Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah lebih dari 100 hari, Presiden Prabowo Subianto menjadi nakhoda pemerintahan baru. Selama itu pula kita dikejutkan oleh pernyataan, kebijakan, hingga regulasi yang muncul silih berganti. Mencermati 100 hari pertama pemerintahan Prabowo jadinya mirip dengan ketegangan ketika naik roller coaster. Bedanya, jika naik kereta luncur kita beroleh sensasi yang menyenangkan. Tapi melihat jalannya pemerintahan Prabowo, ada rasa muram dan ragu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi ini tergambar dalam banyak hal. Salah satunya di pasar keuangan, ketika yield atau imbal hasil obligasi negara berada dalam tren menanjak. Yield Surat Berharga Negara (SBN) bertenor 10 tahun bercokol pada interval 6-7 persen semenjak Oktober 2024 atau ketika Prabowo dilantik, hingga menjelang akhir Januari. Di saat yang bersamaan, sejumlah indikator makro ekonomi seperti inflasi relatif stabil sehingga tren tingginya imbal hasil obligasi menjadi anomali. Tingginya yield menjadi pertanda jika investor sedang ragu ketika memegang surat utang negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas, apa yang membuat investor ragu?
Pembaca, seperti yang kami lakukan pada pemerintahan sebelumnya, tim redaksi Tempo kali ini juga merancang liputan khusus yang menyoroti jalannya 100 hari Kabinet Merah Putih Prabowo Subianto. Fokus liputan ini ada pada bidang politik nasional, politik internasional dan kebijakan diplomasi, ekonomi dan bisnis, hukum serta tata kelola lingkungan.
Sejak awal Januari kami berdiskusi dengan banyak narasumber. Tim Ekonomi dan Bisnis, misalnya, menggelar curah pendapat dengan para pakar dari The Prakarsa, Center of Economic and Law Studies atau Celios, serta perwakilan Dewan Ekonomi Nasional.
Tak hanya di meja diskusi, kami juga terus memantau aneka peristiwa hingga perjalanan proyek yang masuk dalam rangkaian Program Terbaik Hasil Cepat alias Quick Wins. Ini adalah ramuan kebijakan Prabowo untuk jangka pendek, yang diharapkan memberikan daya ungkit besar pada perekonomian maupun kesejahteraan publik. PHTC antara lain berupa makan bergizi gratis, pemeriksaan kesehatan, optimalisasi penerimaan negara, hingga cetak sawah memang mulai berjalan.
Tapi, apakah jprogram tersebut optimal dan memberikan efek signifikan pada kesejahteraan? Ini yang masih menjadi pertanyaan.
Temuan kami di lapangan menunjukkan ada kerepotan, kekisruhan hingga inkonsistensi pemerintah dalam menjalankan program-program ini. Makan bergizi gratis, misalnya, menyisakan masalah di sana-sini. Mulai dari anggaran yang membengkak hingga masalah dalam operasionalnya. Satu contohnya adalah keracunan siswa sekolah di Solo setelah menyantap hidangan dari program ini.
Keinginan melibatkan usaha mikro kecil dan menengah dalam makan bergizi gratis juga harus terkubur manakala pemerintah mempersyaratkan modal besar bagi swasta yang hendak masuk ke program ini. Makan bergizi gratis pun bakal menjadi bancakan para pengusaha besar serta pihak-pihak yang dekat dengan pemerintah ketimbang memberdayakan pengusaha kecil atau petani gurem sebagai pemasok.
Adapun inkonsistensi kebijakan terlihat ketika Prabowo membatalkan kenaikan pajak pertambahan nilai sehingga ada potensi bolongnya penerimaan negara. Untuk menambalnya, Prabowo tiba-tiba merilis Instruksi Presiden Nomor 1/2025 yang berisi rencana penghematan belanja kementerian dan lembaga pemerintah.
Dengan target penghematan Rp 300an triliun, banyak belanja yang harus dipangkas. Kebijakan ini di satu sisi layak mendapatkan apresiasi karena Prabowo memiliki komitmen politik untuk mendorong efisiensi anggaran birokrasi. Sesuatu yang sejak lama direncanakan pemerintahan sebelumnya namun tak pernah terjadi. Tapi setiap kebijakan tentu ada dampaknya. Efek buruknya antara lain risiko tersendatnya layanan publik karena ketiadaan anggaran operasional, atau terhentinya efek domino dari belanja pemerintah pada sektor usaha tertentu.
Di sektor pangan juga terjadi kegaduhan setelah beberapa pejabat pemerintah sekonyong-konyong menyatakan penghentian impor sejumlah komoditas. Prabowo dan para menteri rupanya percaya diri jika Indonesia bisa menjalankan swasembada pangan. Ini adalah cita-cita yang mulia, namun tak realistis manakala produksi beras, jagung, tebu, dan kedelai kita tak mencukupi kebutuhan. Swasembada pangan pun hanya sebatas jargon populis ketimbang aksi nyata. Di lain pihak, proyek cetak sawah juga masih dikuasai oleh pengusaha yang dekat dengan pemerintah.
Persoalan semacam itu yang membuat banyak investor, terutama dari luar negeri, ragu akan keberlanjutan program-program Prabowo. Jika mengutip laporan sejumlah lembaga seperti Bank Dunia, implementasi program populis dan rencana peningkatan belanja sosial dapat mengerek belanja hingga 3 persen dari produk domestik bruto Indonesia pada tahun pertama dan 2 persen pada tahun-tahun berikutnya. Membengkaknya jumlah instansi pemerintah juga berpotensi meningkatkan belanja. Dan untuk menutupinya kemungkinan besar pemerintah menambah utang.
Karena itu sulit bagi kami untuk bergembira ketika menulis laporan khusus 100 hari pemerintahan Prabowo. Apakah kondisi ini akan berlanjut atau ada perbaikan? Selamat membaca.