Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Hujan Hadiah Pengukir Sejarah

Di Beijing, Michael Phelps dan Usain Bolt mencetak prestasi spektakuler. Keranjang uang mereka pun segera penuh sesak.

25 Agustus 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM pengawal mengelilingi Michael Phelps. Mereka lelaki Cina yang tampil lengkap dengan seragam hitam-hitam. Persis seperti pengawal presiden. Tugas mereka lumayan berat: mengawal sang bintang. Itu sebabnya mata mereka harus gesit, sigap, dan siaga memelototi setiap gerakan kamera yang menembak wajah sang bintang.

Berbeda dengan pasukan pengawalnya, dalam acara konferensi pers yang digelar di Prince Jun Palace, Chao­yang Park, Beijing, Senin pekan lalu, Mike—panggilan akrab Phelps—terlihat re­laks. Senyumnya diobral ke sana-kemari. Dia memasang wajah berseri-seri pada setiap kamera yang menyorotnya, dan sigap menjawab setiap pertanyaan.

Tugas Phelps untuk negara baru saja usai. Hasilnya luar biasa: delapan medali emas dia bawa pulang. Pesta pun langsung dia lakukan: menyantap burger keju dan kentang goreng sepuas-puasnya. Pantaslah bila wajahnya begitu berseri-seri.

Dalam setiap penyelenggaraannya, Olimpiade memang selalu memiliki keajaiban sendiri. Di Muenchen, Jerman Barat, pada Olimpiade 1972, Mark Spitz membuat dunia terperangah tak percaya. Di sana, dia bolak-balik naik podium sebanyak tujuh kali. Lalu, di Los Angeles, 1984, publik dikagetkan Carl Lewis, yang memborong medali emas untuk dua nomor bergengsi: lari 100 meter dan 200 meter. Dua catatan yang luar biasa.

Di Beijing, kejadian spektakuler di lintasan kolam renang dan lari terjadi bersamaan dalam pesta olahraga seplanet ini. Di kolam renang, Mike Phelps, pemuda asal Baltimore, Amerika Serikat, yang sejak semula diprediksi akan membuat prestasi penting, benar-benar mewujudkan impian banyak orang. Dia memecahkan tujuh rekor dunia. Yang paling penting, dia menghentikan keperkasaan Mark Spitz sebagai penggondol emas terbanyak di Olimpiade.

Begitu pula Usain Bolt, sprinter dari Jamaika. Lelaki ini berhasil menarik perhatian bukan saja karena gaya Tarzannya—dia selalu memukul-mukul dadanya sebelum tanda start—tapi juga karena langkahnya yang panjang dan gesit. Bolt mampu memperpendek waktu menempuh 100 meter dan 200 meter dengan gemilang.

Catatan yang dibuat dua atlet ini seolah mengalihkan perhatian publik dari pencapaian atlet lainnya. Padahal mereka tidak kalah cemerlang. Yelena Isinbayeva, pelompat galah asal Rusia, misalnya, mampu melompat setinggi 5,05 meter. Sentimeter demi sentimeter dia dongkrak sendiri. Juga masih banyak catatan penting dari cabang lain.

Toh, publik telanjur kepincut dengan aksi Phelps dan Bolt. Lihat saja yang terjadi pada Phelps. Saat Phelps berlomba, stasiun televisi NBC, yang menyiarkannya secara langsung, dipelo­toti sekitar 40 juta pasang mata di seluruh dunia. Tak pelak, angka ini langsung mendongkrak peringkat stasiun televisi tersebut.

Sebenarnya, kesibukan Phelps telah terjadi sejak hari pertama dia mencetak rekor. Dia, misalnya, harus berbincang-bincang dengan Presiden Amerika Serikat George W. Bush. Blackberrynya kebanjiran hingga 5.000 pesan pendek. Dia bertubi-tubi diwawancarai berbagai media. Tak ketinggalan, Phelps makin diincar perusahaan-perusahaan besar. Ada yang ingin menjadikannya ikon perusahaan, ada pula yang ingin sekadar nebeng tenar. Tapi, yang pasti, semua membanjirinya dengan dolar.

Kebutuhan kalorinya yang bejibun, misalnya, sampai 12 ribu per hari, membuat Phelps didaulat menjadi juru bicara pizza. Perusahaan Pizza Hut memberi Phelps hadiah makan gratis pizza dan pasta selama setahun. ”Saat di Athena, dia menjadi pahlawan Amerika Serikat, tapi sekarang dia sudah menjadi ikon global olahraga,” kata Michael Lynch, Manajer Global Visa.

Memang, Phelps tidak segagah Mark Spitz dan tak sekarismatis Mary Lou Retton. Tapi, dengan delapan emas yang dia sabet dan sikapnya yang tetap rendah hati, Phelps justru mampu menyedot perhatian penggemarnya di seluruh dunia.

Phelps pun langsung kaya. Setidak­nya, tak lama setelah dia mengelap tubuhnya yang basah, uang sekitar US$ 5 juta atau Rp 46 miliar datang ke kantongnya. Uang itu datang dari Visa, Speedo, Omega, PowerBar, dan AT&T. Ahli marketing di dunia olahraga memperkirakan Phelps bisa mendapatkan US$ 30 juta atau sekitar Rp 275 miliar dari sponsor.

Tapi parade kejayaan ini bukanlah milik dia semata. Di lintasan lain, ada si raksasa Usain Bolt, yang tak ubahnya seperti petir yang menggelegar. Tubuhnya yang tinggi besar melesat meninggalkan lawan-lawannya. Musuhnya hanya ba­yangannya sendiri. Kaki-kakinya yang kekar dan ototnya yang kuat membawanya berlari dalam catatan waktu 9,69 detik untuk balapan 100 meter.

Beberapa hari kemudian, di nomor 200 meter, dia kembali membuat sejarah. Kali ini dia melahap lintasan dalam waktu 19,30 detik. Ini lebih cepat dari menenggak segelas susu. ”Setelah oleh Bob Marley, Jamaika dikenal di seluruh dunia berkat Usain Bolt,” kata seorang menteri yang begitu kegirangan dengan prestasi Bolt ini.

Bolt pun tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. ”Gila… sangat feno­menal. Saya datang ke sini untuk menjadi juara Olimpiade,” katanya. Maklum, menjadi yang terbaik di atletik merupakan mimpinya sejak kecil. Ditunjang bentuk fisik yang sempurna untuk seorang atlet, Bolt, yang lahir di Trelawny, Jamaika, 21 Agustus 1986, sejak kanak-kanak sudah menunjukkan ge­lagat bakal berprestasi di dunia olahraga.

Bolt kecil paling doyan bermain kri­ket. Namun saat itu William Knibb, pe­latih kriket di sekolah Bolt, melihat bakat lain dari anak asuhnya itu. Dia pun menganjurkan Bolt pindah lapangan. ”Di track saja,” katanya. Bolt terbukti mampu berlari lebih cepat ketimbang anak-anak asuhnya yang lain.

Rupanya, tak hanya Knibb yang ka­gum. Decak yang sama meluncur dari mulut Pablo McNeil dan Dwayne Barrett. Dua pelatih atletiknya ini langsung mengarahkan si hitam untuk berfokus lari di lintasan merah. Untuk lebih menyemangatinya, mereka mencontohkan Michael Green, kakak kelas Bolt. Kebetulan, Green salah satu pelari andal dari kawasan Karibia. Manjur. Bolt langsung terpacu. Di sekolahnya, dia beroleh berbagai gelar juara.

Puncak karier juniornya terjadi pada kejuaraan dunia junior di Kingston, Jamaika, enam tahun silam. Dia memenangi nomor 200 meter. Serta-merta, sejak saat itu, duit pun nempel dalam setiap geraknya. Salah satunya dari Puma, perusahaan peralatan olahraga asal Jerman. Perusahaan itu pula yang membekingnya habis-habisan di Olimpiade kali ini. Sepatu khusus pun dibuat untuknya. Beijing 100m Gold namanya.

Berbeda dengan Phelps yang terang-terangan langsung dikerubungi uang, Bolt justru terlihat adem-ayem. Namun itu bukan berarti tak banyak uang sebagai hasil usaha kerasnya. Pada Mei lalu, saat Bolt mengukir rekor dunia, Digicell, sponsornya, memberikan hadiah uang US$ 1,8 juta atau sekitar Rp 16,5 miliar.

Prestasi lebih gemilang dan uang lebih banyak pun menanti. Mengingat usia mereka yang masih sangat muda—Bolt 22 tahun dan Phelps 23 tahun—kesempatan untuk lebih berjaya masih terbuka. Olimpiade London, empat tahun lagi, telah menanti.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus