Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Newsletter

Buru-buru Membangun PLTN Pertama

Pemerintah untuk membangun PLTN dinilai terburu-buru dan memaksakan diri. Semua sumber daya harus impor.

14 Februari 2025 | 22.00 WIB

Buru-buru Membangun PLTN Pertama
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Niat Pesiden Prabowo Subianto untuk mempercepat proses pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pada tahun depan semakin nampak. Secara paralel, pemerintah mengejar pembaruan regulasi yang menempatkan energi berbasis nuklir bukan lagi menjadi pilihan terakhir seperti sebelumnya. Dewan Energi Nasional (DEN) menyebut perombakan regulasi ini bagian dari sikap negara atau national position—satu dari 19 kesiapan infrastruktur yang disyaratkan oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pemerintah turut merevisi Kebijakan Energi Nasional, merancang Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan, serta Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2024-2040 yang bakal digulirkan di parlemen pada tahun depan. DEN bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memasukkan draf peta jalan pembangunan PLTN sebesar 7 gigawatt (GW) pada 2040 dan 15 GW pada 2045. Lalu berlanjut 22 GW pada 2050, 27 GW pada 2055, dan 35 GW pada 2060. Hitung-hitungan ini didapat dari kebutuhan listrik 1.590 terawatt-jam pada 2045.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Anggota DEN Unsur Pemangku Kepentingan Akademikus, Agus Puji Prasetyono, menyebut pemerintah dalam setahun belakangan aktif menjajaki kerja sama pembangunan PLTN dengan sejumlah perusahaan multinasional. Pada pekan lalu, misalnya, ia menyempatkan waktu bertemu dengan Kepala Perwakilan China National Nuclear Corporation Overseas Ltd. (CNOC) untuk Indonesia, Su Bin.

Selain dengan CNOC—anak usaha perusahaan pelat merah China National Nuclear Corporation (CNNC)—Agus juga menerima sejumlah korporasi lain. Di antaranya Électricité de France atau EDF, Korea Hydro & Nuclear Power atau KHNP, Thorcon International dari Amerika Serikat, Toshiba Corporation dari Jepang, dan Rosatom State Nuclear Energy Corporation dari Rusia.

“Pilihannya ke mana, tentu yang paling menguntungkan bagi Indonesia,” kata Agus pada Rabu, 11 Desember 2024. “Yang penting PLTN sudah harus beroperasi komersial pada 2032.”

Persoalannya, niat pemerintah untuk membangun PLTN dinilai terburu-buru dan memaksakan diri. Pertimbangannya, Indonesia bukan sebagai inovator pembangkit nuklir, melainkan sekadar mengadopsi konsep PLTN dari negara lain. PLTN ini sepenuhnya impor: mulai dari teknologi, para tenaga ahli, hingga bahan bakarnya. Pemodelan yang dibuat Institute for Essential Services (IESR) menunjukkan adopsi nuklir membutuhkan biaya yang besar ketimbang memakai pembangkit lain. 

Masalah lain adalah kemunduran riset ketenaganukliran nasional sejak Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kemunduran itu ditandai tidak adanya persiapan pembangunan PLTN yang semula ditangani oleh Batan, kemudian diabaikan BRIN. Selain itu, rasio jumlah peneliti masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan Cina. 

Pembaca, di rubrik Ilmu dan Teknologi Majalah Tempo terbaru, Anda juga dapat membaca wawancara kami dengan Anggota Dewan Energi Nasional Agus Puji Prasetyono. Lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang Energi ini memiliki tugas, antara lain, merancang dan merumuskan Kebijakan Energi Nasional dan menetapkan Rencana Umum Energi Nasional. Selamat membaca.

Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus