Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Halo, pembaca nawala Cek Fakta Tempo!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Industri media di Indonesia menghadapi tantangan serius dengan munculnya model bisnis baru yang memicu disinformasi. Hal itu dikenal sebagai ‘model inkubator’. Skema tersebut memungkinkan situs berita kecil menghasilkan artikel dalam jumlah besar tanpa ada yang memastikan kebenarannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika ratusan artikel yang diproduksi tidak melalui proses verifikasi, apa yang membedakannya dengan kabar palsu?
Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Bagian ini ditulis oleh Artika Rachmi Farmita dari Tim Cek Fakta Tempo
Potensi Disinformasi dalam Konten Clickbait Media
Penelitian oleh Profesor Ika Idris dari the Data & Democracy Research Hub, Monash University Indonesia mengungkap bahwa model inkubator ini memberikan imbalan finansial berdasarkan tampilan halaman dan pendapatan dari Google AdSense.
Pikiran Rakyat Media Network—bersama dengan pemain lain seperti Kompas Gramedia Group—adalah salah satu pelopor model ini. Pembuat konten seringkali tidak mendapatkan gaji tetap, hanya dibayar berdasarkan traffic dan iklan yang dihasilkan. Model ‘bayar per klik’ ini mendorong produksi konten yang cepat tanpa memberi perhatian pada validitas informasi.
Meskipun kedua grup media itu punya reputasi menghasilkan berita berkualitas tinggi, praktik model inkubator ini menciptakan ekosistem disinformasi. Pikiran Rakyat Media Network misalnya, menetapkan target agar setiap redaksi mempublikasikan minimal 100 artikel per hari dan mengikuti resep yang ditetapkan untuk memainkan algoritma—mengikuti rekomendasi pencarian Google, Google Analytics, dan Google Trends.
Dalam wawancara Profesor Ika dengan pembuat konten dan mitra Pikiran Rakyat Media Network, terungkap adanya praktik yang lebih mirip dengan bentuk perbudakan modern. Beberapa informan menceritakan praktik predator dan eksploitatif dalam model tersebut karena mereka tidak menerima gaji, tunjangan, atau asuransi kesehatan apa pun dari Jaringan Media Pikiran Rakyat. “Honornya hanya berdasarkan pada share traffic dan Google AdSense yang dihasilkan dari artikel mereka.”
Model pendapatan ‘bayar per klik’ ini mendorong para penulis untuk mendaur ulang artikel dengan cara menyalin, menempel, dan memelintir, sehingga efisien dan cepat. Mengecek fakta dianggap hanya memperlambat kerja.
Contohnya ketika terjadi polarisasi mengenai Islam versus Pancasila pada tahun 2021. Saat itu, halaman Facebook Pikiran Rakyat Media Network mem-posting sekitar 197 kali per hari. Sebagian besar posting-an adalah artikel yang mengandalkan pernyataan politisi dan influencer media sosial, yang diunggah tanpa verifikasi. Banyak yang berisi opini, asumsi, spekulasi, ujaran kebencian, dan tuduhan terkait Pancasila dan Islam, Palestina dan Israel, bahkan KPK.
Pentingnya verifikasi sumber terbukti sulit dijalankan dalam model bisnis inkubator ini. Penelitian oleh Remotivi dengan Narasi dan Center for Information Resilience (CIR), Tribun Timur sebagai bagian dari Tribun Network turut terlibat dalam menyebarkan informasi palsu terkait perang Rusia-Ukraina. Dengan kekuatan jejaringnya, Tribun mengglorifikasi invasi yang menciptakan tragedi kemanusiaan dan akan menormalisasi kekerasan.
Melihat tantangan model bisnis seperti ini, kita perlu memantapkan diri untuk menjadi audiens yang cerdas. Jangan sampai hanya menjadi korban informasi palsu oleh pembuat konten di media yang hanya mencari keuntungan finansial tapi mengesampingkan cek fakta.
Bagian ini ditulis oleh Inge Klara Safitri dari Tempo Media Lab
Cek Fakta Pilihan
Benarkah Gelombang Kedatangan Pengungsi Rohingya untuk Menangkan Calon Tertentu dalam Pemilu 2024?
Sebuah narasi beredar di Instagram dan Facebook akun ini dan ini, berisi klaim bahwa gelombang kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia merupakan bagian dari permainan untuk memenangkan salah satu paslon capres-cawapres dalam Pemilu 2024. Narasi itu mengaitkan kasus seorang pengungsi Rohingya di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, yang pernah masuk daftar pemilih tetap (DPT) Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kemungkinan ikut mencoblos pada pemilu tahun 2018.
| Hasil Pemeriksaan fakta
Sesungguhnya tujuan pengungsi Rohingya yang melakukan perjalanan dari Bangladesh ke Indonesia dalam beberapa kelompok itu, adalah untuk menyelamatkan diri dari ancaman bahaya di Myanmar negerinya, dan Bangladesh, tempat mereka mengungsi sebelumnya. Kasus satu pengungsi Rohingya yang membuat KTP, KK, dan masuk DPT tidak bisa digeneralisasi terjadi pada seluruh pengungsi yang saat ini mencari keselamatan di Indonesia.
Waktunya Trivia!
Benarkah 70 Juta Pengungsi akan Tinggal di Indonesia?
Sebuah video berlogo Tempo.co beredar di TikTok dan Facebook ini dan ini disertai narasi terdapat 70 juta pengungsi yang akan tinggal di Indonesia. Dikatakan juga bahwa Indonesia akan hancur bila tidak memulangkan pengungsi Rohingya ke negara asalnya. Isi video memperlihatkan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dan Ketua Komisioner Pengungsi PBB (UNHCR) untuk Indonesia, Thomas Vargas.
| Bagaimana hasil pemeriksaan faktanya?
Ada Apa Pekan Ini?
Dalam sepekan terakhir, klaim yang beredar di media sosial memiliki isu yang sangat beragam, mulai dari isu politik, sosial, dan kesehatan. Buka tautannya ke kanal Cek Fakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Benarkah Video yang Diklaim Kontainer Pengangkut Logistik Pemilu untuk Prabowo-Gibran?
- Benarkah KPU Susupkan 52 Juta Pemilih Pemilu 2024 dalam DPS?
- Benarkah Israel Berada di Belakang Pencapresan Prabowo Subianto?
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini. Ingin mengecek fakta dari informasi atau klaim yang anda terima? Hubungi ChatBot kami.
Ikuti kami di media sosial: