Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timur, Sabtu dua pekan lalu.
IBARAT pertandingan bulu tangkis, Daeng Firman memenangi lelang ikan hiu di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timur, tanpa perlu keluar keringat dan tenaga. Hanya kurang dari 10 menit, Firman berhasil mengungguli tiga pesaing lelang tanpa banyak perlawanan dan menjadi pemilik 30 ekor ikan hiu.
Dari harga pembukaan lelang Rp 10 juta untuk hiu-hiu yang beberapa jam sebelumnya baru diturunkan dari kapal Cahaya Borneo itu, Firman membelinya pada harga Rp 10,5 juta. Ada beberapa jenis ikan hiu di tumpukan itu, di antaranya hiu kejen, hiu tikus, dan hiu macan.
Acara lelang ini sebenarnya agak ”berbau” sandiwara ketimbang lelang betulan. Firman, sang pemenang lelang, merupakan pemilik Cahaya Borneo dan 30 ekor hiu tersebut. ”Saya sebenarnya hendak menjual semua hiu itu Rp 20 juta,” kata Firman, Sabtu dua pekan lalu. Tapi, karena harga tak bergerak naik dari harga pembukaan lelang, dia memutuskan membelinya kembali.
Namun hiu-hiu itu tak bertahan lama di tangan juragan Firman. Keluar dari tempat pelelangan ikan, ia sudah dinanti pembeli. Setelah semua siripnya dipenggal, daging hiu itu diborong Haji Ribhan Rp 4 juta. Daging ini akan diolah menjadi abon, dan sebagian dijual ke warung-warung sate hiu di Lombok Timur. Siripnya—ini bagian yang paling mahal dari hiu—dibeli pedagang lain Rp 15 juta atau satu juta rupiah per kilogram.
Setelah terkumpul hingga 50 kilogram, menurut Haji Arpi, pembeli sirip hiu itu, sirip baru dikirim ke Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya. Pelabuhan ini merupakan pangkalan utama ekspor sirip hiu ke Cina, Jepang, dan Taiwan. Sehari sebelumnya, 64 ekor hiu diturunkan dari kapal ke pelelangan Tanjung Luar. Arpi hanya kebagian sirip dari sembilan ekor hiu, yang dia beli Rp 8 juta.
Pelabuhan Muncar, Banyuwangi, Senin pekan lalu.
MAHFUD, 46 tahun, bergegas ke dermaga menyambut kapal yang tengah merapat. Dua orang kuli angkut dan tukang becak dia panggil. Dengan berbekal sebilah bambu dan tali, kedua kuli angkut segera menurunkan satu per satu ikan hiu dari kapal, kemudian menumpuknya di becak.
Kali ini hanya ada tiga ekor hiu kejen yang diangkut ke gudang pemotongan sirip, sekitar tiga kilometer dari Pelabuhan Muncar. Setelah ditimbang, berat total tiga ekor ikan hiu itu 250 kilogram. ”Padahal kami bisa mendapat satu ton hiu kemarin,” ujar Mahfud, pegawai UD Barokah Laut. Di tempat itu, sirip hiu dipotong dan disimpan di kotak berpendingin.
Hiu-hiu tanpa sirip itu kemudian diangkut ke gudang pengasinan. Di gudang seluas lapangan bulu tangkis ini, puluhan ekor hiu tanpa sirip bertumpuk. Dua pegawai Barokah Laut, dengan tangan terlatih, memisahkan daging, tulang, dan kulitnya. Hampir seluruh bagian hiu tak ada yang terbuang percuma.
Kulit hiu dikeringkan dan diolah menjadi kerupuk. Daging hiu laku Rp 90 ribu per kilogram, dijual ke beberapa warung spesialis masakan hiu di Banyuwangi. Tulang hiu dikeringkan dan dijual Rp 38 ribu per kilogram. Bahkan hati hiu pun ada peminatnya. ”Diolah menjadi minyak ikan,” kata Muhammad Sholeh, 36 tahun, pemilik Barokah Laut. Sholeh inilah tauke hiu paling besar di kota di ujung timur Pulau Jawa itu. Dari empat juragan hiu di Banyuwangi, tiga perempat pasar hiu dikuasai Barokah Laut.
Biasanya Sholeh mengirim sirip dan daging hiu tiga kali dalam sebulan ke para eksportir di Surabaya dan Jakarta. Sekali kirim minimal 500 kilogram sirip dan 15 ton daging ikan pemangsa itu. Sirip hiu yang sudah dikeringkan dibanderol Rp 2 juta per kilogram.
Hiu-hiu ini disetor dari 50-an kapal pemburu hiu. Untuk menjamin pasokan, Sholeh ”bermurah hati” memodali para nelayan pemburu hiu. Sebagai imbalannya, awak kapal harus menjual ikan hiu tangkapannya ke Sholeh dengan harga borongan Rp 22.500 per kilogram. Musim hiu di perairan Selat Bali biasanya hanya berkisar Juli-Desember. Di luar musim hiu, menurut Rudiman, nelayan pemburu hiu, dia bersama lima temannya bisa mengarungi laut hingga perairan di sekitar Kalimantan, Sulawesi, bahkan perbatasan Australia.
DI laut, hiu tak lagi berjaya. Dari pemburu, ikan hiu sekarang malah jadi buruan. Setiap tahun, rata-rata tak kurang dari 824 ribu ton hiu ditangkap. Bersama India, Spanyol, dan Taiwan, negeri ini menyumbang sepertiganya (lihat grafis). Selama bertahun-tahun hingga saat ini, nelayan Indonesia adalah pemburu hiu nomor satu di dunia.
Dari Muncar, Tanjung Baru, Pelabuhan Kedonganan di Bali, dan Pelabuhan Cilacap, Jawa Tengah, hiu-hiu itu dibunuh. Daging dan siripnya dihidangkan di restoran, dari kelas kaki lima hingga hotel bintang lima. Dari Warung Wisata Bahari di Pantai Boom, Banyuwangi, restoran Samudra Shark’s Fin di Hotel Mulia, Jakarta, hingga restoran mewah Sun Tung Lok di Hong Kong.
Di Wisata Bahari milik Tutik Wahyuningsih, harga seporsi sup daging hiu Rp 10 ribu. Kalau hendak mencicipi sate hiu, malah lebih murah, hanya Rp 8.000 per porsi. Tutik hanya mau membeli daging hiu muda yang beratnya tak lebih dari 10 kilogram. ”Dagingnya lebih lunak,” katanya. Di meja Sun Tung Lok, harga semangkuk sup sirip hiu bisa menembus HK$ 5.000 atau Rp 5,5 juta.
Karena harganya selangit, (sirip) hiu jadi buruan. ”Sebagian besar kapal yang saya temui di laut juga memburu hiu,” kata Baheng, nelayan hiu di Cilacap. Sekali melaut, Baheng, berbekal 300 kail hiu, bisa bertahan hingga enam bulan. Dia menjelajahi perairan Nusa Tenggara Timur, mendekati perbatasan Australia, hingga pesisir barat Aceh. Dalam sebulan dia bisa mendapat dua ton hiu. Perbekalan dan hasil pancingan dikirim kapal milik Grup SIS, perusahaan tempat Baheng bekerja.
Karena terus diburu itulah populasi ikan hiu diperkirakan terus menurun. ”Sekarang semakin susah mencari hiu di perairan dangkal,” kata Baheng. Bos Barokah Laut, Sholeh, pun mengeluh. Kini dalam sebulan dia hanya bisa mengirim sirip hiu sekali. Rudiman, anak buah Sholeh, pun hanya bisa berkeluh-kesah. Dulu dengan gampang dia bisa memancing tiga ton hiu sebulan. ”Sekarang kadang malah tak mendapat hiu sama sekali.”
Padahal peran hiu sangat penting di laut. Sebagai pemangsa puncak di laut, menurut Ahmad Hafizh Adyas, anggota staf program perikanan World Wildlife Fund (WWF), hiu menjaga keseimbangan ekosistem laut. Tanpa hiu, populasi ikan kecil dan sedang di laut akan berkembang biak tak terkendali sehingga mengancam ketersediaan pangan atau fitoplankton. Keberadaan hiu juga menjadi indikator kesehatan ekosistem laut.
Supaya hiu tak hilang dari laut, WWF merekomendasikan pengurangan konsumsi hiu serta memperketat perdagangan sirip dan dagingnya. ”Hiu harus masuk program konservasi,” kata Hafizh. Dalam pertemuan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora di Doha, Qatar, tahun lalu, beberapa negara yang disponsori Amerika Serikat sebenarnya sudah mengajukan proposal memasukkan lima jenis hiu, di antaranya hiu martil, ke Appendix II. Jika proposal itu lolos, mekanisme perdagangannya akan diatur komite di bawah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa ini. Sayang, proposal itu gagal lolos.
Beberapa negara pemburu hiu, seperti Spanyol, Taiwan, Argentina, dan Malaysia, pun sekarang sudah memiliki rencana nasional manajemen dan konservasi hiu. Sang ”juara”, yakni Indonesia, justru belum punya. ”Kondisi negara kita berbeda. Banyak nelayan yang hidupnya masih bergantung pada hiu,” Dedi H. Sutisna, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap di Kementerian Kelautan, beralasan. ”Bagaimana nasib mereka jika menangkap hiu dilarang?”
Sapto Pradityo, Supriyantho Khafid (Lombok Timur), Ika Ningtyas (Banyuwangi), Aris Andrianto (Cilacap)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo