Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

<font size=2 color=#FF9900>Wiel Coerver:</font> <br />Tak Ada yang Punya Pekerjaan Lebih Indah dari Saya

25 Agustus 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Wiel Coerver, 84 tahun, mau tak mau membuat publik pencinta sepak bola mengenang masa kejayaan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, sekaligus ke­gagalan yang pahit. Kala itu, pada 1976, dalam penyisihan Olimpiade, hampir saja Merah-Putih tampil di Montreal, Kanada. Sayang, di Senayan, tim Indonesia kandas di tangan Korea Utara melalui adu penalti. ”Saya memang kurang mengasah kemampuan pemain menendang penalti,” kata Coerver mengenang kejadian di masa silam itu.

Kesempatan kedua datang saat digelar South East Asia Games di Jakarta pada 1979. Indonesia, yang juara umum, merasa belum cukup tanpa emas di cabang sepak bola. Namun kembali anak asuh Coerver kandas. Kali ini mereka digasak Malaysia.

Coerver pun meninggalkan Indonesia dengan pelajaran penting: fondasi sepak bola harus dibentuk sejak anak-anak, dimulai dengan kemampuan menendang bola dan melewati lawan. Sepulang dari Indonesia, dia mendirikan sekolah sepak bola. Metode latih­annya, yang dikenal dengan nama Coer­ver Coaching Technique, berkibar ke seluruh penjuru dunia.

Pekan silam, Coerver datang lagi ke Indonesia. Tujuannya adalah memproduksi video tutorial latihan sepak bola bagi anak-anak. Tapi tak lupa Coerver bereuni dengan para pemain yang pernah dilatihnya. Di Stadion Lebak Bulus, Jakarta, dia bertemu lagi dengan Anjas Asmara, Ronny Pattinasarani, dan juga Rully Nere.

Rabu pekan silam, saat senggang, Wiel Coerver menerima Yugha Erlangga, Fanny Febiyanti, dan fotografer Yosep Arkian dari Tempo untuk berbincang santai tentang sepak bola Indonesia. Meski ingatannya mulai tergerus usia—dan beberapa operasi jantung pernah dijalaninya—kritiknya masih tajam.

Bagaimana Anda melihat talenta sepak bola Indonesia?

Saya tinggal lihat mana yang berbakat dan tidak. Hanya, masalahnya, ketika itu, saya tidak tahu kualitas lawan. Jadi pelatihan yang diberikan 30 tahun lalu belum sebaik yang sekarang.

Ada kesulitan ketika mulai melatih pemain Indonesia, yang punya kultur berbeda dengan Eropa?

Tidak ada masalah. Anak-anak itu memiliki nilai tinggi. Mereka merasa mendapatkan sesuatu. Artinya, ada yang didapat meskipun kulturnya berbeda. Intinya, saya berusaha membuat sebuah pola pelatihan yang lebih bagus daripada yang dulu.

Siapa pemain Indonesia yang menjadi kesayangan Anda?

Yang bagus itu Risdianto, Junaidi Abdillah, dan Iswadi Idris. Namun, bagi saya, jutaan anak Indonesia akan beroleh kemajuan luar biasa kalau mereka mau berlatih serius.

Apa kelemahan sepak bola Indonesia?

Kelemahan itu terletak pada para pengurusnya. Mereka tidak menyadari apa yang akan diberikan kepada anak-anak remaja itu. Ada pelatih yang me­latih dengan baik dan sepenuh hati. Tapi pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia tidak mengetahui bagaimana mengembangkan kemampuan anak-anak karena tidak pernah menjadi pelatih.

Apakah Anda percaya talenta sepak bola dimiliki oleh bangsa tertentu, seperti Brasil atau Afrika?

Itu soal lingkungan. Kalau kita hidup di lingkungan yang suka bola, kita juga suka bola. Jadi semuanya bisa berkembang. Jadi bukan karena bangsa. Sebab, yang kurang berbakat juga bisa maju.

Jadi suatu kecelakaan jika seorang anak itu tidak tahu bahwa kalau dia berlatih serius, dia bisa menjadi pemain top. Saya mau memperlihatkan bahwa anak-anak di sini bisa berkembang asalkan diberi latihan yang meningkatkan kemampuan mereka sebagai pemain bola.

Ngomong-ngomong, apa sih rahasia Anda kelihatan bugar hingga sekarang?

Tak ada yang punya pekerjaan lebih indah dari saya. Ini yang membuat saya tetap sehat. Saya membuat anak-anak jadi pintar main bola, nantinya berpenghasilan lebih baik, terus membentuk kepribadian sebagai manusia.

Bagi saya, tidak ada yang lebih indah dari menerima telepon dan kiriman kartu ucapan terima kasih dari anak didik dan asisten saya dulu. Ini nilainya tinggi lebih daripada emas murni.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus