LIMA puluh orang bunuh diri setiap hari memang suatu prestasi. Di Jepang, tentu saja. Bahkan statistik Keisatsucho (Mabak Jepang) untuk tahun 1982 menunjukkan angka yang lebih. Pada tahun itu terjadi 21.288 peristiwa bunuh diri. Berarti 58 orang setiap hari. Memang, letupan angka bunuh diri bukan monopoli Jepang. WHO (World Health Organization) mencatat 10 negara yang mempunyai angka bunuh diri yang besar, dan yang paling top malah bukan Jepang. Amerika Serikat,menurut statistik WHO, mencatat 27.294 kasus pada 1978. Jerman Barat, 1980,mencatat 12.868. Dan Prancis untuk 1978 mempunyai angka 9.158. Jepang sendiri sudah disebut. Tetapi, berdasarkan perbandingan jumlah penduduk,Jepang justru yang paling top. Dari 100.000 manusia di sini, 36 orang meninggalkan dunia ini akibat perbuatan sendiri. Soalnya karena bunuh diri di Jepang bukan semata-mata perbuatan orang putus asa. Jepanglah satu-satunya negara di dunia yang tradisinya mengenal sebuah seni yang sungguh tidak biasa ini: seni untuk mati. Sebuah buku kuno, Hagakure (Daun Terpendam) namanya, adalah salah satu catatan penting tentang seni yang boleh jugalah Anda anggap sableng itu. Buku itulah yang memperkenalkan istilah yang sangat terkenal: bushido (bu.shi= samurai bushido = jalan samurai). Ini dikarang oleh seorang samurai sendiri, Tsunetomo Yamamoto (1659-1719), meski penulisannya dikerjakan oleh tokoh lain, Tsuramoto Toshiro. Yamamoto itu menghamba pada Nabeshima, seorang penguasa di Provinsi Kyushu pada zaman Tokugawa. Tak dapat dikatakan bahwa Yamamoto penemu tradisi samurai: kebiasaan menghamba para samurai itu sudah dikenal jauh sebelum masa hidup sipengarang. kendati begitu, bisa dipastikan, Yamamoto-lah yang pertama menggariskannya menjadi spesifikasi yang jelas. Hagakure tak hanya bicara tentang bunuh diri. Ia sebenarnya berisi kaidah-kaidah hidup seorang samurai dari dasar-dasar falsafahnya sampai ke hal-hal kecil: aktivitas sehari-hari, petunjuk ketika minum sake (arak Jepang cara menasihati orang, kaidah percintaan dan pertapaan, bahkan analisa logika manusia menurut zamannya. Karena kelengkapan itu banyak peneliti asing menggunakannya sebagai salah satu buku pegangan dalam meneliti, paling tidak memperkirakan, mental orang Jepang. Dan jumlah kasus bunuh diri diJepang bisa dikatakan sebuah parameternya. Memang, dengan tegar Hagakure menguarkan: akhir jalan seorang samurai adalah menemui mati. Dan ujung perjalanan itu tak sukar ditemukan, asal seseorang senantiasa "sadar maut". Karena itu dianjurkan seorang samurai senantiasa siap untuk mati: selalu menjaga kebersihan badan, - menyisir rambut, menggunting kuku tangan dan kaki, dan yang seperti itu. Dasar bagi kesiapan yang begitu dramatis itu adalah ini: kesetiaan. Hagakure menekankan benar pasal itu - kesetiaan yang tulus dan sepenuhnya kepada majikan. Tertulis: Seharusnyalah seorang samurai senantiasa berpikir bagaimana ia bisa berguna bagi tuannya. Seharusnyalah ia bersumpah untuk setia secara mutlak. Pada Perang Dunia ll, paham Hagakure diadaptasikan kelompok militer Jepang. Bala tentara Jepang itu dianggap kogun (serdadu Kaisar). Dan berdasarkan jiwa Hagakurepula banyak tentara Jepang melakukan bunuh diri. Semua orang mengenal istilah harakiri atau seppuku - menusuk dan merobek perut yang dilakukan bila kemenangan tak lagi bisa diharap. Malahan bukan hanya pasukan Kaisar yang melakukan bunuh diri. Di Provinsi Okinawa, ketika pasukan Amerika Serikat mendarat, rakyat Kaisar ikut pula bunuh diri -shudan jiketsu, bunuh diri massal. Berarti rakyat Jepang - apalagi tentaranya-menunjukkan kesetiaan mereka kepada Kaisar. Karena itu, ketika Hagakure muncul pada tahun 1716, begitulah dituturkan,kitab itu langsung beredar ke mana-mana. Para pemuda menggunakannya untuk membangun keyakinan - apalagi bila harus berangkat ke medan perang. Pada masa modern, lingkungan tempat melihat tumbuhnya jiwa Hagakure ini, yang paling khas, konon lingkungan pegawai - baik negeri maupun swasta. Walau tidak dituntut, umumnya seorang yang bersedia jadi pegawai menyatakan sumpah untuk setia - dengan mutlak - kepada perusahaan tempatnya bekerja. Dan sumpah itulah yang bisa mendorong seorang karyawan melakukan bunuh diri. Di Jepang sudah sangat umum terdengar seseorang menghabisi nyawanya sendiri untuk menjaga nama baik perusahaannya itu. Pernah, misalnya, seorang pejabat tinggi salah satu anak perusahaan Nissho Iwai yang raksasa itu melompat dari jendela tinggi sebuah gedung pencakar langit. Mati, tentu saja. Kisah bunuh diri pejabat eksekutif itu dimuat banyak media massa dan cukup menghebohkan. Pangkalnya, ia terlibat skandal dikantornya - entah apa. Dan ia agaknya tak dapat membayangkan dirinya keluar dari grup Nissho Iwai, walau sebenarnya tak bisa dikatakan ia kehilangan harapan dalam karier. "Ini perusahaanku yang abadi," tulisnya pada secarik kertas yang dibawanya terjun. Orang Jepang mengerti arti kata-kata itu: sebuah tanda setia. Sekitar dua tahun yang lalu seorang polisi Provinsi Osaka juga bunuh diri. Pasalnya (dan ini tak terbayangkan untuk kita di Indonesia,walaupun Anda seorang polisi): ia malu karena sejumlah media massa membongkar kasus korupsi di lingkungan kepolisian Osaka. Padahal ia sama sekali tak punya sangkut paut dengan satu pun kasus korupsi. Ia merasa ikut bertanggung jawab karena ia pernah menJabat sebagai kepala polisi Osaka, itulah sebabnya. Yang agaknya hampir sama dengan kasus Pak Polisi, meski kurang ekstrem, adalah bunuh dirinya seorang staf universitas terkenal Waseda Digaku karena terbongkarnya kecurangan ujian di lingkungan kerjanya. Ia juga mengantungi secarik kertas berisi pesan terakhir. Tapi ia tampaknya tak menemukan kata-kata terakhir. Hanya: Banzai! Artinya: Hidup! Yang barangkali ikut mendorong angka bunuh diri melesat di Jepang adalah diterimanya, oleh masyarakat, ulah mencari maut itu dengan sikap yang setengahnya merestui. Bunuh diri dianggap ikhtiar minta maaf, selain cerminan sikap jujur dan setia. Karena itu tindakan yang bagi kita sama sekali tidak terpuji itu juga merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan suatu persoalan. Media massa dan masyarakat akan berhenti mempermasalahkan suatu aib - betapa pun besarnya - sesudah terdengar yang bersangkutan rela bunuh diri. Biasanya, sesudah suatu penyelewengan atau yang sejenis itu terbongkar, media massa Jepang segera melakukan dampratan habis-habisan-kadang-kadang di halaman pertama, dengan huruf besar-besar. Kecaman macam ini bisa berlangsung berbulan-bulan - kecuali bila orang yang tersangkut pada peristiwa itu sudah bunuh diri. Bila sudah begitu, tak satu pun media massa meneruskan kritik - satu kolom pun tidak. Apakah itu berarti koran-koran Jepang gemar menganjurkan orang bunuh diri?orang Jepang sering dilukiskan sebagai sejenis makhluk yang suka mengelompok. Semangat memasuki organisasi, misalnya, tercatat jauh lebih besar dari yang terlihat pada bangsa lain. Terutama organisasi - dan Perusahaan - yang besar. Konon ini akibat keadaan geografis negeri itu- Jepang terdiri dari sekumpulan pulau kecil, tempat orang-orang hidup dikelilingi laut. Kecenderungan itu, pada zaman kuno, terlihat pada sikap para samurai. Bushisi pendekar, senantiasa memasuki suatu hari - semacam kantor gubernur - dan menghamba di sana. Pada zaman Edo tercatat pula para samurai yang memasuki daimyo (daerah kekuasaan tuan tanah) yang lebih kecil dari han. Harkat para samurai sangat bergantung pada kekuatan han tempat ia berbakti. Menjadi kecenderungan umum di kalangan mereka untuk memilih han yang besar, kuat dan berpengaruh. Kedudukan dan gengsi akan menjadi kuat pula. Sampai kini dikatakan paham bushido ini masih berpengaruh. Para pemuda Jepang bergiat masuk suatu kelompok, grup, atau perusahaan, yang besar dan kuat. Juga hampir semua remaja Jepang, setelah lulus sekolah lanjutan atas, belajar mati-matian untuk masuk universitas yang besar dan dianggap terbaik. Begitu gilanya semangat ini -bahkan ketika statistik menunjukkan keunggulan suatu universitas sudah bukan faktor pokok dalam menjamin masa depan. Mengumpulnya lulusan suatu universitas di satu bidang pekerjaan tertentu memang hal biasa. Tapi diJepang keadaan itu terasa lebih kental. Di kalangan politik dan ekonomi, misalnya, berkumpul sejumlah besar lulusan Universitas Tokyo - yang konon puncak piramid perguruan tinggi Jepang. "Mafia"ini menyebutkan kelompok mereka sebagai Todai,keluarga Universitas Tokyo. Sementara itu kalangan keuangan dikatakan umumnya datang dari Universitas Waseda, dan kalangan pers dari Universitas Keio. " Lulusan universitas mana?" adalah pertanyaan yang sangat umum di Jepang, ketika seseorang diminta memperkenalkan diri. Orangnya sendiri biasanya akan merasa sangat perlu memperkenalkan universitas tempat ia belajar, terutama bila itu universitas favorit, di samping nama dan nama keluarganya. Identitas universitas itu melebihi identitas daerah atau tempat kelahiran. Padahal tak terlalu berpengaruh sebagai faktor pembawa sukses. Di atas segala-galanya, identitas kelompoklah yang membangun semangat kesetiaan. "Demi perusahaan, nyawa saya korbankan," adalah slogan ketaatan di Jepang. Memang, kasus pengorbanan nyawa untuk perusahaan, organisasi, negara diJepang sudah tak terhitung lagi. Terlalu banyak, yang terkenal, dalam hal patriotisme kebangsaan, tentunya pasukan Kamikaze dan Ningen Gyorai semasa Perang Dunia II. Kamikaze berarti "angin Tuhan" - dikirim oleh Amaterasu Omikami alias Dewi Matahari. Pasukan Kamikaze adalah pasukan pesawat udara yang dalam operasi berani mati melakukan misi bunuh diri. Sementara itu Ningen Gyorai adalah pasukan angkatan laut yang dikenal sebagai "torpedo manusia". Yakni penunggang peluru torpedo - manusia - yang tentu saja tewas ketika torpedo mengenai sasaran. Pada masa terakhir, ini siapa tahu akan ditandingi oleh Iran, bila pasukan berani matinya - berdasarkan agama -bukan hanya kebijaksanaan insidental. Bagi para prajurit Jepang tadi, pun gugur dalam perang bukan hal yang sia-sia. Mereka percaya bahwa roh mereka akan diterima di Kuil Yasakuni Jinja sebagai roh pahlawan tulen. Karena itu, disebutkan, mati di medan perang adalah "kematian paling indah". Kazuo Shimada, ahli psikologi sosial, berpendapat bahwa memang terdapat keistimewaan pada kecenderungan bunuh diri di Jepang. Profesor dari Universitas Hati Kudus (Katolik) itu setuju kepada penekanan kesetiaan sebagai pangkal penyebab. Tapi lebih lanjut ia lalu menunjuk "familisme" dan feodalisme sebagai salah satu sebab keinginan mengungkapkan kesetiaan itu. Shimada bilang, sudah sejak lama di Jepang dikenal norma kesetiaan kepada keluarga. Sanat umum diketahui bahwa para pemuda Jepang tidak keberatan mati untuk ibu dan ayahnya di kampung,juga untuk adik ataupun kakak. Feodalisme, dalam pada itu, punya gambaran sedikit lebih rumit. Ahli itu menyebutkan, seorang bushi, sebagai imbalan gaji yang diterimanya dari majikannya (shogun),mengikrarkan kesetiaan dengan taruhan nyawa. Konsekuensinya bila sang shogun meninggal bushi itu menyertainya dengan melakukan bunuh diri. Dan, kelanjutannya, bila demikian maka keluarga dan keturunan si bushi akan dijamin oleh shogun atau keturunan shogun tempat ia bekerja - antara lain dengan tunjangan beras dan, lebih besar,pembagian tanah. Kurang lebih hubungan tuan dan pengikutnya terbentuk di zaman samurai," ujar Shimada. "Dan hubungan itu masih berlaku sampai sekarang. Hanya han diganti dengan perusahaan-perusahaan besar seperti Mitsubushi, Mitsui, atau Sumitomo." Di samping itu Shimada juga melihat bahwa orang Jepang sangat menghargai kesucian dan "cinta suci". Itulah sebabnya mengapa sering terlihat adegan bunuh diri yang gombal ini: berpasangan, dua-duaan. Di sana, itu disebut shinju. Namun yang lebih memusingkan, ada pula bunuh diri berkelompok atau shudan jisatsu - lebih dari dua orang, atau dua orang tapi bukan karena cinta. Shimada sendiri bahkan tak bisa memastikan alasan atau dorongan jiwa yang menyebabkan tindakan bunuh diri berjemaah ini. Terdapat sejumlah kasus yang sulit digariskan persamaannya. Tahun 1977, misalnya, di Provinsi Aichi, tiga orang cewek mencoba bunuh diri ramai-ramai dengan terjun ke sungai. Dua orang berhasil tewas. Alasannya: mereka kurang setuju pada sikap sekolah mereka dalam menggariskan tata cara bergaul. Tahun 1982, tiga pelajar wanita juga bunuh diri dengan meloncat dari atas gedung. Tak jelas alasan mereka. Yang pasti itu dilakukan tepat pada hari pembagian ijazah. Tahun 1983, lagi-lagi di Provinsi Aichi, dua gadis juga bunuh diri bersama. Juga meloncat dari atas gedung. Dan juga sukses. Yang mengharukan, keduanya mempersatukan tangan masing-masing dengan seikat tali. Lesbian? Jangan berpikir yang tidak-tidak. Rasa setia kawan antara orang-orang yang terlibat itu, yang dapat pula dikategorikan sebagai kesetiaan, hanya terlihat samar-samar dalam kasus-kasus itu. Tak dapat dipastikan benar. Tetapi di Jepang,setia kawan terutama di kalangan gadis-gadis memang terasa besar. Sering ditemukan seorang gadis bunuh diri karena rasa simpati atau ikut bersedih melihat nasib buruk kawan gadisnya. Apakah di balik itu terdapat rasa persaingan dengan,atau keputusasaan terhadap, para jejaka alias kaum pria?" Selama bunuh diri masih dianggap cara yang indah untuk mati," ujar Shimada, "angkanya diJepang tak akan bisa dikurangi." Berdasarkan ini Shimada kurang sepakat dengan pendapat Ruth Benedict dalam bukunya The Chrysanthemum and The Sword. Dalam buku itu Benedict membedakan"rasa malu" orang Jepang dari "rasa berdosa"masyarakat Barat. Ia beranggapan, orang Jepang akan menyimpan rasa malunya dalam-dalam. Begitu dalam, hingga akhirnya putus asa dan bunuh diri. Jadi, putus asa. Shimada, sebaliknya, cenderung berpendapat bahwa rasa malu orang Jepang adalah jenis yang sangat pribadi sifatnya. Semacam malu terhadap diri sendiri. Dan inilah yang membangun apa yang disebutnya "kesadaran akan keindahan", yang antara lain bisa mendorong orang bunuh diri. Jadi, keindahan . Rasa malu dan angan-angan akan keindahan itu,atau romantisme, pada masa kini tentunya sudah sangat relatif. Tapi pada zaman samurai dulu, rasa malu juga bercokol di sekitar pemilihan bentuk bentuk kematian itu sendiri. Harakiri, yang mulai dikenal pada zaman Heian (794-1192), waktu itu dianggap hukuman terhormat bagi seorang bushi. Bahkan disebut "hukuman ringan". Mengapa? Sebab, sang bushi masih diperkenankan menentukan nasibnya sendiri alias membunuh dirinya sendiri. Hukuman yang lebih berat adalah justru bila orang lain yang diperintahkan membunuhnya. Dalam hal ini dia atau keluarganya akan mendapat malu. Dari sini bisa pula dipahami kadar harga diri orang Jepang (asli) - bukan jenis yang muncul sebagai sikap angkuh, tapi sikap kesatria - sesuatu yang lebih dalam. Yang ini bukan dari Prof. Shimada, tapi dari kita sendiri. Harakiri sebagai hukuman itu khususnya populer semasa keshogunan Tokugawa pada zaman Edo (1600-1867). Caranya ada dua macam: ichimonji dan jumonji. Yang pertama adalah merobek perut,dengan jalan menusuk pedang ke bagian kiri, lalu menariknya ke sisi kanan. Yang kedua, tak beda jauh, menusukkan pedang ke ulu hati, kemudian menghelanya ke bawah, sampai ke pusar. Sooorrr DALAM menjalankan upacara itu, san samurai akan dikawal seorang kaishakunin, algojo Tugasnya: menebas batang leher si samurai bila ia tak sampai mati dalam berharakiri. Tentunya, setelah kenshiayaku (pemeriksa mayat) menentukan apakah kematian itu sudah datang atau belum. November 1970, sastrawan Jepang terkenal, Mishima, 45 tahun, juga melakukan ritus harakiri itu Ketika itu ia bersama para pengikutnya menerobos masuk ke pangkalan militer Pasukan Bela Diri Jepang (angkatan perang), kemudian berpidato. Lalu merobek perutnya dengan tata cara tadi. Seorang pengikutnya menebas batang lehernya, setelah Mishima berteriak: Tenno Heika Banzai! (Hidup Kaisar!) dengan perut yang dobrak. Sebelumnya Mishima memang diketahui akrab dengan segala hal yang berkaitan dengan bunuh diri kendati karya-karya sastranya sendiri tak menunjukkan gejala itu. Ia senang sekali diabadikan lewat foto, dan dalam foto-foto itu ia seperti ingin mengungkapkan sejenis "seni siksa". Ia juga pemuja tradisi samurai. Tiga tahun sebelum kematiannya ia menulis buku Petunjuk Hagakure Bushido Masih Hidup. Mishima sendi ri tergila gila pada Hagakure.selama 20 tahun, menurut pengakuannya, karya itu tak pernah berpisah dari bantalnya Dalam bukunya itu Mishima menyebutkan Hagakure sebagai satu-satunya induk karya-karyanya sendiri, juga satu-satunya sumber vitalitas ekspresinya Sedangkan dalam soal harakiri, ia melihat misi bunuh diri Pasukan Kamikaze sebagai yang paling mendekati prinsip Hagakure. Toh pendapat Mishima tentang bunuh diri tak sepenuhnya rata. Tahun 1956 ia menulis tentang sastrawan besar Jepang lain, Ryunosuke Akutagawa, yang bunuh diri 24 Juli 1927. Dalam catatan sejarah sastra Jepang, Akutagawa memutus nyawanya akibat kelemahan saraf dan beban tanggung jawab utang yang dibuat adik iparnya. Mishima, anehnya, mengecam tindakan bunuh diri Akutagawa. "Saya tak suka kelemahan," tulisnya tentang rekannya yang mati pada usia 36 itu. "Terutama saya tak bisa mengampuni kelemahan jiwa, walaupun kelemahan jiwa memang bisa melonggarkan kelemahan tubuh." Namun, agak tidak konsekuen, Mishima juga mencoba mengerti apa yang dilakukan Akutagawa. "Akutagawa melakukan bunuh diri karena ia senang. Saya tak suka cara hidup begitu, tapi saya tak punya hak mencela jalan hidup orang lain. Tapi mengapa tak suka? "Saya tak bisa menghormati sastrawan yang bunuh diri," tulisnya. "Tapi saya sangat menghargai bila tindakan itu dilakukan bushi." Jadi itulah soalnya. Dan 14 tahun kemudian, Mishima berharakiri Benar ia berusaha menghilangkan "identitas sastrawan"-nya ketika mengambil keputusan itu.Dengan memilih pangkalan militer sebagai pentas-nya, menggunakan pakaian putih dan membungkus kepalanya dengan kain putih pula, ia memang tampak bukan sebagai sastrawan, agaknya. Toh terdapat cukup banyak sastrawan Jepang bunuh diri - peduli amat dengan "identitas" itu.Toukoku Kitamura, penyair dan kritikus terkenal, bunuh diri pada 1894. Tahun 1908 giliran Novelis Bizan Kawakami, dan tahun 1927 Akutagawa. Sesudah Perang Dunia II, yaitu 1948, Novelis Osamu Dazai ber-shinju bersama pacarnya, dengan cara mencebur ke sungai. Mishima sendiri membedah perutnya tahun 1970. Dan dua tahun kemudian Yasunari Kawabata, pemenang Hadiah Nobel 1968, memutus hidupnya dengan gas. Bukan hanya sastrawan. Di Jepang tercatat banyak nama besar melakukan bunuh diri. Dalam sejarah tercatat, pada 1185 Kaisar Antoku berusia delapan tahun bersama neneknya mengakhiri hidup dengan meloncat ke laut setelah tak berhasil menyelamatkan diri dari kejaran pasukan Genji dalam sebuah perebutan kekuasaan. Tahun 1615 seorang samurai terkenal, Toyotomi Hideyori, 23 tahun, bunuh diri bersama ibunya yang berusia 49 tahun, di Benteng Osaka. Mereka tak bersedia menyerah kepada Shogun Tokugawa leyasu yang dikenal membangun Keshogunan Tokugawa di Edo (kini Tokyo) pada 1603. Pada zaman Meiji (1868-1912), di antara yang bunuh diri tercatat nama Takamori Saigo(1827-1877). Ia politikus penting di masa restorasi besar-besaran itu. Berbeda dalam kebijaksanaan, ia akhirnya memberontak - dan melahirkan apa yang dikenal sebagai Perang Seinan. Pasukannya terpukul, dan ia berharakiri. Ketika itu usianya 51. Jenderal Maresuke Nogi juga berharakiri di zaman yang sama pada akhir kekuasaan Meiji. jenderal angkatan darat Imperial Jepang ini, yang terkenal sebagai pahlawan Perang Jepang-Rusia 1904-1905 menghabisi hidupnya pada usia 64 tahun bersama istrinya, Shizuko, dengan jalan menusuk jantung dengan pedang pendek beberapa kali. Terjadi pada 13 September 1912, di tengah upacara penguburan Kaisar Meiji. Dalam dunia Hagakure, bunuh diri suami-istri Hogi dikenal dengan nama Oibara - "mengejar perut". Itu dilakukan seorang anak buah ketika tuan atau shogunnya meninggal dunia - sebuah ritus kesetiaan. Karena itu pula Jenderal Nogi dijuluki "Bushi-Tenno", Samurai Kaisar. Kekalahan Jepang pada Perang Dunia ll sudah tentu diwarnai pula dengan sejumlah harakiri. Yang tak boleh dilupakan adalah harakiri Fumimaro Konoe, perdana menteri Jepang ketika negeri itu membuka perang melawan AS. Ia bunuh diri dengan minum racun. Tindakannya diikuti para perwira dimedan-medan perang, selain para anggota militer yang bunuh diri di depan istana Kaisar. Dan jangan dilupakan pula Jenderal Korechika Anan, bekas menteri pertahanan darat Imperial yang pernah menjabat panglima angkatan militer Jepang di Sulawesi. Perang sudah jauh berlalu, tradisi keras samurai juga sudah tak terlampau nyata. Namun Buku Putih Polisi edisi 1983 menunjukkan masih banyak orang orang Jepang yang "kalah perang". Malahan juga anak-anak dan ini mengejutkan. Statistik menunjukkan, terdapat 199 pelajar SLA bunuh diri pada 1983. Lalu 81 pelajar SMP dan 34 murid sekolah dasar. Yang termuda tercatat baru delapan tahun. Menurut Buku Putih Polisi tadi, anak delapan tahun tadi menghabisi hidupnya karena persoalan keluarga. Di samping itu terdapat 34 calon mahasiswa yang bunuh diri karena kesulitan dalam testing masuk universitas. Motif bunuh diri terbesar dikalangan pelajar memang urusan sekoiah (27,4%), disamping soal "cinta" (13,7%). Data ini memang menunjukkan betapa remaja Jepang mengalami kekacauan dalam bab sekolah dan cinta-cintaan. Statistik itu juga mengungkapkan, yang lebih banyak melakukan bunuh diri di antara penduduk adalah kaum prianya. Malah pada 1982 jumlah korban pria hampir dua kali lipat wanitanya: lelaki 13.654, wanita 7.574. Konon, lelaki Jepang hidup dalam lingkungan "susah payah" makanya banyak yang melakukan bunuh diri. Khususnya yang berusia 65 tahun ke atas - banyak yang bunuh diri karena kesulitan kerja atau karena perasaan tak berguna, disamping karena sakit. Bila motif bunuh diri itu diteliti secara keseluruhan, terungkap: 42,8% karena sakit - termasuk kecanduan alkohol dan sakit jiwa 16,1% karena kesulitan ekonomi 11% karena masalah keluarga. Jadi, memang bukan lagi karena kesetiaan atau keyakinan sekitar keagungan tradisi seperti yang membayangi seorang Mishima atau para samurai. Tentang tempat melakukan bunuh diri, urutannya begini: 50,6% di rumah sendiri 7,8% di laut, sungai,dan danau 7,3% dalam mobil 7% di gunung Selanjutnya, dengan persentase kecil, di rumah sakit, di jalan kereta api, dan dari tingkat atas gedung-gedung tinggi. Dilihat dari caranya, jumlah terbesar ternyata melakukan bunuh diri dengan menggantung diri 51,8% Selanjutnya: dengan gas 10,6% menenggelamkan diri 8,6% melompat dari gedung 6,7% dan minum racun 6,3%. Besarnya angka bunuh diri itu lebih terasa bila dibandingkan dengan angka kecelakaan lalu lintas. Tahun 1982, ketika 58 orang tercatat melakukan bunuh diri setiap harinya, jumlah korban kecelakaan lalu lintas menunjuk angka 9.073 berarti hanya 25 orang sehari. Karena jumlah yang luar biasa itu, di Jepang sungguh sulit menemukan harian yang tak memuat berita bunuh diri. Bunuh diri adalah berita yang muncul hampir setiap hari - dan orang Jepang tak lagi terkejut. Aokigahara Jukai, di kaki Gunung Fiji adalah tempat terkenal. Khususnya di sisi utara dan barat,yang merupakan kawasan pepohonan (jukai sendiri berarti samudra pepohonan), banyak orang melakukan bunuh diri. Majalah Time tahun lalu menjuluki kawasan ini suicide forest. Luas Aokigahara Jukai 2.500 ha. Begitu lebatnya pepohonan di sini dengan tinggi 15-20 meter sehingga pada siang hari pun kawasan ini senantiasa gelap. Tentu, hutan jinak ini bisa menjadi sangat indah dan teduh, apalagi karena pepohonan menjadi permukiman berbagai macam burung. Namun surga burung itu selalu diganggu melodi bunuh diri di bawah-bawahnya. Menurut Shoichi Fujiyoshida, komisaris polisi Aokigahara, dalam jangka 10 tahun (1973-1982) terdapat 278 kasus bunuh diri di situ. Perbandingan pria dan wanita: 190:88. Cara yang terbanyak: gantung diri. Disusul minum racun dan obat-obatan keras, dan yang terakhir menggunakan gas pembuangan mobil. Umur rata-rata korban 20-40 tahun. Hampir semua mayat yang ditemukan di situ sudah berupa tulang-belulang atau sisa bangkai yang membusuk. Tambahan lagi, "Kami tak bisa memperkirakan jumlah keseluruhan, sebab banyak sekali yang tak bisa ditemukan," ujar Koike. "Dan jumlah yang hilang itu sulit dikira-kira." Pencegahannya, menurut komisaris polisi itu sulit. Pernah dicoba dilakukan penggeledahan terhadap mereka yang memasuki hutan. Ternyata tak mudah: samudra pepohonan di jukai itu seperti labirin. Hanya sekitar 30 meter dari pinggir hutan orang sudah bisa tersesat dan hilang. Sementara itu"pintu masuk" tak terhitung jumlahnya. Hampir semua bunuh diri di wilayah itu dilakukan seorang diri. Jarang ditemukan kasus shinju, bunuh diri berdua, meski motif yang terbanyak adalah percintaan dan hubungan ganda antara pria dan wanita. Konon, Aokigahara menjadi populer untuk bunuh diri setelah pengarang kontemporer Seicho Matsumoto menulis sebuah cerita bersambung, Nami-noto (Menara Ombak), di sebuah majalah wanita pada tahun 1959-1960. Dalam cerita itu dikisahkan kesedihan seorang istri yang dikhianati suami. Demi kesetiaan dan cinta, nyonya yang malang itu memutuskan untuk masuk ke Aokigahara Jukai. Dan mati. Baru pada tahun 1976 diselenggarakan "penggeledahan" hutan besar-besaran. Armadanya tak tanggung-tanggung: 31 orang polisi, 590 anggota pemadam kebakaran, sembilan camat, dan 630 penduduk. Maka ditemukanlah sejumlah mayat yang masih terhitung bisa diperkirakan tahun kematiannya. Yang tertua berasal dari tahun 1973. Selebihnya tak lagi bisa diusut. Sejak itu pula setiap tahun dilakukan pemeriksaan hutan. Dan senantiasa pula ditemukan jenazah yang sia-sia itu. Paling akhir, 1982, dijumpai delapan mayat, empat di antaranya alias dua pasang adalah korban bunuh diri shinju. Penduduk sekitar jukai itu sendiri merasa kesal kawasan mereka "terpilih" menjadi tempat bunuh diri. Soalnya, angka wisatawan merosot di daerah itu walau memang terdapat juga sejumlah turis yang tertarik justru karena Aokigahara menjadi tempat tindakan nekat itu. Karena itu sejak 1982 polisi melakukan ikhtiar: menempatkan pamflet-pamflet dalam kotak-kotak yang mudah terlihat di "tempat- tempat gawat", misalnya, juga poster poster. isinya antara lain anjuran dari mereka yang pernah berniat bunuh diri dan urung. Konon sampai kini 25 orang bisa diselamatkan berkat ikhtiar itu. DiDesa Shoji, di pinggir Danau Shoji tak jauh dari Aokigahara Jukai, terdapat sebuah kuil bernama Ryusenji. Di sini mayat-mayat tak dikenal yang ditemukan di jukai tadi dimakamkan. Kini permakaman itu tak begitu nyata, tertimbun rerumputan yang tumbuh tinggi di sekitarnya. Permakaman juga terdapat di tiga desa di sekitarnya. Dari situ wajah indah Gunung Fuji terlihat jelas, seolah bertanya:bagaimana mungkin orang ingin meninggalkan dunia yang indah ini? Walaupun demikian air terjun itu terasa agak muram - juga karena kasus bunuh diri. Di situ, menurut catatan polisi, dalam sepuluh tahun ini 46 orang membuang nyawa. Tempat itu sendiri mulai menjadi pilihan 81 tahun yang lalu, ketika seorang pemuda, Fujimura tahun berbuat nekat. Tahunnya 1903. Sebelum terjun ke bawah, Fujimura sempat mengukir wasia dengan pisau pada sebatang pohon di pinggir mulutjeram tinggi itu. Motif bunuh dirinya, katanya,"untuk menyelidiki filsafat." Menurut catatan polisi, mereka yang kemudian meneladan Fujimura umumnya memang berusia muda. Dari 43 kasus, 15 orang berusia sekitar 20 tahun, 2 orang sekitar 30 tahun, 1 orang 60, dan seorang lagi 70 tahun. Selebihnya tak bisa dikenali Maklum, dibawa terjun dari ketinggian 97 meter kepala dan kaki umumnya terlepas dari tubuh. Dan wajah remuk. Sato, petugas keamanan di situ, menjelaskan bahwa belum lama ini tebing belakang air terjun rubuh. Karenanya jeram itu sedikit mundur. Akibatnya, mereka yang melompat dari atas tak sampai mencebur ke kolam di bawah tersangkut dinding tanah. Dan itu sangat menyulitkan. Untuk mengambil mayat lantas diperlukan mobil derek dengan lengan sepanjang 100 meter. Biaya operasi seperti ini sangat mahal - sampai 2,5 juta yen sehari. Sudah lima mayat terpaksa diambil dengan cara ini. Dan itu tentu saja pemborosan yang tak perlu,bagi orang Jepang yang modern. Karenanya gubernur Provinsi Tochigi membangun pagar setinggi dua meter di sekitar mulut air terjun. Masih ada kawasan bunuh diri lain: Kota Atami di Provinsi Shizuoka, sekitar 100 km ke arah barat Tokyo, menghadap Teluk Sagami dan tubir Laut Nishikigaura. Nah. Bentuk tubir laut itu mengundang bunuh diri. Tingginya 70-80 meter. Menurut catatan polisi, selama 24 tahun,1959-1982, 507 orang telah menyia-nyiakan hidupnya sendiri di situ. Itu berarti sekitar 21 orang per tahun . Yang istimewa, di sini yang bunuh diri umumnya berusia lanjut. "Barangkali secara emosional, orang tua lebih menyukai laut yang indah," ujar Kasao Yamashita, wakil kepala polisi Atami. Kedengarannya seperti bergurau. Seperti juga di air terjun tadi, pun di Hotel Akao,yang terletak tepat di bibir Nishikigaura dan memiliki bagian yang menjulur dari sisi tebing, kini dipasang pula pagar tinggi. Tapi angka bunuh diri ternyata tidak merosot. Seperti kata orang-orang disana, apa artinya memanjat dua meter bila tujuannya meloncat 80 meter? Tentunya masih banyak tempat bunuh diri lain. Kompleks perumahan bertingkat Takashimadaria di Tokyo, misalnya. Juga mulut gunung berapi Miharamaya di Pulau Oshima. Tubir Laut Tojinbo di Provinsi Fukui. Atau Tanjung Ashizuri di Provinsi Kochi, Pulau Shikoku. Bunuh diri di Jepang masa kini memang tak sepenuhnya mencerminkan dunia Hagakure. Toh karya yang ditulis 270 tahun yang lalu itu masih saja tampak samar-samar, berdiri jauh di belakang - bunuh diri sebagai "seni", bunuh diri karena setia, bunuh diri karena dosa dan sikap kesatria. Coba, kalau para koruptor Indonesia pada mau bunuh diri. Nanti anak-anak mereka . . . boleh kita jamin dengan beras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini