Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kawasan Konservasi Separuh Lautan

Pemerintah wajib mengalokasikan 30 persen wilayah lautan untuk kawasan konservasi. Targetnya diperluas menjadi 117 juta hektare.

22 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengunjung melintas di atas terumbu karang di Pulau Kebori, Meosmangguandi, Biak, Papua. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pekan belakangan, Roni Bawole sibuk memantau kesehatan karang di Bentang Laut Kepala Burung (BLKB)—sebuah kawasan konservasi perairan seluas 22,5 juta hektare di Papua Barat. Guru besar Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Universitas Papua, Manokwari, tersebut meneliti kondisi ekosistem terumbu karang, biomassa ikan, dan organisme hidup di dasar perairan serta mengukur kondisi kesehatan perairan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kondisi kesehatan karang yang kami pantau meliputi tutupan karang dan biomassa ikan. Hal-hal tersebut merupakan komponen penting untuk mengukur kualitas ekosistem karang dan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi,” ucap Roni dalam keterangannya pada Kamis, 17 Oktober 2024. Menurut dia, pendataan itu harus dilakukan sebagai bentuk keberhasilan dalam penerapan sistem zonasi dan adaptasi atas rencana pengelolaan ruang laut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Program Bentang Laut Kepala Burung diluncurkan pada 2004 untuk menandai hamparan area konservasi yang meliputi perairan Teluk Cenderawasih, Manokwari, Kaimana, Tambrauw, hingga Kepulauan Raja Ampat. Area konservasi itu merupakan rumah bagi 1.669 spesies ikan karang dan 600 jenis terumbu karang. Lantaran sangat kaya akan keanekaragaman hayati, pemerintah membagi daerah itu ke dalam belasan kawasan konservasi perairan yang dihuni oleh 255 suku, menjadi habitat 16 jenis paus dan lumba-lumba, bahkan merupakan pusat segitiga karang laut dunia atau coral triangle.

Wilayah BLKB merupakan bagian dari kawasan yang sedang dipetakan oleh pemerintah. Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) dalam Konferensi Para Pihak ke-15 (COP15) di Montreal, Kanada, pada 2022, mengadopsi Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal (KM-GBF) yang mengamanatkan agar Indonesia mengalokasikan 30 persen wilayah lautnya untuk upaya pelindungan dan pelestarian biodiversitas. Luas kawasan konservasi yang harus tercapai pada 2045 itu adalah 97,5 juta hektare, yang tersebar di banyak wilayah.

Dari target tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan berencana menambah luas area perlindungan hingga 117 juta hektare. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyebutkan alokasi tersebut untuk mengantisipasi potensi terjadinya konflik antara upaya pelindungan laut dan kegiatan pembangunan di wilayah pesisir serta laut. “Makanya perencanaan ruang laut menjadi faktor penting untuk melindungi kelestarian ekosistem,” ucap Trenggono.

Seekor hiu paus di Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Kwatisore, Nabire, Papua. Dok. Humas Pertamina

Trenggono menjelaskan bahwa pemerintah sedang membentuk tim teknis yang melibatkan para akademikus dan organisasi masyarakat sipil. Tim ini bakal bekerja untuk melakukan pemetaan dengan tujuan penataan ruang laut. Kerja-kerja mereka meliputi identifikasi area-area penting di seluruh perairan, kemudian membuat alokasi pengembangan kawasan konservasi hingga rencana perluasan konservasi. Salah satu contoh kegiatannya adalah pemetaan terumbu karang dan padang lamun.

Manajer Senior Perlindungan Laut Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Yusuf Fajariyanto mengatakan pemerintah akan melibatkan masyarakat lokal dalam perancangan pembuatan kawasan konservasi perairan. Dia menyebutnya sebagai pemetaan partisipatif. “Informasi yang diperoleh dari masyarakat kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk peta dua dimensi,” kata Yusuf.

Pemetaan partisipatif diperlukan agar pemetaan dapat secara menyeluruh memotret karakteristik tiap wilayah, tak terkecuali terhadap ancaman bagi konservasi. Daerah-daerah yang dipetakan nantinya adalah wilayah tangkap ikan, budi daya perikanan, wisata bahari, dan area penampakan mamalia laut atau biota langka yang terancam punah. Pemetaan turut mencakup daerah penyu bertelur, wilayah ancaman laut, pemanfaatan ruang laut, hingga memotret area kearifan lokal.

Yusuf mengatakan pemetaan akan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dan machine learning yang dilengkapi dengan pengecekan di lapangan. Misalnya, pemetaan habitat perairan dangkal, seperti terumbu karang, padang lamun, dan hutan bakau di pesisir. “Terumbu karang penting dipetakan karena merupakan rumah bagi 25 persen dari seluruh spesies yang ada di laut.”

Dia menyebutkan agenda pemetaan padang lamun dan karang sangat penting lantaran selama ini Indonesia belum memiliki peta ekosistem dengan kualitas mumpuni. Pemetaan baru dilakukan terhadap ekosistem mangrove melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Adapun karang dan lamun belum dipetakan oleh Kementerian Kelautan karena sebelumnya lamun dan karang menjadi kewenangan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)—lembaga itu dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang kemudian melimpahkan wali data karang dan lamun ke Kementerian Kelautan.

Ragu di Masa Transisi Pemerintahan

Rancangan konservasi perairan yang digagas pemerintah merupakan bagian dari dokumen panduan Marine Protected Area Vision 30x30. Angka tersebut merujuk pada inisiatif untuk menetapkan 30 persen luas daratan dan lautan sebagai wilayah konservasi pada 2030. Pemerintah kemudian membuat target ambisius dengan meningkatkan MPA Vision 30x45 atau 30 persen kawasan konservasi di darat dan 45 persen di laut.

Dokumen tersebut memuat target dan komitmen dalam upaya pelindungan, pencegahan degradasi ekosistem, penetapan lokasi penelitian ilmiah, pengembangan pariwisata, serta program untuk memperkuat komunitas karang yang rapuh. Negara-negara yang berkomitmen melakukan pelindungan akan mendapat pendanaan internasional dari negara-negara maju, salah satunya yang dibahas dalam COP ke-16 (COP16) Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) yang sedang berlangsung di Cali, Kolombia.

Co-Lead Global Defund Nature Destruction Now Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra menjelaskan bahwa Indonesia menjadi negara yang berpengaruh besar dalam COP16 CBD. Musababnya, Indonesia termasuk negara megabiodiversitas. “Sudah disepakati bahwa negara maju akan memberikan dukungan US$ 20 miliar bagi negara-negara megabiodiversitas, seperti Brasil, Kongo, dan Indonesia,” ucapnya, yang menghadiri COP16 CBD di Cali.

Persoalannya, dia menduga pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto belum mengambil sikap dalam forum COP16 ihwal komitmen menjaga keanekaragaman hayati. Pertimbangannya, Prabowo belum mengumumkan arah kebijakan pemerintah di masa mendatang. Apalagi komitmen dalam agenda CBD merupakan mandatory atau kewajiban untuk melaksanakan bagi negara-negara pihak.

Ikan diantara terumbu karang di Waiwo, Raja Ampat, Papua Barat. Dok. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati khawatir terhadap rencana pemerintah memetakan tata ruang laut dan pesisir yang terintegrasi. Hal ini disebabkan oleh pemetaan yang sebelumnya dilakukan melalui Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) tidak mengakomodasi masukan nelayan dan masyarakat adat secara bermakna.

“Saya justru khawatir agenda pertemuan pemetaan di Bali hanya sebagai pintu masuk bagi para investor untuk mengajukan izin-izin terkait dengan industri ekstraktif di ruang laut,” ucap Susan. Kecurigaan Susan ini dibuktikan dengan tak kunjung disahkannya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat yang mengakomodasi hak publik. Persoalannya, pemerintah justru merencanakan eksploitasi laut untuk proyek reklamasi dan ekspor pasir laut.

Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan Muhammad Yusuf menjamin program pemetaan ruang laut justru bertujuan menjaga ekosistem, termasuk habitat lamun dan karang. Bahkan, pada tahun ini, pemerintah menargetkan dapat merampungkan Peta Lamun Nasional. “Terutama mengingat perannya sebagai ekosistem karbon biru yang penting dalam upaya pengendalian perubahan iklim dari sektor kelautan,” ucap Yusuf.

Selain itu, pemerintah tengah mengimplementasi penataan pemanfaatan dan perizinan ruang laut atau yang dikenal dengan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Penataan ini untuk menghindari adanya kegiatan eksploitasi yang merusak ekosistem pesisir dan laut. Dalam jangka panjang, Kementerian Kelautan turut membangun Data Karbon Lamun sebagai upaya mengembangkan jejaring karbon biru lamun di tingkat nasional ataupun sub-nasional.

Komitmen ini merupakan bagian dari upaya pemerintah memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca dalam Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional Kedua (Second NDC). Hal ini sejalan dengan dokumen Strategi Jangka Panjang Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (LTS-LCCR) agar dapat mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Karena alasan tersebut, dalam dokumen Second NDC, pemerintah menambahkan sektor kelautan atau karbon biru sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus