Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

<font size=1 color=#CC0000>ALJAZAIR</font><br />Kembalinya ’Prancis Bayangan’

Tim Rubah Gurun lolos ke Afrika Selatan setelah melewati pertarungan sengit dan konflik politik melawan Mesir. Pelatih Rabah Saadane terbukti sakti.

7 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANPA bermain di tim nasional senior, julukan le petit Zidane atau Zinedine Zidane muda yang pernah dia sandang cuma tinggal cerita masa lalu. Sampai usianya lewat 25 tahun, April lalu, Mourad Meghni tak mendapat peluang itu. Padahal dia adalah playmaker Prancis saat menjuarai Piala Dunia U-17 pada 2001 dan andalan negeri yang sama di tim U-21.

Kesempatan akhirnya datang meski bukan dari Prancis, melainkan dari tim Aljazair, negeri asal orang tuanya. Ini berkah dari keputusan baru yang dibuat Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) pada Agustus lalu. Aturan lama melarang seorang pemain pindah memperkuat tim nasional negara lain bila sudah melewati usia 21 tahun. ”Saya bangga mengenakan seragam hijau-putih (Aljazair),” kata gelandang yang merumput di Seri A Italia bersama Lazio ini.

Debutnya bersama Le Fennecs (Pasukan Rubah Gurun)—julukan Aljazair—terjadi tatkala menang 1-0 dalam uji coba melawan Uruguay, Agustus lalu. Empat bulan kemudian, Rabu dua pekan lalu, Meghni mendapat medan yang baik untuk membuktikan kesetiaan kepada tanah nenek moyangnya: melakoni pertandingan hidup-mati, partai playoff kualifikasi Piala Dunia 2010 zona Afrika, melawan Mesir. Pertandingan diadakan di Khartoum, Sudan.

Mourad Meghni bertarung sepenuh hati bersama seluruh skuad Aljazair yang separuh lebih adalah para pemain kelahiran Prancis. Mereka termasuk tandem Meghni, Hassan Yebda, bek kiri Nadir Belhadj, pencetak gol tertinggi Saifi, juga sang kapten Yazid Mansouri. Hasilnya, Aljazair lolos karena menang 1-0. ”Gol kami sangat fantastis,” ungkap Meghni. Gol berawal dari umpan silang Karim Ziani yang diselesaikan dengan tendangan voli oleh Antar Ziani, menit ke-40. Kedua pemain itu juga kelahiran Prancis.

Tentu saja, tidak semua memiliki alasan yang sama dengan Meghni. Sebagian besar pemain sudah memilih bergabung dengan Aljazair sejak awal karier mereka meski lahir di Prancis. ”Pria-pria Prancis” macam ini menguntungkan bagi pelatih Rabah Saadane untuk meracik tim. Pelatih sepuh, 63 tahun, itu memuji loyalitas para pemainnya. ”Kami pantas lolos ke Afrika Selatan karena bertarung dengan hati.”

Aljazair memang bekas jajahan Prancis. Sekitar 1,5 juta keturunan Aljazair hidup di Prancis. Imigran keturunan Aljazair paling banyak terdapat di Paris dan Marseille. Ribuan dari mereka berkumpul di bawah layar raksasa di Champs Elysees, Paris, untuk menonton siaran langsung Aljazair versus Mesir. Di sini pada 1998 mereka juga melakukan hal yang sama ketika Zidane, bintang keturunan Aljazair, mencetak dua gol di final yang membawa Prancis menjadi juara dunia.

Begitu wasit meniup peluit panjang, Paris, Marseille, juga Lyon, bak menjadi tanah milik orang Aljazair. Bendera hijau-putih bergambar bulan-bintang berkibar di mana-mana, klakson mobil tak henti menyalak, lagu-lagu Aljazair dibunyikan keras-keras dari pengeras suara dan mobil. Polisi Prancis bertindak keras untuk menahan agar pesta tak berubah brutal.

Aljazair kembali ke putaran final Piala Dunia setelah 24 tahun menunggu. Negeri terbesar kedua di Benua Afrika ini pernah punya kenangan manis. Dalam keikutsertaan pertama di Piala Dunia, Spanyol 1982, mereka mempecundangi Jerman Barat (yang akhirnya menjadi pemenang kedua) dan Cile di babak grup. Sayangnya, mereka tak lolos ke putaran berikutnya. Di Meksiko 1986, mereka juga gagal keluar dari babak grup meski menahan Irlandia Utara.

Setelah itu, Aljazair tak pernah lagi lolos ke putaran final. Prestasi terakhir negeri ini adalah menang di Piala Afrika 1990. Perang saudara antara pasukan pemerintah dan pejuang Islam yang terjadi pada kurun 1992-2002 secara tak langsung berimbas ke mandeknya prestasi sepak bola Aljazair. Tak kurang dari 160 ribu orang tewas dalam perang itu. Bila bertanding atau mengadakan pemusatan latihan, tim nasional memilih mengungsi ke Annaba, yang berjarak 500 kilometer dari Ibu Kota Aljir.

Sementara imigran Aljazair di Prancis berpesta, apalagi yang ada di dalam negeri sendiri. Menurut catatan polisi, akibat pesta-pora mabuk kemenangan itu, 18 orang tewas dan 312 orang lainnya terluka akibat kecelakaan lalu lintas saat perayaan kemenangan melawan Mesir di seluruh pelosok Aljazair. Itu belum termasuk 145 orang yang dilaporkan mengalami serangan jantung, saking senangnya.

Tensi tinggi menjelang dan sesudah pertandingan berdampak buruk bagi hubungan Aljazair-Mesir. Kedua negara saling mengklaim suporter dan para pemainnya diserang oleh pihak lawan. Ketegangan sudah terjadi sebelum partai playoff. Setelah Aljazair kalah 0-2 di Kairo, Mesir, pada babak grup, sekelompok orang Aljazair menyerang maskapai penerbangan Mesir di negeri itu. Sehari setelah playoff, ganti massa Mesir melempari kedutaan Aljazair di negeri mereka.

”Saya tak mau membicarakan lagi pertandingan melawan Mesir, kami harus menatap ke depan,” kata Meghni tentang ”pertandingan berdarah” itu. Akhir Desember nanti, pelatih Saadane mengumpulkan pemainnya untuk berlatih di Prancis selatan. Serangkaian uji coba sudah dia persiapkan.

Saadane adalah sosok yang unik di sejarah sepak bola Aljazair. Sejak memproklamasikan kemerdekaan dari Prancis pada 1962, tim nasional Aljazair mengalami 32 kali pergantian pelatih: setiap satu setengah tahun ganti orang. Saadane pelatih pribumi yang paling dihormati di antara sederet pelatih yang berasal dari Prancis. Ia telah lima kali ini menangani Aljazair: 1981-1982, 1985-1986, 1999, 2003-2004, dan 2007 sampai sekarang.

Dalam Piala Dunia 1982, Saadane sukses membuat kejutan, tapi pada 1986 tak begitu cemerlang. Di Afrika Selatan nanti dia punya peluang membuat gebrakan bersama para ”pemain Prancisnya”. Pelatih tim Prancis yang asli, Raymond Domenech, mengaku tak sabar melihat Aljazair berkiprah tahun depan. ”Saya ingin melihat kecemerlangan Meghni keluar,” ujar Domenech, mantan pelatih Meghni di tim nasional Prancis U-21.

Andy Marhaendra (AFP, FIFA, Timesonline)


Aljazair

Jumlah penduduk: 35 juta jiwa
Luas negara: 2.381.741 kilometer persegi
Organisasi: Federation Algerienne de Football
Berdiri: 1962
Keikutsertaan: 2 kali (1982, 1986)
Gelar terbaik: Juara Piala Afrika 1990
Peringkat FIFA: 28 (3 November 2009)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus