahan, pelatuk besi, roko-roko, kuntul, bangau putih, pecuk ular, elang laut, dan tengkek biru - adalah burung langka yang oleh undang-undang tak boleh ditangkap dan diburu. Kawasan tambak itu kini direncanakan menjadi daerah suaka mungkin satu satunya tempat perlindungan burung di kawasan yang tanahnya tetap milik penduduk. Suaka unggas lain ialah Pulau Rambut diTeluk Jakarta, yang statusnya memang cagar alam. Hanya saja, rencana suaka belum dipahami oleh Kastimin. "Kulo mborong-kerso mawon," katanya. Dia hanya berserah pada kemauan pemerintah. Tentang hadiah Kalpataru, sedikit pun petani tua itu tak mengerti. Begitu juga dengan Hari Lingkungan Hidup yang jatuh tanggal 5 Juni. Rencana Kastimin semula memang bukan untuk menanam jasa dalam soal pelestarian alam. Tahun 1951 dia pindah ke Kalingapuri 10 kilometer dari pantai Laut Jawa, bersama empat saudaranya, jauh sebelum orang mendiskusikan dan berseminar tentang lingkungan hidup. Dia meninggalkan desa asalnya, Watu Agung, beberapa kilometer dari Kalingapuri, setelah menjual 3,5 hektar tambak warisan orarJgtuanya, seharga Rp 9.000. Di Kalingapuri, Kastimin bersaudara membeli 45 hektar lahan yang waktu itu harganya cuma Rp 6.000. Sembilan hektar menjadi miliknya sendiri setelah berbagi dengan keempat saudaranya. Tapi, 33 tahun silam,kawasan tadi hanya berupa hutan bakau, rawa,dan padang rumput. Daerah lintasan beberapa anak sungai ini dulunya didatangi orang hanya buat mencari kayu bakar.Tumbuhan liar di sana kemudian dibabat Kastimin. Dia membangun tambak dengan mempekerjakan 10 orang upah an. Lantas ditanamnya pula pohon api-api dengan lebih teratur."Ongkosnya waktu itu hanya Rp 5 sebatang,"kata Kastimin. Tanah di daerah ini berpasir. Curah hujan nya rata-rata 114 milimeter per bulan. Sepuluh tahun dia memerlukan waktu untuk membangun tambak yang baik dan menghasilkan. Kini Kastimin tergolong kaya di antara 50 kepala keluarga penghuni Dukuh Kalingapuri. Hasil ikannya - tak termasuk udang dan kepiting - per tahun sekitar Rp 10 juta Lebih dari itu, orang-orang di Kalingapuri setiap subuh dan senja dapat mendengar burung mencicit serta berkoek di tambaknya, di tepi barat Bengawan Solo itu. Berhimpunnya ribuan burung di hutan1.500 pohon sekitar tambak Kastimin sebenarnya hanya kebetulan. Nalurinya mengatur susunan pohon api-api itu, menurut penilaian Drs. Soemarjoto Atmosoedirdjo, 36 staf Balai Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA) Jawa Timur, sesuai benar dengan selera burung. Ketika tambak itu baru selesai dibangun dulu, kuntul dan beberapa burung laut yang lain mulai berkumpul di sana dalam jumlah sangat kecil. Lama-kelamaan kian banyak. Burung jenis lain pun berdatangan. Sekarang, di daerah pertambakan itu tampaknya hanya pohon pohon sekitar tambak Kastimin yang disukai unggas. Soalnya, kata orang tua itu, mereka tidak diusik. Ketika binatang bersayap ini menjarah ikan di tambak, dia hanya merentangkan benang nilon silang-bersilang dari pokok kayu yang satu ke pohon yang lain. Burung itu terjungkir ketika menukik lalu jera. Adanya burung sebanyak 128.000 itu baru diketahui setelah tim dari Balai PPA JawaTimur mengobservasi tambak Kastimin(September 1983 sampai dengan Februari 1984).populasinya tampak kian padat. Februari lewat, telur-telur kuntul kerbau, kowak maling, pecuk padi, pecuk ular, dan cangak merah banyak yang menetas. Perhitungan PPA menyebutkan, setiap enam bulan jumlah binatang ini naik 5%. Mulai Juni nanti, setiap bulan akan dijarangkan,menangkap 200 ekor di antaranya dan mengirimnya ke kebun binatang. Jika nanti tempat ini akhirnya menjadi suaka burung, tambak Kastimin akan menjadi zone inti. Lalu kawasan Bengawan Solo, sekitar 500 hektar,tempat burung-burung itu mencari makan akan menjadi daerah penyangga. Karena kekurangan tenaga, kata Soemarjoto, "Zone penyangga itu akan sulit diawasi." Biaya? Balai PPA mengharapkannya dari APBD saja. Sejak Balai PPA Jawa Timur memperhatikan daerah ini,pengawasan pun mulai diperketat. Penduduk dilarang berburu burung. Namun, beberapa waktu lalu Kastimin risau juga karena populasi binatang ini.Tahinya terlalu banyak yang jatuh ketambak, sehingga bandeng saya menggelepar-gelepar," katanya. Kedalaman air tambak di sana rata-rata dua meter. Tapi untunglah keluarga ikan dalam tambak tidak terancam betul. Semua ini sebetulnya tak direncanakan Kastimin. Dia melihat burung sebagai makhluk lain yang kebetulan sama-sama datang dengan dia ke situ untuk mencari makan.Kini, apabila bulan terbit senja, hingga pukul 20.00 kawasan ini riuh oleh suara unggas yang mencari tempat hinggap sesudah penerbangan yang cukup Jauh Kelak jika tempat suaka burung itu makin diperhatikan,Kastimin dengan tiga anak dan 10 cucunya disana mungkin akan kedatangan banyak tamu. Mereka sengaja datang untuk kawanan burung dan pohon-pohon permukiman yang mengitari tambaknya. Juli dimuka, lima biolog dan mahasiswa dari Inggris, kabarnya, akan membuat penelitian di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus