Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pemerintahan Prabowo Subianto sedang gencar mengobral bisnis penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS)
Teknologi penangkapan karbon bukan hal baru dan telah banyak dikritik.
Belum ada kerangka kebijakan penangkapan dan penyimpanan karbon di Indonesia.
PEMERINTAHAN Prabowo Subianto sedang gencar mengobral bisnis penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) kepada negara lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada awal bulan ini, Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo menegaskan kembali kesiapan Indonesia menjadi gudang penyimpanan karbon di kawasan Asia Tenggara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CCS digadang-gadang sebagai bisnis hijau sekaligus solusi baru perubahan iklim. Penelusuran saya mengenai pengalaman CCS di banyak negara justru menunjukkan hal sebaliknya. Teknologi ini berdampak semu serta memiliki banyak kendala, dengan risiko lingkungan yang tinggi dan biaya yang sangat mahal.
Ilustrasi asap pabrik. Shutterstock
Kritik dan Preseden Gagal Proyek CCS
Teknologi penangkapan karbon bukanlah hal baru. Pada 1970-an, teknologi ini pertama kali diterapkan di Texas, Amerika Serikat, melalui skema carbon capture, utilization, and storage (CCUS). Prinsipnya sederhana: karbon dioksida atau CO₂ ditangkap dari sumber industri atau atmosfer, lalu digunakan kembali untuk tujuan baru.
Dalam banyak praktik, CO₂ yang ditangkap dari sumber industri disalurkan ke ladang minyak terdekat untuk meningkatkan produksi minyak bumi melalui teknik yang dikenal dengan enhanced oil recovery (EOR). Model bisnis ini menguntungkan karena surplus minyak yang dihasilkan mampu menutupi biaya penangkapan karbon.
Meski begitu, skema CCUS menuai kritik karena dianggap lebih condong mendukung keberlanjutan industri bahan bakar fosil ketimbang mengurangi emisi untuk mengatasi perubahan iklim. Dengan peningkatan produksi minyak karena injeksi CO₂, otomatis emisi yang dilepaskan dari pembakaran minyak itu akan jauh lebih besar daripada karbon yang ditangkap.
Di tengah kritik itu, muncullah teknologi CCS sebagai alternatif. Secara prinsip, cara kerja CCS sebenarnya hampir sama dengan CCUS. Bedanya, teknologi CCS hanya menyimpan CO₂ secara permanen di struktur geologi bawah tanah tanpa menggunakannya kembali. Dengan begitu, tidak akan ada emisi yang dilepaskan ulang. CCS pun lebih diterima oleh pegiat lingkungan pada masa itu.
Proses penangkapan, transportasi, dan penyimpanan karbon (courtesy of Equinor ASA).
Salah satu proyek CCS komersial pertama yang berhasil di dunia adalah Sleipner di Norwegia pada 1996. Namun proyek ini lebih terdorong oleh upaya menghindari pajak karbon yang tinggi di negara tersebut, bukan semata-mata upaya menangani krisis iklim.
Setelah Norwegia, banyak negara maju lain yang mengembangkan teknologi serupa. Sayang, data global menunjukkan mayoritas proyek CCS ini gagal.
Laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) pada 2022 mengungkap, dari 13 proyek besar yang dianalisis, tujuh berkinerja buruk, dua gagal total, dan satu dihentikan.
Sebut saja proyek Kemper di Amerika Serikat pada 2017 yang dihentikan meski sudah menghabiskan pendanaan sebesar US$ 270 juta atau setara dengan Rp 4,39 triliun dari pajak masyarakat.
.
Di Australia, proyek Gorgon pada 2020—yang disebut sebagai proyek CCS terbesar di dunia dan didukung dana pemerintah sebesar AUD 60 juta atau setara dengan Rp 619,8 miliar—gagal mencapai target hingga 50 persen selama lima tahun pertama.
Kegagalan proyek tersebut umumnya disebabkan oleh kendala teknis, seperti tekanan di penyimpanan karbon yang terlalu rendah dan kebutuhan energi yang sangat besar.
Sebagai gambaran, menurut International Energy Agency (IEA), jika dunia mengandalkan CCS untuk membatasi pemanasan global tidak melebihi 1,5 derajat Celsius, pada 2050, teknologi ini akan membutuhkan energi sebesar 26 peta-jam. Jumlah ini bahkan lebih besar dari seluruh kebutuhan energi dunia pada 2022. Ini menunjukkan bahwa CCS sangat boros energi dan sulit diterapkan secara luas.
Dari segi biaya, penerapan CCS membutuhkan investasi yang sangat besar, yakni sekitar US$ 3,5 triliun atau setara dengan Rp 56,7 ribu triliun per tahun. Jumlah itu kira-kira sepadan dengan 2,5 kali lipat produk domestik bruto Indonesia dari sekarang hingga 2025.
Dana sebesar itu sebanding dengan biaya pembangunan 407 pembangkit listrik tenaga nuklir berkapasitas 1 gigawatt, atau deretan kincir angin berkapasitas 2.692 gigawatt.
Adapun tiga proyek penangkapan karbon yang diklaim sukses semuanya berbasis EOR alias memicu produksi lebih banyak bahan bakar fosil yang ujungnya malah melepaskan lebih banyak emisi.
Ilustrasi asap pabrik. Shutterstock
Kebijakan CCS di Indonesia
Dalam praktiknya, ada dua skenario model bisnis CCS. Pertama, CCS dipakai untuk sektor industri yang sulit didekarbonisasi, seperti industri semen dan baja. Skenario ini biasa ditujukan untuk mengurangi emisi karbon dari proses produksi di dalam negeri, tapi biayanya sangat tinggi—75-140 persen lebih mahal dibanding metode konvensional.
Kedua, CCS digunakan sebagai jasa penyimpanan karbon atau carbon storage bagi negara-negara maju, seperti Singapura atau Korea Selatan, yang tidak memiliki cukup lahan untuk menyimpan emisi mereka sendiri. Skenario ini bisa menghasilkan "cuan" bagi negara yang punya lahan luas untuk menyimpan karbon, seperti Indonesia.
Pemerintah Indonesia jelas lebih condong pada skenario kedua. Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2024 secara eksplisit menyebutkan pertimbangan investasi dalam penyusunan regulasi CCS, di samping target kontribusi yang ditetapkan secara nasional atau nationally determined contribution dalam Perjanjian Paris.
.
Peraturan warisan Presiden Joko Widodo pada akhir masa jabatannya itu mengalokasikan 30 persen dari kapasitas penyimpanan untuk CO₂ impor. Meskipun 70 persen kapasitas sisanya dialokasikan untuk kebutuhan industri dalam negeri, tingginya biaya penerapan CCS sudah hampir pasti tidak terjangkau oleh industri lokal.
Dalam banyak kesempatan, pernyataan pemerintah juga lebih sering menyoroti potensi nilai investasi ketimbang bicara soal urgensi pengurangan emisi domestik.
Hal yang harus diingat: pilihan menjadi tempat sampah karbon negara lain ini memiliki risiko besar, tidak hanya bagi lingkungan, tapi juga bagi kedaulatan negara.
Dari sisi lingkungan, ada potensi kebocoran karbon selama transportasi dan penyimpanan yang harus ditimbang serius.
Potensi kebocoran ini bukan sekadar kekhawatiran tak beralasan, tapi sudah terbukti pernah terjadi pada 2024 di sumur injeksi penangkapan karbon pertama di AS. Injeksi CO₂ pada sumur-sumur di seluruh AS saat itu akhirnya dihentikan sementara. Kebocoran karbon ini berbahaya karena bisa mencemari air minum atau menyebabkan lepasnya gas rumah kaca dalam jumlah besar ke atmosfer.
Kebijakan ini juga menyangkut aspek kedaulatan negara. Di saat negara maju bisa menikmati udara bersih dengan menyingkirkan emisinya ke Indonesia, masyarakat lokal harus menanggung potensi dampak jangka panjang, seperti degradasi lingkungan, kerusakan ekosistem, dan risiko kesehatan.
Melihat semua risiko ini, pertanyaan besarnya adalah: apakah rakyat Indonesia bersedia negaranya menjadi “tempat sampah karbon” dunia?
Kita memiliki hak untuk menolak ini. Alih-alih memilih CCS yang kontroversial, solusi yang lebih berkelanjutan harus berfokus pada pengembangan energi terbarukan dan reduksi emisi langsung di dalam negeri. ●
Artikel ini pertama kali dipublikasikan di The Conversation
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo