Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Newsletter

CekFakta #305 Menelisik Penggunaan Narasi "Antek Asing" oleh Prabowo

Prabowo jadi aktor yang paling sering menggunakan narasi antek asing.

27 Maret 2025 | 15.40 WIB

CekFakta #305 Menelisik Penggunaan Narasi "Antek Asing" oleh Prabowo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Halo, pembaca nawala Cek Fakta Tempo!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk kesekian kalinya, Presiden Prabowo Subianto menyebut ada kekuatan asing yang ingin memecah belah Indonesia melalui organisasi non-pemerintah dan media massa. Namun belakangan, narasi kekuatan asing atau ‘antek asing’ ini kembali beredar secara masif di media sosial. Istilah ini ramai berkaitan dengan revisi UU TNI, dialamatkan kepada Kelompok masyarakat sipil yang memprotes rapat yang digelar tertutup di Hotel Fairmont pada 20 Maret silam. Mengapa narasi ‘antek asing’ ini jamak digaungkan di era Prabowo?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Menelisik Penggunaan Narasi “Antek Asing” oleh Prabowo

Menurut kamus, istilah ‘antek’ merujuk pada pihak yang diperalat atau menjadi kaki tangan pihak lain. Istilah 'antek asing' ini kemudian kerap digunakan oleh rezim yang berkuasa untuk meredam kritik terhadap kebijakan pemerintah, termasuk di era Presiden Prabowo Subianto.

Tim Cek Fakta Tempo mengumpulkan data-data di internet dengan kata kunci ‘antek asing’ untuk menelusuri asal muasal dan pola penggunaan narasi tersebut di Indonesia. Dari temuan 38 artikel berita yang mewakili satu peristiwa spesifik, Prabowo Subianto adalah aktor yang paling banyak menyebut narasi ini sebanyak 17 kali. Bahkan ia terbilang konsisten mengusung narasi ‘antek asing’ dari masa ke masa; pada masa pemilihan presiden 2014 (3 kali), pemilihan presiden 2019 (4 kali), saat menjabat Menteri Pertahanan (4 kali), pemilihan presiden 2024 (3 kali), dan kini sebagai Presiden RI (2 kali).

Sebenarnya, strategi ini bukan hal baru dan telah menjadi pola umum di negara-negara dengan kepemimpinan otoriter. Menurut Wakil Direktur Herb Feith Indonesian Engagement Centre Monash University-Indonesia, Sabina Satriyani Puspita, narasi semacam ini sering kali dimanfaatkan oleh rezim yang tidak memiliki visi-misi pemerintahan yang jelas atau rencana strategis yang kongkrit. 

“Dengan menciptakan imaji 'musuh atau ancaman bersama,' penguasa otoriter merasa lebih mudah mengendalikan emosi, pikiran dan perilaku penduduknya yang mode hidupnya bertahan (survival mode) karena merasa secara ekonomi, sosial dan politik tidak aman,” ujarnya kepada Tempo via email, 21 Maret 2025. 

Sabina mencontohkan Presiden AS, Donald Trump, yang kerap digugat secara pidana dan perdata sebelum menjadi presiden. Berlatar belakang pengusaha, Trump memanfaatkan situasi ekonomi global yang tidak menentu dengan menggaungkan narasi Cina dan Meksiko sebagai pihak yang merebut lapangan-lapangan pekerjaan warga Negeri Paman Sam. 

“Hal ini ia lakukan untuk membungkam pengkritiknya dengan dukungan mayoritas orang ras kulit putih yang merasa terancam secara ekonomi dan status sosialnya oleh meningkatnya keberagaman demografi AS,” kata doktor ilmu politik dari Northwestern University, Amerika Serikat itu.

Strategi narasi ‘antek asing’ ini juga menggejala di kawasan Asia pada era 1990-an. Tujuannya untuk menyingkirkan kelompok-kelompok yang dinilai basis sumber daya materi atau massa pendukungnya besar dan cenderung melawan preferensi sosial-politik serta menghalangi pembuatan dan implementasi keputusan pemerintahannya. Dengan demikian, upaya penguasa otoriter untuk menggalang simpati pendukungnya dan mempertahankan kekuasaan mereka jadi lebih mudah. 

Di masa itu, beberapa pemimpin menggunakan konsep 'Asian Values' untuk menolak prinsip-prinsip HAM yang dianggap sebagai nilai Barat (Western values) yang asing dan tidak cocok untuk budaya hidup di Asia. “Akibatnya, aktivis dan pejuang HAM kerap mengalami intimidasi dan represi, baik dari aparat maupun masyarakat yang terpengaruh oleh propaganda tersebut,” kata Sabina.

Sementara itu di Indonesia, penyebaran narasi ‘antek asing’ ini semakin masif dan ampuh akibat pesatnya penggunaan media sosial. Rezim yang berkuasa memanfaatkan platform digital untuk menciptakan pencitraan, menyebarkan disinformasi, dan menggerakkan buzzer guna mengarahkan opini publik. Minimnya literasi digital masyarakat memperparah efektivitas strategi ini, sehingga banyak orang mudah terpengaruh tanpa mempertanyakan kebenarannya. 

Untuk itu, Sabina mendorong masyarakat agar berani mendiskusikannya secara terbuka. Publik seharusnya lebih berani mempertanyakan dan mendiskusikan hal-hal yang didengar, dibaca, atau apapun yang kurang dimengerti dari narasi-narasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. “Bisa dengan orang atau teman yang dipercayai atau ragam opini ahli lain di media massa atau pun online yang terpercaya,” ujarnya.

Jadi, apakah Anda bersedia menjadi salah satu orang yang kritis dan berani mempertanyakan narasi ‘antek asing’ ini?

Ada Apa Pekan Ini?

Dalam sepekan terakhir, klaim yang beredar di media sosial memiliki beragam isu. Buka tautannya ke kanal Cek Fakta Tempo untuk membaca hasil periksa fakta berikut:

Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini. Ingin mengecek fakta dari informasi atau klaim yang anda terima? Hubungi Tipline kami.

Ikuti kami di media sosial:





close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus